S10: Jangan ada hutang budi diantara kita.

8 1 0
                                    

Huh. Capek. Ini gara-gara latihan tadi nih. Kenapa sih harus ngaret pulangnya? Jadinya kan gue pulang kesorean banget ini. Terus dengan terpaksa lari-larian biar pulangnya nggak kemaleman.

Ngos-ngosan.
Keringat bercucuran.
Jantung deg-degan.

Aduuh, kepala gue rasanya pengen pecah. Bibir juga udah kering nih.

Kenapa sih baterai ponsel pake habis segala dan duit juga hilang.

Salah gue apa coba sampe seapes ini? Mana udah gelap pula. Mamaa, aku takut.

Astaghfirullah.
Astaghfirullah.
Astaghfirullah.

Gue nggak boleh cemen.

Ayo.
Ayo.
Ayo! Semangat.

Tin. Tiiiin.

Siapa lagi sih tuh? Nggak tau apa kalau gue mesti cepet-cepet? Ini tuh udah mau magrib. Gue nggak mau entar di gondol wewe gombel. Di sini pake sepi juga lagi.

"Ki! Berenti dulu."

Hah? Kek kenal suaranya. Oke, gue ngalah. Berenti aja, sekalian buat narik napas. Capek banget.

"Apa?"

"Gue anterin. Naik yok."

"Beneran?"

"Iya. Cepet. Entar nambah gelap."

"Oke."

Akhirnya, ada juga yang baik hati nganterin gue. Soalnya temen temen gue itu nggak ada yang searah sama gue. Makanya gue sangsi buat minta anterin tadi. Oh ya, tukang ojek kalau mau magrib itu udah nggak ada lagi. Entah hilang kemana mereka. Kadang di sanalah gue merasa heran.

Tau nggak siapa si baik hati itu? Si Arif. Mau banget gue buat nolak. Tapi dengan berbagai pertimbangan, gue nggak bisa melakukannya. Gue capek, udah magrib, dan di sini sepi. Jadi nggak ada alasan dong ya buat gue nolak? Biarin ajalah kali ini aja gue hutang budi sama dia.

Angin sepoi-sepoi membelai wajah gue. Ah, adem. Begini ya rasanya angin surga? Ada-ada aja gue. Lagi ngaur nih otak. "Makasi ya, Rif?"

"Iyaa, entar kalau gini lagi, lo minta anterin gue aja. Gue bakal anterin kok." Dia teriak dari depan.

Gue keinget sesuatu. Gue mesti balas kebaikan dia nih. Nggak boleh enggak. Kan hutang budi ke dia itu nggak baik buat kesehatan jantung gue. "Nanti di rumah jangan pergi dulu ya. Ada yang mau gue kasih."

"Oh ya? Apa?"

"Ongkos."

"Emang lo pikir gue tukang ojek?"

"Iya."

"Gue itu temen lo Ki bukan tukang ojek."

"Rejeki nggak boleh ditolak."

"Yaudah, lo bayarnya kapan-kapan aja. Soalnya gue mesti balik cepet."

"Oke, besok gue bayar. Secepatnya."

"Kenapa sih pengen banget bayar?"

"Gue nggak mau hutang budi."

"Aelah, biasa aja kali. Temen juga."

"Nggak peduli."

"Yaudah deh, serah lo."

"Oke."

"Dih, gambek lo Ki?"

"Biasa aja."

Gejeduk.

"Aduh, lo kalau ngerem bilang-bilang dong." Sakit nih dahi gue kejedot ama helmnya. Sialan lah. Nggak jadi dia si baik hati. Jahat. Benjol dah jidat gue.

"Hhhe, sorry, Ki. Lupa. Udah nyampe nih."

Gue turun sambil ngusap-ngusap jidat. Masih sakit.

"Iya makasi. Besok gue bayar."

Gue buka pagar. Males lama-lama di sini.

"Serah lo, gue balik dulu ya?"

"Ya."

"Lo nggak mau bilang hati-hati gitu?"

"Nggak."

Blam!

Pintu pagar gue tutup dengan kekuatan penuh. Rasain tuh.

"Jutek amat, Neng!" Setelahnya bunyi motornya menjauh dari rumah.

Serah lu. Mau lu bilang gue jahat juga nggak papa. Gue nggak peduli. Gue cuman pengen mandi terus rebahan di kasur empuk gue biar ini badan bisa istirahat. Ngantuk.


Nggak mau bilang apa-apa. Gue melakukan ini cuman kepaksa. Besok bakal gue tuntasin kok masalah hutang budi ini. Janji!

Mission failed

Aturan Ketika Jatuh Cinta ala Mikita (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang