Tadinya aku bahagia ketika sepulang dari Depok, aku menemukan Jagad di apartemen. Sebuah pemandangan yang aneh mendapati Jagad di apartemen pada pukul 19.00. Apalagi, dengan penampilan kaos oblong dan celana pendek, dia tengah berkutat di pantri membuat spagetty yang lebih terlihat seperti salad sayur.
Namun, ketika esok harinya dia membangunkan pagi-pagi, padahal sedang tanggal merah, aku sedikit merindukan situasi apartemen yang sepi. Jagad menggedor pintu kamarku seperti Bu Hannah menagih uang kontrakan.
"Hari ini kita badminton," katanya.
Bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan.
Masih dengan nyawa yang baru terkumpul separuh, aku menggeleng.
"Gue nggak bisa badminton," kataku.
"Bisa! Nggak ada orang yang nggak bisa di dunia ini. Adanya orang yang nggak mau! Ayo, buruan sana cuci muka!"
"Gue nggak mau badminton," kataku. "Gue mau tidur."
"Nana!"
"Lagian kenapa lo harus main badminton sih? Kenapa lo nggak main golf aja kayak CEO-CEO lainnya?"
"Apa hubungannya pilihan olahraga sama jabatan di kantor?"
"Nggak ada! Yang ada hubungannya adalah ini tanggal merah dan gue ngantuk!"
"Come on! Lo harus bergerak, Renjana!"
"Gue bergerak. Bernapas. Bekerja."
"Lo nggak pernah olahraga. Terakhir kali lo joging itu tiga bulan yang lalu! Lo juga udah nggak pernah yoga lagi. Treadmill ada, lo nggak pernah pake ..."
See? Bagaimana aku tidak jadi merindukan kesendirian di apartemen seperti beberapa hari yang lalu?
"Kerjaan lo tiap hari kan duduk di depan laptop. Itu artinya ..."
"Ya! Ya! Oke!" Aku mengangkat tangan untuk menghentikan ocehan Jagad yang membuat kepalaku pusing. "Gue mandi dulu."
"Ngapain mandi? Nanti juga keringetan lagi? Kan badminton?"
"Jangan bawel!" decakku sambil menutup pintu.
Alhasil hari itu, untuk pertama kalinya dalam hari sejarah hari libur, aku bangun pukul 6 pagi dan pergi ke lapangan badminton. Sebenarnya aku bohong saat bilang tidak bisa badminton tadi.
"Kayak gini tadi lo bilang nggak bisa?" teriak Jagad yang berlarian ke sana kemari mengejar bola-bola dariku.
Aku tertawa. "Gue kan nggak sombong kayak seseorang."
Jagad terkekeh. Lalu melompat tinggi, dan membuat smash cepat yang nyaris membuat bola mengenai kepalaku. Aku meneriakinya dengan murka.
Kami bertanding dua set, dan berakhir berbaring di tengah lapangan karena ngos-ngosan. Jagad harus bersyukur karena aku sudah lama sekali tidak olahraga, terutama badminton. Jadi, yang tadi itu bukan penampilan terbaikku.
"Lo mainnya bagus, Na," puji Jagad.
Aku tersenyum. "Gue pernah juara bulutangkis se-kecamatan."
"Serius??" Jagad memiringkan tubuhnyaa, dan menyangga kepalanya dengan tangan. "Jadi, lo ini sebenarnya atlet?"
Kali ini aku terkekeh. "Meski badan gue kurus kering kayak pensil 2B gini, gue lumayan jago olahraga."
Jagad ikut-ikutan tertawa. "Pensil 2B kan bagus warnanya."
Sebenarnya aku tidak paham maksud Jagad, tapi aku ikut tertawa saja. Sesungguhnya, meski dipaksa bangun pagi-pagi di hari libur, mood-ku tetap baik. Aku merasa tidak punya alasan untuk kesal meski Jagad menyebalkan, karena dunia ini terasa sangat menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIHAPUS - Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-Sia
RomansaPART 21 - EPILOG SUDAH DIHAPUS - TERSEDIA VERSI CETAK DAN DIGITAL DI GOOGLE PLAYBOOKS. Di usia 28 tahun, Nana kehilangan pekerjaan. Kantor tempatnya bekerja selama lima tahun terus menerus merugi dan akhirnya gulung tikar. Kabar buruknya, kantor bah...