Tiga Belas

59.8K 10K 1.4K
                                    

"Gad, besok gue nggak bareng deh," kataku, begitu Peugeot 5008 Jagad berbelok ke Wisma 99.

FYI, untuk mobilitas sehari-harinya Jagad memang menyukai mobil SUV  pabrikan eropa seperti Peugeot ini. Namun, beberapa kali, dia juga pernah memakai BMW dan Mercy. Kurasa dia menyimpan mobil-mobil itu di rumah orang tuanya.

"Ada meeting pagi di luar?" tanya Jagad.

Aku menggeleng. "Maksudnya, mulai besok dan seterusnya gue berangkat sendiri aja. Naik ojol."

"Lah, ngapain?" komentarnya sambil tertawa.

"Nggak enak gue. Udahlah, biarkan gue hidup mandiri! Gue nggak mau ngerepotin lo terus!"

"Ada yang gampang, kenapa nyari yang susah sih? Kalau gue ke sini cuma buat nganterin lo, atau gue harus pake rute yang muter jauh buat drop lo di kantor, itu namanya ngerepotin. Tapi ini kan, ada atau nggak ada lo, gue tetap ke Wisma 99. Aneh lo."

Hah, dia selalu memakai alasan itu. Kemarin soal sarapan, dia juga menjawab hal yang sama.

"Lagian kayak baru kali ini aja lo ngerepotin," tambah Jagad tepat saat mesin mobilnya mati.

Bukannya segera turun setelah melepas safety belt, aku memiringkan tubuh menghadapnya.

"Gue bikin hubungan lo sama Ritchie jadi nggak nyaman, ya?" tanyaku.

"Hah?" Jagad mengerutkan dahi. "Enggak kok. Kenapa mikir begitu?"

Memangnya apa lagi yang bisa kupikirkan kalau aku tinggal di rumah cowok yang punya pacar?

Semalam, Jagad tiba sekitar 40 menit setelah dia membalas pesanku. Setelah itu, aku segera memunguti barang-barangku dan minggat ke kamar. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu apa yang dilakukan oleh Jagad dan Ritchie di ruang tengah.

"Nggak usah aneh-aneh deh, Na." Jagad menoyor dahiku pelan. "Udah, ayok! Kalau telat, kena potong gaji, kapan lo bisa bayar utang ke gue?"

"Dasar bajingan sialan!" makiku.

Jagad hanya tertawa, lalu mendahuluiku keluar dari mobil, sambil menyandang tasnya. Aku mengikutinya dengan buru-buru. Jagad ini aneh sebenarnya. Untuk ukuran CEO sebuah e-commerce fashion high class, dia pilih ke mana-mana menyetir sendiri. Padahal aku yakin dia tidak akan miskin kalau hanya membayar gaji supir.

"Kok gue nggak tahu sih lo punya pacar?" tanyaku saat menunggu lift.

Jagad berdecak. "Apa sih yang lo tahu soal gue, Na?" Dia balas bertanya.

Aku tertawa kecil. "Jadi, lo sama Ritchie udah lama?"

"Lumayan. Setahun lebih."

"Teman lo pas kuliah di New York? Kerja di UN, ya, dia? Keren banget sih ..."

Jagad sontak menatapku dengan dahi berkerut. "Katanya lo nggak tahu gue punya pacar? Itu udah ngepoin dari mana aja?"

Aku pura-pura nggak mendengar kata-kata Jagad. "Terus, lo cerita ke Ritchie kalau gue numpang di tempat lo?"

Jagad mengangguk.

"Dari awal?" tanyaku heran.

Jagad terkekeh. "Ya nggaklah! Gila apa? Waktu itu dia datang ke apartemen. Pas lo lagi ke tempat Hera. Terus dia lihat jaket lo di sofa ruang tengah. Nanya deh dia, itu punya siapa. Gue ceritain semuanya soal lo."

Aku geleng-geleng kepala. "Pacar lo aneh, Gad. Kalau pacar gue tinggal seatap sama cewek lain mah, langsung gue putusin!"

Kali ini Jagad tidak menjawab apa-apa. Kebetulan lift sudah tiba dan siap membawa kami ke lantai masing-masing.

DIHAPUS - Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-SiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang