Waktu istirahat. Gue duduk di bangku kantin sembari menikmati sepiring nasi goreng bersama temen terbaik gue, Je. Sebenarnya namanya Jenita, cuman karena ini anak tomboy dia nggak mau dipanggil Nita ataupun Jeni. Katanya terlalu feminin. Bah, apalah itu. Aneh emang, tapi gue sayang.
Kantin ramai, seperti biasanya. Gue nggak heran sih, soalnya makanan di sini enak-enak. Tanpa terkecuali.
Tetiba pacarnya Je datang, dia bawa temennya. Gue kadang merasa heran, bisa-bisanya Je—si cewek tomboy ini— punya pacar, mana tuh orang anggota basket pula. Apa mungkin karena Je juga anggota basket putri terus mereka cinlok gitu? Kan emang gitu, kok gue lupa sih?
"Hai, Nyet. Kita gabung ya."
"Duduk aja kali, Gor."
Mereka nggak ada manis-manisnya. Lihat aja, masa panggilan sayangnya nama-nama binatang gitu? Monyet, gorila. Ah, lagi-lagi gue mikirin hal nggak penting gini. Otak gue mulai teracuni kayaknya karena hubungan aneh mereka.
"Hai, Mikita."
Gue cuman ngegumam sebagai jawaban. Males nangapin lebih, entar dikira sok akrab. Dih, bukan gue banget deh. Oiya, yang nyapa barusan itu temennya si Orka. Pacarnyaa Je. Males gue sama tu orang, sok akrab.
"Monyet gue udah besar ya sekarang. Udah bisa makan sendiri. Siapa sih yang ajarin?"
"Gorila ganteng gue dong. Mau?"
"Suapin."
Mendengar nada manja Orka gue berasa pengen muntah. Makanan yang baru aja masuk seperti ingin putar balik. Benar-benar norak pasangan ini. Gue nggak nyangka sebelumnya kalau Je bisa segini noraknya saat pacaran.
Makin lama mendengar percakapan aneh dua sejoli ini, gue makin nggak selera makan. Benar-benar merusak suasana. Harusnya gue melipir duluan dari sini sejak tadi. Tapi sayang makanan gue, gue belinya pake uang dan belum kenyang. Apes-apes.
"Norak kalian."
Baru saja hendak menyuarakan protes, sudah ada yang protes duluan. Sesuai dengan pikiran gue pula. Paan sih, jangan berpikir kalau ini sinyal jodoh. Ogah.
"Iri lo? Tuh, Miki nganggur."
Orka sialan!
"Ngapa gue dibawa-bawa, sih?"
"Hehe, lo kan emang nganggur Ki."
Gue memutar bola mata malas melihat Orka cengengesan tanpa dosa. Dia nggak tau apa, kalau gue nggak suka dijodoh-jodohin apalagi sama temannya yang sok akrab itu. Sedangkan, Je, perempuan yang katanya sahabat gue itu cuman senyum-senyum nggak jelas lihat gue kesal. Bener-bener sahabat kagak ada akhlak!
"Nyet, kita pindah yuk, biar nggak ganggu para non norakyers ini."
"Pergi sana, jauh-jauh."
Mereka benar-benar pergi. Kampret emang. Pengen gue kutuk Je yang tega ninggalin gue sama si ... ah, gue males nyebut namanya. Entar kepikiran.
"Ki?"
Itu orang ngapain manggil-manggil, sih. Nggak tau apa kalau gue mau fokus makan, biar cepet selesainya?
"Milkita?"
"Apaan sih. Nama gue Mikita, bukan Milkita. Lo nggak usah sok akrab manggil gue kek panggilannya Je ya. Gue nggak ridho!" Gue natap dia garang. Keluar sudah emosi gue. Setiap gue ngomong sama dia, gue selalu aja emosi. Dia itu sok akrab, sok-sokan manggil gue Milkita. Enak aja, emang dia siapa? Je aja masih terus gue cerocosin kalau manggil gue gitu, apalagi dia?
"Hhhe, sorry. Lo jangan marah dong, entar cantiknya ilang loh."
"Paan, sih. Receh!"
"Receh, tapi pipi lo merah."
Habis sudah kesabaran gue. Gue nggak bisa bertahan lebih lama di sini. Lagipula akan percuma karena gue nggak selera makan lagi.
"Je, gue balik duluan ya!"
Setelah pamit pada Je yang masih asyik suap-suapan di meja seberang, gue melangkah lebar keluar kantin dengan jantung serasa hendak copot.
❤
Mataa kok bisa-bisanya lo lihat muka diaa. Itu kan zona terlarang lo. Bego, goblok. Jadinya kebayang-bayang kan sekarang. Otak juga, ngapain sih mikirin terus? Alamat nggak bakal bisa fokus belajar, nih.
—Mission Failed!
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Aturan Ketika Jatuh Cinta ala Mikita (Tamat)
Teen FictionApa jadinya ketika kamu ingin hijrah, melupakan cinta monyetmu, tapi tiba-tiba crush ngasih kode ngukapin rasa. Ditolak apa diterima? Ini hanyalah kumpulan strategi seorang gadis yang berupaya agar tidak jatuh cinta terlalu dalam hingga membuatnya t...