10. Kesiapan Hati

23.9K 2.5K 89
                                    

Dan disinilah kami bertiga. Kami makan di restoran yang baru aku kunjungi. Ini hasil dari rekomendasi Zafran. Restoran yang kami kunjungi saat ini milik temannya. Aku menyukai tata ruang yang ada di restoran ini. Yang terpenting adikku, Tristan dia mau di ajak untuk makan bersama denganku. Terlebih aku mengatakan kalau ada Arkan yang ikut bersama.

Ah, semoga saja keinginan Tristan terwujud. Yaitu Arkan bisa menjadi kakak iparnya.

Kami yang mengundang kami yang datang lebih awal. Arkan dan Medina masih ada di jalan. Apa mereka semobil? Tidak mungkin. Arkan dan Medina tidak mau jika hanya berdua saja di dalam mobil. Mungkin mereka datang dengan mobil yang berbeda. Medina adalah gadis anggun, sholehah dan mandiri. Sangat kontras dengan diriku yang terkadang seperti anak kecil dan manja.

Akhirnya dua orang yang kutunggu datang bersama. Mereka saling mencari tempat duduk yang kami tempati. Tristan yang melambaikan tangan padanya. Aku hanya memerhatikan mereka jalan. Lihatlah dari jauh saja mereka sangat serasi. Mereka berjalan seiringin. Dari jauh Medina sudah memberikan senyumannya pada kami. Kenapa hati ini kembali perih melihat mereka berdua bersama.

Ini semua gara-gara Zafran. Aku menoleh padanya dan ternyata dia sedang melihatku. Dia tersenyum padaku. Dia menempelkan punggungnya pada kursi sambil melirikku.
Zafran mengirimkan pesan. Yang mengatakan jangan menangis.

Huh siapa yang menangis. Menyebalkan.

Aku berdiri menyambut Medina dan melakukan salaman lalu kami saling menempelkan kedua pipi kami. Medina duduk di sampingku dan di sisi Medina ada Arkan. Mereka seperti pasangan suami istri yang serasi.

Ada sentuhan hangat yang menjalar dari tanganku. Menggemgamku erat. Tangan itu, tangan Tristan. Tangan dia menggemgam tanganku tapi dia nampak leluasa berbicara pada Arkan dan Zafran.

Ketika bersama Medina aku menjadi pendiam. Padahal diantara ke tiga sahabatku aku yang paling bawel dan bisa membaur dengan orang baru. Bisa mencari topik pembahasan dengan orang baru. Entah kenapa dengan Medina aku menjadi sulit membuka pembicaraan.

Aku lebih fokus menata hatiku jika ada dia di dekatku. Aku tidak pernah bertemu dengan Medina secara pribadi aku bertemu dengan dia jika ada Arkan disisinya.

Untungnya dalam hal ini Medina yang mengambil alih posisiku dia sering mengajakku berbicara dan aku nyambung dengan apa yang dia bicarakan.

Kami membicarakan tentang persiapan kami yang akan mengisi seminar di kampus mereka. Kampus dimana mereka berdua mengajar. Mereka berdua sama-sama Dosen muda. Sedangkan aku dan Zafran profesinya sama. Terlihat cocok bukan. Aku dengan Zafran dan Arkan dengan Medina. Tapi bukankah jika sama akan tercipta rasa bosan. Rasa ingin berbeda pasti ada.

"Yah, sepertinya aku hanya menjadi pendengar saja." Keluh Tristan yang tidak mengerti dengan yang kami bicarakan karena dunia kerjanya bukan di darat tapi di udara.

"Ah, bapak Pilot ini bisa saja." Ucap Zafran dengan menepuk bahu Tristan.

"Tristan Pilot?" Tanya Medina kaget.

"Iya kak, kakak ada keluarga atau teman, yang bekerja di penerbangan?" Tanya Tristan. Dan akhirnya Medinalah yang bisa berbicara dengan Tristan.

Gadis yang pintar dan bisa bergaul dengan siapa saja. Termasuk dengan adikku sendiri.

Aku berulang kali meneguk minumanku yang sudah hampir mau habis. Tatapanku dan tatapan Arkan sering bertemu. Mungkin karena kami duduk berseberangan.

Tiba-tiba ada yang menyita perhatianku. Ada dua orang yang berbeda usia yang sedang makan bersama. Dua orang itu adalah Daniel dan mamanya.

"Mmm boleh aku tinggal sebentar." Pamitku pada mereka semua. Sontak saja perhatian mereka teralihkan padaku.

"Mau kemana kak?" Tanya Tristan.

Tulang Rusuk Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang