Chapter 3 : Kenangan Nostalgia

9 3 1
                                    

Ilusi Optik, Pintu Pertama, dan Bunda Theressa...

"Gawat! Kode 9! Kita kehilangan dia! Kode 9!" Teriak seorang wanita dengan jas putih yang membalut kaus hitam lengan panjangnya dan rok selutut berwarna cokelatnya. Tangannya sibuk mengutak-atik alat pantau yang menunjukkan kabar yang tidak baik.

Sontak yang lainnya ikut panik. "Cek tekanan darahnya! Mars, bagaimana laju detak jantungnya?!" Sang pemimpin berjubah putih berkacamata itu memerintahkan anggotanya yang lain sembari mencari cairan suntikan yang dapat menangani masalah yang terjadi.

"Detak jantungnya lebih pelan dari sebelumnya! Ini buruk! Kalau dia tidak mendapat kesadarannya sekarang, maka..."

"Kita tidak ada pilihan lain. Aku akan memberinya suntikan predober*. Tetap awasi kesadaran dan tekanan darahnya. Beritahu jika ada perubahan signifikan!" Sang pemimpin mengetuk pelan jarum suntiknya yang sudah ia isi dengan cairan predober.

Di tengah-tengah kepanikan mereka, terdengar suara dari sebuah speaker yang terhubung dengan ruangan yang mengawasi jalannya operasi mereka. "Biarkan dia terbangun. Operasi hari ini gagal."

"Tapi, Pak, jika dia dipaksa sadar di tengah kondisinya yang sekarang, dia akan menjadi gila aau bahkan ikut koma. Kita harus menunggu kesadarannya kembali sebelum ia bangun. Kita tidak bisa mengambi risiko berbahaya." Ingat wanita berjas putih yang mengurusi alat pantau tersebut.

Orangnya yang sebelumnya memutuskan bahwa operasi gagal hanya menggertakkan giginya. Bahkan anggotanya sendiri mulai melawannya. Ia mengumpat dalam hatinya sebelum membalikkan badannya dan berjalan pergi dari ruangan itu sembari menghidupkan rokok di bibirnya. "Lakukan sesuka kalian," Kata terakhirnya sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu besi.

***

Anna membuka matanya dengan perlahan dan menyadari sesuatu yang membalut kepalanya sekaligus nyaris menutupi seluruh pandangannya. Lingkup pengelihatannya jadi sangat terbatas. Begitu merasakan apa yang ada di punggungnya, ia menyadari bahwa posisinya sedang berbaring di sebuah kasur di sebuah ruangan putih. Ia baru menyadari bahwa ia masih berada di ruangan putih itu bersama Jiro.

Tunggu, dimana Jiro sekarang?

Anna bangun dari tempat berbaringnya dan mencoba untuk menatap ke sekelilingnya dengan pengelihatan terbatas. Ia bahkan membuka sedikit perban yang terbalut di sekitar matanya untuk mendapat pengelihatan yang lebih jelas. Ketika indra pengelihatannya tidak menemukan siapa pun, indra perabanya mendapatkan sesuatu.

Anna segera merendahkan pandangannya dan melihat Jiro tertidur dengan posisi terduduk di lantai dengan kedua tangan menjadi alas kepalanya yang terletak di pinggir kasur. "Dia disini toh..." Hatinya merasa lega melihat Jiro masih bersamanya di ruangan itu.

Sekarang, waktunya Anna untuk mengingat apa yang terjadi sebelum ia berakhir terbaring di atas kasur king-size dengan balutan perban di kepalanya. Anna terdiam sejenak dengan melonggarkan perban tersebut dan akhirnya mengingat apa yang telah terjadi kepadanya ketika ia menemukan sedikit rasa nyeri yang ada di belakang kepalanya.

Anna terguncang dengan keterkejutannya. Ia bisa terluka. Cukup mengejutkan. Meski rasa sakitnya tidak benar-benar terasa nyata, rasanya masih aneh di dirinya. Seoah-olah itu adalah sesuatu yang tidak seharusnya ia rasakan di sini. Ia kembali menatap ke sekeliling ruangan dan menemukan keanehan.

Ruangan ini, seharusnya berbentuk persegi panjang. Itulah yang ia yakini ketika ia terbang menembus ketertidakbatasan langit-langit ruangan. Tapi ketika ia melihat di tempatnya sekarang, garis-garis yang semestinya menunjukkan tampak pojok ruangan, tidak terlihat sama sekali dan membuatnya beranggapan bahwa ruangan itu berbentuk lingkaran. Anna terhanyut dalam pikirannya.

The White RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang