S2: Anggap dia tidak ada.

14 1 0
                                    

"Je, lo lihat buku sejarah gue nggak?"

Setelah lelah mengacak-acak tas dan laci sendiri, akhirnya gue nyerah. Milih buat nanya sama Je yang lagi asyik sama hapenya.

"Lihat."

"Dimana?"

"Sama Orka."

Enteng banget dia ngomong. Kayak nggak ada rasa bersalah gitu, udah minjamin buku orang tanpa izin.

"Kok sama dia? Lo minjamin kok nggak bilang-bilang, sih?"

Gue kesal, tentu saja. Bagaimana tidak? Buku itu sangat penting bagi gue. Karena itu adalah penembusan dosa gue dari minggu kemarin yang nggak ngumpulin tugas itu karena ketinggalan entah dimana. Dan gue mesti buat lagi yang baru soalnya yang lama nggak ketemu-ketemu. Capek, tau nggak sih?

"Lupa, soalnya lo lagi ke toilet tadi. Dia minjam bentar kok, istirahat bakal dibalikin lagi."

"Awas aja kalau nggak."

"Kalau nggak, nanti kita jemput ya beb ku."

"Iiih, apaan sih lo, alay."

Gue bergidik pelan mendapat perlakuan aneh Je. Cewek tomboy itu bisa-bisanya sealay ini. Gue sakit kepala memikirkannya. Benar-benar di luar nalar.

Waktu istirahat tiba. Dan tidak ada tanda-tanda buku gue bakal dikembalikan. Gue sudah menduganya. Pacar Je memang sengaret itu. Daripada menunggu nggak jelas di kelas. Kami memutuskan untuk menjemputnya ke kelas laki-laki itu. Sialan memang.

Je tentu aja bahagia, beda banget sama gue. Perjalanan ini nggak menarik sama sekali. Gue paksa-paksain kaki melangkah biar bisa nyampe. Soalnya, jika buku itu tidak berada di tangan gue sebelum bel masuk bunyi, gue bakal di hukum lari tiga keliling lapangan basket karena gue nambah ketelatan pengumpulannya. Dan gue nggak suka lari-lari di tengah hari yang terik begini.

"Gas! Orka mana?"

Je yang bertanya, dia memang mengenal beberapa orang di sini. Maklum, orangnya aktif dalam ekskul. Beda banget sama gue. Ikut ekskul cuman satu, itupun buat menuhin kewajiban di sini. Harus ikut minimal satu bidang ekstrakurikuler, katanya.

"Keluar sama Arif."

"Gimana Ki?"

"Kita ambil aja langsung. Entar dia kelamaan."

"Kalau Orka masih butuh gimana?"

"Siapa suruh lambat. Ayok ah."

Dengan menarik lengan Je, gue melangkah menuju bangku cowok itu yang kosong. Pertama-tama, gue mengecek pada laci Orka, tidak ada buku gue di sana. Kemudian, tasnya, Je sebagai saksi. Gue nggak mau di tuduh maling entar karena razia tas orang tanpa izin. Gue izin kok, tapi sama pacarnya.

Buku gue masih nggak ketemu. Dia nyimpen dimana sih? Apa perlu gue cek laci sebelah? Mana tau kan buku gue di sana? Tanpa pikir lagi, gue mengacak-acak laci sebelahnya. Ada banyak buku di sini.

"Eh, Nyet. Ngapain lo?"

Orka. Gue kenal suaranya. Apalagi panggilannya untuk Je. Gue nggak peduli kehadirannya, yang gue butuh adalah buku sejarah gue yang belum ketemu juga sampai sekarang.

"Ki, lo ngapain, acak-acak lacinya Arif?"

"Cari buku gue, mana?"

"Udah gue titipin sama Anya."

Anya, teman sekelas gue. Dia emang jarang keluar kelas kalau nggak penting. Sukanya ngejongkrok aja di bangku sambil baca komik favoritnya. Kadang gue yang bosan liatnya.

"Lambat! Udah gue tunggu di kelas, lo nggak datang-datang. Gue ke kelas lo, lo ke kelas gue. Buang-buang tenaga gue aja."

"Sorry lah."

"Udah ah, yok balik Je." Gue mengamit lengan Je lagi untuk berlalu pergi. Je kalau nggak ditarik dari cintanya itu, bakal lama kelarnya. Lupa kalau gue udah acak-acak laci orang yang saat ini lagi diam di sebelah Orka. Mungkin bengong, gue nggak peduli. Atau mungkin, berusaha untuk tidak peduli?

"Dadah Gor. Entar jadikan jalannya?"

"Jadi dong. Entar gue jemput!"

Kami telah berbelok dari pintu masuk. Samar gue mendengar sesuatu.

"Eh, itu si Miki emang nggak liat gue atau gimana sih? Kok nggak bilang apa-apa, udah acak-acak meja gue? Mana nggak diberesin lagi."

"Sabar, ya, bro."

Maaf.


Gue berhasil ngacuhin dia. Ini progres yang bagus. Kapan-kapan gue bakal coba lagi:)

Mission Success

Aturan Ketika Jatuh Cinta ala Mikita (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang