9. Haruskah?

23.4K 2.5K 65
                                    

Aku menyeka air mataku dengan tisu. Tristan hanya tersenyum melihat kakaknya yang sepertinya seperti anak kecil bagi dirinya.

"Tasya." Panggil seseorang yang tak lain adalah Arkan. Sejak kapan dia berdiri di sana? Apa sudah lama?

"Oh abang Arkan, sudah lama?" Sapa Tristan berdiri menyalami Arkan sedangkan aku. Aku sibuk dengan menyeka air mataku dan sedikit membetulkan jilbabku.

Arkan hanya tersenyum dan langsung memandangiku. "Tasya, kamu kenapa?" Tanyanya khawatir.

Ah, nada khawatir itu yang membuatku goyah. Seakan nada khawatir itu bukan nada khawatir sebagai sahabat dan adik. Tapi nada khawatir akan kekasihnya.

"Biasa, kak Tasya nangis karena aku menceritakan sesuatu yang bikin dia sedih." Ucap Tristan. Arkan menatapku mencari kebenaran dari ucapan Tristan. Aku tersenyum mengangguk. Coba kalau aku hanya berdua saja dengan Arkan aku sudah bingung mau menjawab apa. Mau jawab selesai nonton film rasanya sangat bohong sekali karena laptop dan handphoneku sedang bersisihan di atas mejaku.

Arkan terus menatapku. Arkan kumohon jangan menatapku seperti itu. Kalau kau menatapku seperti itu aku tidak bisa menahan air mataku lagi.

"Abang mau ketemu papa?" Tanya Tristan yang mencoba berbicara dengan Arkan. Aku berpura-pura sibuk membuka laporan yang diberikan Nayla tadi.

"Ah iya." Kata Arkan gelagapan.

"Gimana kita bareng bang? Aku juga mau ke papa." Ucap Tristan mengajaknya keluar dan aku berseru lega akan hal itu. Tapi Tristan mendapat sebuah panggilan di handphonenya. Membuat Arkan terhenti dan kembali menatapku.

"Ada apa sih?" Kataku yang sudah tidak tahan dengan tatapannya. "Aku baik-baik saja." Kataku menghibur diriku sendiri dan untuk membuat Arkan berhenti menatapku.

Aku akan senang jika tatapannya tulus padaku. Tulus khawatir karena sebagai kekasihnya bukan sahabatnya.

Arkan berjalan mendekatiku dan duduk di depanku. "Ada masalah?"

Iya ada. Aku menyukaimu tapi kamu malah menyukai perempuan lain. Bathinku berteriak. Aku mengepalkan tanganku yang aku sembunyikan di bawah meja.

"Tidak ada Arkan, aku baik-baik saja. Hanya Tristan yang melebih-lebihkan." Kataku melihat pada Tristan yang masih menelepon entah siapa yang meneleponnya.

"Yasudah kalau tidak mau cerita. Oh yaa... kamu katanya mau ngisi seminar di kampusku lusa?" Tanya Arkan.

"Iya sama Zafran." Kataku tersenyum.

Arkan terdiam dan menatapku kembali. "Seberapa dekat kamu dengan dia?" Tanya Arkan tiba-tiba.

"Maksudnya?" Tanyaku memancingnya. Apa kamu cemburu Arkan jika aku dekat dengan Zafran atau dengan laki-laki lain. Apa kamu tidak suka jika aku dengan pria lain. Bagaimana denganku yang harus menahan cemburu jika kamu dengan Medina atau jika kamu sedang membahas Medina.

"Dia seperti menyukaimu." Ucapnya datar.

Aku tersenyum. "Siapa yang tidak suka denganku?" Kataku centil sehingga membuat Arkan bisa sedikit tersenyum.

"Dia memang bilang kalau dia menyukaiku." Ucapku jujur. Dan tatapan Arkan tiba-tiba mengeras. Dia memberikan tatapan dingin padaku.

"Terus?"

"Ya... aku bilang. Gak papa itu hakmu. Tapi untuk saat ini aku belum mempunyai perasaan yang sama denganmu dan dia bilang dia akan membuatku jatuh hati padanya." Kataku tertawa. Tapi tidak dengan Arkan dia semakin menatapku yang membuatku semakin gugup jadinya.

Entah kenapa aku mau terbuka pada Arkan. Termasuk jika ada orang yang menyukaiku. Aku mengatakan ini aku hanya ingin tahu respon dia. Cemburukah? Marahkah? Kesalkah? Jika ada pria yang mendekatiku. Tapi harapanku pupus begitu saja. Arkan hanya diam membisu tanpa berkata apapun.

Tulang Rusuk Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang