"Lo yang waktu itu jatuh di stasiun?"
Mataku sontak memelotot kaget. Sial! Ternyata dia ingat padaku! Dia ingat pada orang yang sebegitu putus asanya sampai hendak menabrakkan dirinya ke kereta! Dia ingat orang tolol yang ingin mengakhiri hidupnya sendiri waktu itu. Ya Tuhan!
Kutelan ludah dengan susah payah. Aku bingung bagaimana aku harus menghadapi situasi ini? Apakah dalam hatinya, Restu tengah mencemooh karena mentalku yang lemah? Apakah setelah ini Restu akan menceramahiku panjang lebar dan menghakimi pilihan yang sempat terlintas di kepalaku waktu itu? Apakah dia juga akan menghakimiku sebagai orang yang tidak bersyukur karena diberikan kehidupan?
Sekali lagi, aku menelan ludah. Lalu kuputuskan untuk mengangguk.
"Tolol, ya, gue?" gumamku pedih. "Bisa-bisanya gue berpikir untuk bunuh diri. Yap, nggak usah diperhalus, Mas. Bukan jatuh, gue emang berniat bunuh diri waktu itu."
"Tolol?" Restu mengerutkan dahi. "Nope. Jangan bilang begitu. Gue nggak tahu apa yang terjadi hari itu, tapi lo pasti mengalami sesuatu yang berat. Sesuatu yang mungkin kalau orang lain yang ngalami belum tentu bisa lebih baik. Thanks, karena lo akhirnya memilih bertahan."
Thanks, karena lo akhirnya bertahan. Kalimat terakhir Restu itu menggema di kepalaku. Aku nyaris mengakhiri hidupku sendiri. Aku pasti sudah mati jika dia tidak menyambarku di detik-detik terakhir hari itu. Lantas, kenapa dia juga yang mengucapkan terima kasih karena aku berhasil bertahan? Berhasil tetap hidup sampai hari ini?
"Gue nggak kenal lo waktu itu, Na," kata Restu lagi. "Tapi ketika lo berdiri di pinggir peron waktu itu, gue panik. I feel like my heart is breaking. Lo ngerasa nggak, gue gemeteran waktu itu?"
Aku menggeleng. Jujur saja, setiap kali mengingat kejadian itu aku merasa seperti terkena serangan panik.
"Kalau bukan karena lo, mungkin gue nggak akan ada di sini, Mas. Apalagi makan telur kuah kayak gini."
Restu tertawa kecil. "Itu cuma kebetulan gue lagi ada di sana, dan ada di posisi yang cukup memungkinkan untuk narik elo."
Aku menggeleng cepat. "Bukan cuma soal itu. Lo selametin nyawa gue saat itu, itu satu hal. Tapi lo juga menyelamatkan hidup gue setelah itu."
Kali ini Restu mengerutkan dahi. "Sori?"
Aku mengangguk cepat. "Hari itu gue nggak tahu caranya ngelanjutin hidup. Masalah-masalah datang barengan, dan gue sama sekali nggak tahu solusinya apa. Gue di-PHK tanpa pesangon, gaji nggak dibayar hampir 4 bulan, diusir dari kontrakan, nggak punya duit padahal harus bayarin SPP kuliah adik. Life is sooo unfair sometimes." Aku menghela napas panjang. "Gue nggak tahu harus cerita ke siapa tanpa terlihat seperti pecundang. Gue nggak punya banyak teman. Dan pastinya, gue nggak punya uang."
Restu tidak menjawab. Sepertinya dia ingin menunggu sampai aku menuntaskan semua itu. Alasan kenapa aku sampai memikirkan hal itu.
"Waktu itu, jalur pintas di kepala gue muncul, bahwa masalah bakal selesai kalau sumber masalahnya juga pergi. Gue ..."
Sejenak suaraku tercekat. Kenapa aku menceritakan ini semua kepada Restu? Hanya Hera dan Luna yang tahu soal percobaan bunuh diriku itu. Jagad pun tidak kuberitahu.
Aku nyengir kecut. "Sori Mas, cerita gue lebih nggak menarik dibanding cerita lo soal kantor tadi."
Restu menggeleng. "Menarik kok. Terus-terus?"
Kuhela napas panjang. Yah, sudah telanjur basah, mandi saja sekalian. Mungkin aku tidak berutang cerita atau penjelasan kepada orang lain tentang keputusanku. Namun, untuk orang yang telah menyelamatkan nyawaku, tentu berbeda.

KAMU SEDANG MEMBACA
DIHAPUS - Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-Sia
RomancePART 21 - EPILOG SUDAH DIHAPUS - TERSEDIA VERSI CETAK DAN DIGITAL DI GOOGLE PLAYBOOKS. Di usia 28 tahun, Nana kehilangan pekerjaan. Kantor tempatnya bekerja selama lima tahun terus menerus merugi dan akhirnya gulung tikar. Kabar buruknya, kantor bah...