Aku tidak banyak bertemu Jagad sepanjang sisa weekday. Dia selalu pulang malam dan berangkat pagi-pagi. Hanya kadang-kadang saja saat aku terbangun dini hari dan ke pantri karena kehausan, aku bertemu Jagad yang menonton televisi sambil nge-wine. Biasanya aku hanya akan menyapa pendek dan bertanya, "Emang di kamar lo nggak ada TV-nya?"
Tapi anehnya, meski pulang malam dan selalu begadang, paginya Jagad selalu bangun lebih pagi daripada aku. Tak lupa secangkir teh dingin dan roti panggang serta buah-buahan itu selalu tersaji di meja pantri. Aku jadi penasaran, dia tidur berapa jam sih setiap harinya?
Karena itu, weekend ini aku ingin balas jasa sedikit. Aku bangun pagi-pagi untuk olahraga, sekalian mencari tukang sayur atau pasar atau apa pun yang menjual bahan makanan. Sebenarnya ada food station di lobi apartemen Jagad yang menjual bahan-bahan makanan dan sayuran. Tapi yaa ... you know lah, harganya terlalu mahal untukku yang sedang kere-kerenya.
Untung saja aku menemukan tukang sayur di area perkampungan padat di balik gedung-gedung tinggi dan kafe-kafe cantik kawasan setiabudi. Thanks to rasa ingin tahuku yang selalu tinggi dan semangat untuk menyusuri jalan-jalan kecil mencari jalan alternatif. Akhirnya, hari itu aku kembali ke apartemen Jagad dengan seplastik besar sayur-sayuran segar dan juga bumbu-bumbu masakan. Aku akan memasak menu healthy food untuk si anak sultan itu. Biar lebih sering delivery junk food ataupun makan gorengan, aku bisa kok kalau cuma bikin salad-saladan atau steak non-MSG kegemaran Jagad itu.
Si pemilik apartemen tengah telungkup di sofa di depan TV saat aku datang. Ekspresinya masih setengah mengantuk dengan penampilan yang acak-acakan. Bahkan dia setengah merem, dan baru terbangun sepenuhnya saat aku meletakkan plastik belanjaan di meja pantri.
"Dari mana?" tanyanya, sambil meraih remote TV di meja dan menyalakannya.
"Olahraga," jawabku. "Gue mau masak. Lo nggak akan pergi pagi-pagi kan?"
Kulihat Jagad menggeleng. "Masak apaan? Sejak kapan lo bisa masak?"
"Menghina!" decakku. "Cipil cuma masak doang. Gue mau bikin grilled chicken barbeque with mashed potato and vegetable."
"What? Udah kayak menu Master Chef."
Kali ini aku tertawa, sembari sibuk menata sayur-sayuran di kulkas superbesar milik Jagad. Setelahnya, aku mencuci bahan-bahan yang akan kupakai, dan mulai mempraktikkan kemampuan memasakku. Bila belum mengenalku, tidak ada yang percaya meski aku berkoar-koar jago memasak. Tidak cocok dengan tampangku, katanya. Huh, memangnya tampang jago masak itu kayak gimana sih? Tapi tenang, aku akan membuktikannya dengan prestasi.
"Gimana update kerjaan, Na? Udah ada panggilan interview?" tanya Jagad. Dia baru saja keluar dari kamar mandi, dengan wajah yang lebih segar setelah cuci muka dan sikat gigi.
Di balik pantri, aku menggeleng. "Gue udah apply semua yang bisa gue apply lewat Jobstreet dan LinkedIn. Tapi belum ada panggilan sih. Tenang aja, gue dapat lumayan banyak project freelance."
"Oh ya?" Jagad mendekat dan duduk di kursi pantri. "Dari mana?"
"Twitter do your magic," jawabku sambil tertawa kecil.
"Hah? Maksudnya?"
"Kemarin gue coba bikin thread, cerita soal gue di-PHK, pesangon nggak turun, dan gaji tiga bulan nggak dibayar. Cuma dikasih MacBook bekas yang udah dipakai 7 tahun sama kantor. Terus gue bilang kalau ada yang butuh jasa content writer atau copy writer, gue bisa freelance. Lumayan, ada beberapa orang yang kontak gue dua hari ini."
Jagad mengangguk-angguk. "Baguslah. Tapi tetap cari yang tetap, ya."
Aku mengangguk.
"Dari kemarin sebenernya gue mau nawarin sih. Tapi kita nggak pernah ketemu. Lo mau kerja di kantor gue?"
![](https://img.wattpad.com/cover/243649389-288-k902158.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DIHAPUS - Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-Sia
RomancePART 21 - EPILOG SUDAH DIHAPUS - TERSEDIA VERSI CETAK DAN DIGITAL DI GOOGLE PLAYBOOKS. Di usia 28 tahun, Nana kehilangan pekerjaan. Kantor tempatnya bekerja selama lima tahun terus menerus merugi dan akhirnya gulung tikar. Kabar buruknya, kantor bah...