Wajah Jagad terlihat kesal saat tiba di kontrakanku menjelang sore. Sebenarnya dia sudah kesal dan mengomel panjang saat meneleponku tadi siang. Namun, ekspresinya seketika melunak ketika melihat penampilanku. Pada kaos putih lusuh dan celana training putih yang kupakai. Pada kuku jariku yang penuh dengan coretan kuteks tak beraturan. Sudah kubersihkan sebagian, tapi aku tak punya tenaga untuk membuatnya benar-benar bersih. Dan juga rambut berantakan, dan mungkin wajah yang sembab karena aku menangis berjam-jam.
Dia menghela napas panjang, lalu melepas sepatu dan berjalan masuk ke dalam kontrakanku.
"Apa sesusah itu nge-chat gue?" tanyanya. "Nunggu sekarat dulu ya baru mau hubungin gue?"
Aku nggak menjawab. Andai dia tahu, kalau bukan karena aku mentok, dan kalau saja ada rentenir yang bisa meminjamiku uang dengan aman, aku pilih menghubunginya daripada menghubungi Jagad.
Saat Jagad menelepon tadi, aku hanya menceritakan secara singkat apa yang kualami dan apa yang kubutuhkan darinya. Jagad sempat menggerutu kenapa aku tidak memberitahunya sejak TalkMe mulai berhenti membayarkan gaji. Kemudian Jagad berjanji akan berkunjung ke tempatku nanti setelah meeting-nya selesai.
Tadinya, aku berpikir bahwa itu hanya alibi bahwa dia ingin menghindariku. Aku juga tidak berharap dia benar-benar datang sesuai janjinya. Namun, setelah Magrib, Jagad mengetuk pintu kontrakanku.
"Berapa?" tanyanya langsung.
Aku menghela napas panjang. Tidak bisakah dia berbasa-basi dulu? Membicarakan kabar, kemacetan, atau cuaca di luar? Tidakkah dia memikirkan perasaanku yang hancur ketika memikirkan hal ini? Tapi situasiku memang tidak mengizinkanku untuk memikirkan soal malu apalagi gengsi.
Aku menelan ludah, "Empat setengah juta buat kontrakan tiga bulan lalu, dan satu setengah juta untuk kontrakan bulan ini. Dua setengah juta untuk bayar cicilan mobil Ibu. Tiga setengah juta untuk uang kuliah adik gue," jawabku.
Aku merasa perlu membuat rincian dana-dana kebutuhanku agar Jagad yakin bahwa aku memang butuh uang, dan aku tidak akan menyalahgunakan pinjaman darinya. Tapi bahkan aku malu untuk menghitung berapa total hutangku pada Jagad jika dia benar-benar meminjamkan sejumlah yang kubutuhkan.
"Terus?"
Aku menatapnya dengan pandangan bertanya. Jagad berdiri di depanku yang duduk di pinggir kasur. Dia juga menatapku dengan pandangan bertanya. Apa maksudnya "terus"? Apa sebenarnya Jagad sedang bertanya "Terus lo pikir gue bank, sampe lo ngajuin pinjaman segede itu?" dengan kalimat yang lebih halus?
"Oke, anggap yang itu tadi beres. Terus selanjutnya?" Sadar aku bingung, Jagad mulai menjelaskan. "Apa rencana lo setelah ini? Kontrakan bulan ini terbayar, tapi kontrakan bulan depan gimana? Hidup lo nggak selesai setelah tagihan-tagihan ini beres, Nana."
Apa dia khawatir aku akan terus-terusan meminjam uang padanya?
Sebenarnya aku tersinggung. Tapi lagi-lagi self esteem-ku sedang rendah. Aku bahkan merasa nggak punya hak untuk tersinggung.
"Nggak tahu. Nantilah gue pikirin sambil jalan," jawabku apa adanya. "Oh ya, gue cicil nanti setelah gue dapat kerjaan, ya," tambahku buru-buru.
"Buat biaya hidup sehari-hari masih ada?"
Aku mengangguk buru-buru, "Masih ada. Gue juga ambil kerjaan freelance beberapa. Cukuplah untuk bertahan hidup sebulan ini."
Jagad hanya memandangiku sambil geleng-geleng kepala, dan menjatuhkan pantatnya di satu-satunya bean bag yang layak di sudut kontrakanku.
"Jadi, totalnya dua belas juta kan?" tanyanya memastikan.
Aku mengangguk sedih. Jagad tidak berkata-kata lagi. Tangannya dengan lincah menggulir layar smartphone premiumnya. Aku juga tak berani berkata atau bertanya apa pun, termasuk berapa nominal maksimal yang bisa dia pinjamkan, agar aku bisa memutar otak untuk mencari sisanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIHAPUS - Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-Sia
RomancePART 21 - EPILOG SUDAH DIHAPUS - TERSEDIA VERSI CETAK DAN DIGITAL DI GOOGLE PLAYBOOKS. Di usia 28 tahun, Nana kehilangan pekerjaan. Kantor tempatnya bekerja selama lima tahun terus menerus merugi dan akhirnya gulung tikar. Kabar buruknya, kantor bah...