"Tracker konten ada macam-macam sih, Na. Lokasi pasang ya juga beda-beda. Ada yang di dalam konten, ada yang di bagian headline."
Aku ber-Oh panjang mendengar penjelasan Restu. "Terus kira-kira gue bisa diajarin nggak, ya, Mas, cara pasangnya?" tanyaku. "Maksudnya tuh biar mempersingkat waktu. Banyak klien yang minta dipasangin tracker artikelnya. Tapi gue harus minta tolong ke lo atau tim IT dulu. Berasa nggak efektif gitu kan? Apalagi pas lo lagi sibuk gitu. Mau cepet-cepetin nggak enak, tapi gue juga ditungguin klien."
Restu tertawa. Kami sedang membereskan barang selepas meeting sales bersama-sama. Tinggal aku dan Restu yang masih berada di ruangan. Sementara yang lain sudah kembali ke kubikel, Sebagian ngacir ke kantin karena kelaparan. Aku juga lapar sih, tapi nanti sajalah.
Salah satu hal baru yang kutemukan di posisiku sekarang adalah adanya berbagai macam script tracker yang klien minta pasangkan di advertorial yang akan publish. Umumnya, media atau publisher menggunakan Google Analytic untuk mengecek performa artikel dan audiens. Namun, terkadang klien ingin memasangkan tracker lain yang harus dipasang secara manual melalui back end.
Tracker ini bermacam-macam. Ada yang fungsinya untuk mengecek aktivitas audiens setelah mereka membaca advertorial atau iklan berbayar itu--apakah mereka cari tahu lebih lanjut soal produk, apa mereka langsung melakukan pembelian, atau langsung keluar dan membaca konten lainnya. Ada juga yang fungsinya untuk mengecek demografi audiens yang masuk ke artikel berbayar itu, sehingga brand bisa menganalisa segmentasi pasar untuk merancang campaign lanjutan.
"Sebenarnya nggak apa-apa ngeburu-buru kalau lo emang butuh cepat. Tapi oke deh, nanti gue ajarin cara pasangnya. Umm ... atau nggak nanti gue bikinin catatan step by step caranya, per tracker yang biasa dikasih klien."
"Yeay! Makasih, Mas."
"Katanya sih dulu tim IT mau bikinin tools yang lebih simpel buat masang tracker. Biar nggak harus nulis-nulis code gitu. Moga-moga aja segera terealisasi."
"Iya, sip. By the way, makan yuk, Mas? Laper banget gue. Soto betawi kantin kayaknya enak banget nih."
"Yuk!"
Sontak aku tersenyum lebar. Kuangkat laptopku dengan riang gembira karena aku akan makan siang dengan Restu.
Akan tetapi, ketika aku kembali ke kubikelku untuk mengambil dompet, sebuab paper bag berwarna Putih dengan tulisan keemasan mewah bertengger di atas meja.
"Dapat kiriman tuh, Na," kata Mbak Heksa yang kebetulan lewat.
"Dari siapa, Mbak?"
"Lha, nggak tahu gue. Yang anter sih office boy lantai 23."
Nama Jagad langsung muncul di pikiranku. Memangnya siapa lagi kenalanku di lantai 23 kalau bukan CEO Samasta? Buru-buru kuintip isinya, dan aku langsung berdecak wow. Tepat seperti yang kupikirkan.
"Yuk!"
Aku menoleh. Restu berdiri di dekat kubikelku, siap berangkat ke kantin. Seketika pandanganya jatuh ke paper bag di atas mejaku. Kemudian dia tertawa kecil.
"Kayaknya gue harus makan sendiri, nih," katanya.
Aku meringis kecut. "Atau nggak gue bawa aja terus makan di kantin ..."
"Nggak usah, nggak usah. Udah, lo makan di sini aja. Itu menu makan siang lo nggak cocok dimakan di kantin," kata Restu dengan kekehan tawa. "Ntar gue gabung sama yang lain aja. Kali masih ada yang di bawah."
"Sori, ya, Mas ..." kataku benar-benar menyesal.
Restu hanya menjawabnya dengan lambaian tangan dan tawa. Kutatap punggungnya sampai benar-benar berlalu. Padahal aku ingin sekali makan siang dengan Restu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIHAPUS - Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-Sia
RomancePART 21 - EPILOG SUDAH DIHAPUS - TERSEDIA VERSI CETAK DAN DIGITAL DI GOOGLE PLAYBOOKS. Di usia 28 tahun, Nana kehilangan pekerjaan. Kantor tempatnya bekerja selama lima tahun terus menerus merugi dan akhirnya gulung tikar. Kabar buruknya, kantor bah...