Chapter 21 : Pintu Keenam

0 0 0
                                    

“Melukaiku di tempat lain di luar ruangan ini?”
Jiro mengangguk. “Dan dia memberitahukanku banyak hal yang seharusnya aku dengar dari dirimu langsung. Tidak bisakah kamu katakan segalanya kepadaku? Apa ada yang kamu sembunyikan dariku? Kumohon beritahu aku, Anna.”
Anna menundukkan kepalanya. Kira-kira bagaimana reaksi Jiro ketika dia tahu bahwa dirinya yang sekarang tengah koma dan ruangan putih yang mengurungnya sekarang adalah alam bawah sadarnya. Anna melirik ke arah pintu berwarna gelap itu. “Apakah Dokter itu mengatakan sesuatu tentang apa yang ada di dalam ruangan itu?” Tanya Anna sedikit kecewa. Ia juga ingin menjadi satu-satunya orang yang memberitahu Jiro dari mulutnya sendiri dan bukan dari mulut orang lain.
“Tidak.” Jawab Jiro singkat.
“Apa saja yang Dokter itu katakan kepadamu?”
Jiro menunjukkan ekspresi yang pahit ketika ia tengah mengingat percakapan mereka berdua.
“Semua ini tidak nyata, kan? Ruangan ini... seharusnya tidak ada. Ya, kan?” Tanya Jiro.
“Seharusnya begitu kecuali ada kejadian spesial.”
“Kejadian spesial? Apa itu?”
“Kejadian yang tidak seharusnya terjadi namun terjadi karena adanya suatu peristiwa yang tidak terduga. Seperti, seseorang merencanakan sesuatu untuk menghilangkan keberadaan seseorang. Namun bukannya orang itu menghilang dari muka bumi, alih-alih orang itu jatuh dalam tidur panjang antara hidup dan mati. Seperti merencanakan sebuah rencana untuk melakukan sesuatu dengan pasti namun berdampak setengah-setengah dan tidak diharapkan. Antara iya dan tidak. Tidak menganggu. Tapi jika dibiarkan, hati jadi tidak tenang.”
Jiro menelan ludahnya. “Aku yang asli sedang koma, kan?”
Kedua mata Anna membulat. Dokter wabah itu telah mengatakan hal yang tidak penting kepada Jiro. Seharusnya Dokter itu tidak mengatakannya agar Jiro tetap percaya bahwa mereka berdua dapat keluar dari sini tanpa ada rasa putus asa di hatinya. Namun jika Jiro sudah mengetahui hal ini, apa yang harus Anna perbuat untuk menutupinya?
“Kamu nggak perlu menyembunyikan lagi hal ini dariku. Toh, aku juga tidak begitu terkejut sekarang. Tapi aku ingin meminta detail tentang hari itu kepadamu, Anna. Seperti yang kamu tahu, ingatanku tidak mengikuti diriku yang ada di dunia nyata. Sekarang ini, yang dapat aku ingat adalah sampai aku menginjak SMP. Dokter itu adalah orang yang membunuh ibuku, kan?” Jiro mencari setitik kebenaran dari kedua mata Anna yang terdiam menatapnya sekarang.
Anna menatap wajah Jiro yang sedang memohon akan kebenaran darinya. Hanya dirinyalah sumber kebenaran yang sedang dicari oleh Jiro. Akhirnya datang juga waktu seperti ini. Anna tidak ingin berbohong lagi. Setelah sekian lama, setidaknya ia ingin mengatakan sesuatu kepada Jiro secara langsung. Jiro, temannya, yang selalu bersamanya dan memiliki ambisi besar untuk menjerumuskan si Dokter wabah ke jeruji penjara adalah orang yang tekun dan pantang menyerah.
“Ya, Dokter itu telah membunuh ibumu ketika kau berumur 11 tahun.” Anna mencari kata-kata untuk melanjutkan kalimatnya. “Aku kurang tahu detail tentang kecelakaanmu, tapi aku tahu garis besarnya. Di hari ketika aku sedang memiliki kesibukan dengan tugas kuliahku di perpustakaan, kau pulang sendiri dari kampus. Kau mengirim pesan bahwa kau sedang ada kesibukan lain yang tidak bisa aku ketahui. Lalu beberapa jam setelahnya, aku mendengar kabar bahwa kau mengalami kecelakaan di tebing Broadhill dan terjatuh di danau Esion.”
“Rangkaian kecelakaan yang dapat ditemukan oleh kepolisian setempat adalah bahwa kau sedang berkendara dengan seseorang dan kalian menabrak batas jalan raya. Kepolisian tidak menemukan siapa yang sedang bersamamu hari itu. Mobil yang kalian kendarai adalah mobil yang disewa dari persewaan mobil.”
“L- lalu... bukankah seharusnya namanya...” Jiro menatap Anna tidak percaya.
Anna menatap Jiro dengan serius. “Nama yang tertera di persewaan mobil itu adalah Donny Lackshawn. Namun kita tidak bisa mencari identitas pria itu dimana pun. Tidak di kota ini atau pun di kota lain. Dia tidak pernah ada dimana pun. Penjaga yang melayani sewa pria itu mengaku bahwa yang meminjam mobil tersebut adalah seorang pria tua yang sangat sopan dengan rambut tipis yang tersisir rapi. Namun pria itu tidak ditemukan dimana-mana.”
Secara perlahan dan kaku, Jiro menundukkan kepalanya. Jiro menekuri lantai di antara kedua kakinya dengan wajah pucat. Ada ketakutan, kegelisahan, dan kesedihan di matanya. Awalnya, ia pikir hal itu adalah kecelakaan biasa dan dia sedang dalam koma yang tidak di sengaja. Tapi jika pelaku yang menyebabkan kecelakaan itu tidak ditemukan sampai 5 tahun lamanya, bukankah itu adalah siasat yang sempurna?
“Lalu, bagaimana kelanjutannya? Apa masih belum ada satu petunjuk pun sampai sekarang?”
Anna menggeleng. “Kami menunggu kesadaranmu dari koma untuk tahu tentang kecelakaan itu. Sepertinya, kau sempat membuat janji sebelumnya dengan orang itu dan melakukan perbincangan di dalam mobil. Dan ada kemungkinan bahwa orang itu yang mengendalikan kemudi kala itu dan mencelakakan mobil itu ketika kau berada di dalam sendirian.”
Tubuh Jiro gemetaran. Air mata tertampung di kelopak matanya. Ia mengangkat pendangannya perlahan ke arah Anna. “B- bagaimana ini, Anna...? Aku, aku masih koma sampai sekarang. Aku juga tidak ingat apa pun tentang kecelakaan itu... bagaimana ini? Apa yang akan terjadi kepadaku selanjutnya??”
Jiro mulai terisak. Anna yang duduk di sofa yang berhadapan dengan Jiro, bangkit dari tempatnya untuk menghampiri, dan memeluk Jiro. Ia mengelus punggung Jiro dengan lembut. “Karena itulah, aku datang kemari untuk mengeluarkanmu dari ruangan ini. Kita bersama-sama pasti akan berhasil keluar dari sini. Usaha yang kita satukan tidak akan sia-sia, percayalah kepadaku.” Suara Anna terdengar sangat lembut.
Jiro mengangkat tangannya untuk memeluk Anna kembali. “T- tapi, kenapa aku- hiks, tidak ingat apa pun tentang hari itu- hiks...?”
Anna masih mengelus punggung anak laki-laki itu. “Kita akan temukan ingatan itu bersama-sama. Ingatanmu tentang bersekolah di SMP, apakah itu berasal dari ruangan itu?” Anna menunjuk kearah pintu berwarna gelap yang sebelumnya menunjukkan ruang kelas mereka di bangku SMP. “Bukankah itu berarti bahwa semakin kau membuka pintu disini, semakin kau mendapat semua ingatanmu?”
Jiro mengangkat kepalanya untuk menatap Anna dan melonggarkan pelukan mereka. Anna juga membalas tatapan itu. “K- kamu benar...”
“Berarti, kita tinggal masuk ke ruangan terakhir.” Anna menatap ke arah pintu ruangan yang bersudut di dekat pintu kamar Bunda Theressa. Lebih tepatnya, pintu terakhir berada di di sebelah kiri dinding bagian timur. Jiro berkata, bahwa ruangan itu tidak terkunci dan tidak memiliki kunci. Tapi tetap saja tidak bisa dibuka oleh mereka berdua. Mereka juga tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Seharusnya petunjuk untuk ruangan itu berada di suatu tempat.
“Tapi Anna... pintu terakhir, pintu ketujuh itu, masih belum kita temukan.”
Jumlah pintu yang diwakilkan oleh hilangnya angka pada waktu.
Itu adalah petunjuk pertama yang mereka temukan di ruangan putih. Anna mengernyitkan dahinya. “Aah... kau benar juga. Kita masih belum menemukan pintu ketujuh.” Anna mengedarkan pandangannya ke sekitar, dari kamar mandi yang hilang entah kemana sampai ke perabot-perabot yang juga hilang dari tempatnya. Mungkin kita telah melewati sesuatu...
“Aku dapat petunjuk dari ruangan itu.” Jiro menunjuk ke arah pintu berwarna merah gelap itu.
“Petunjuk seperti apa itu?”
“Seorang murid yang ada di kelas itu yang mengatakannya.”
“Murid??”
Jiro menatap mata Anna. “Ya, seorang murid bernama Anna Edensley yang sedang mengenakan seragam musim dingin.”
Sontak gaun simpel berwarna putih yang Anna kenakan berubah menjadi sebuah seragam dengan sebuah kemeja putih, blazer biru kehitaman, sebuah dasi pita berwarna merah muda, dan rok pi skirt bermotif kotak-kotak berwarna hijau douglas fir selutut. Memang benar seragam ini adalah sebuah seragam musim dingin perempuan di SMP mereka, jika blazer yang Anna kenakan tidak melupakan almamater di dada kirinya. Anna menatap seragam itu dan Jiro bergantian. “I- itu memang...”
“Tapi setelah mengucapkan petunjuk itu, dia menghilang. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Seperti ada kabut yang menghalangi. Disana, aku juga tidak bisa mengatakan namaku dengan jelas. Tenggorokanku tersekat. Lalu, petunjuk yang ia katakan adalah Bukalah pintu terakhir dan taklukan lawan sejatimu. Singkirkan hal yang menghalangimu. Carilah dirimu yang sebenarnya. Kau akan mendapatkan jawabanmu di pintu ketujuh.
“Pintu ketujuh...” Pandangan Anna menurun seiring dirinya terhanyut dalam pikiran.
Jiro menatap Anna sambil ikut berpikir. Tapi itu tidak bertahan lama ketika ia menyadari bahwa posisi mereka masih saling merangkul satu sama lain. “A- Anna..!”
Kesadaran Anna kembali ke permukaan. “Hm? Ada apa, Jiro?”
“Um, hmm...” Jiro juga bingung bagaimana harus menjelaskannya. Ia merasa malu jika mereka tetap berada di posisi mereka yang sekarang. “I- itu... lebih baik kalau kamu duduk di sofa, kan?”
Anna yang baru menyadari posisi mereka setelah perkataan Jiro, memeluk kepala Jiro dengan erat. “Ya ampun, kenapa kau sangat imut sekali, Jiro...???” Anna memeluk Jiro dengan gemas.
Jiro mencoba untuk melepaskan pelukan Anna. “K- kamu, bagaimana bisa kamu memelukku seperti ini? Begini-begini aku seorang pria, loh!”
“Pfft–” Anna tidak bisa menahan tawanya dan tertawa atas kalimat yang Jiro ucapkan. “Pria? Oh, sepertinya Dokter itu mengatakan tentang umurmu, pfft... hahaha!”
Merasa terhina, Jiro menggembungkan kedua pipinya. Tawa Anna semakin keras. Entah mengapa, Jiro yang ada di ruangan putih memiliki gaya dan sifat seperti anak kecil yang sebenarnya. Tawa Anna perlahan mereda. Jika Jiro yang ada di pelukannya ini adalah Jiro yang hanya mengingat sampai ingatan masa kecil saja, apakah ada kemungkinan bahwa ada Jiro yang memegang ingatan dewasa Jiro?
Jiro yang memiliki ingatan sampai SMP ini memiliki sifat seperti anak kecil. Anna sampai-sampai tidak bisa menemukan sifat-sifat yang ada di Jiro yang dewasa di Jiro yang ini. Tapi jika memang benar ada Jiro dewasa di sini, dimana Jiro yang dewasa itu? Apakah Jiro yang dewasa dapat melihat apa yang ada di ruangan putih ini?
Apakah Jiro yang dewasa ada di balik pintu ketujuh?
BRUK...!
Anna megerjapkan matanya berkali-kali karena kebingungan dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Punggungnya memang benar mendarat di atas sofa yang empuk, namun tubuh Jiro yang berada di atasnya dan menguncinya dalam posisi berbaring sangatlah mengejutkan dirinya. Anna kehilangan kata-kata dan terus mengedipkan matanya berkali-kali.
Jiro memandangnya. Masih ada kekesalan di mata Jiro dan pipinya masih menggembung. Tapi ia tidak berhenti menatap Anna.
“Ji- Jiro?”
Jiro menekuk kedua lengannya yang mengunci Anna di atas kedua bahu Anna, mendekatkan wajah keduanya. Semburat merah mewarnai wajah Anna yang membisu. “Jangan bercanda seperti itu lagi... kau tahu, aku tetaplah seorang pria meski tubuhku anak kecil sekarang.” Tatapan yang menatap tepat di mata Anna sangatlah serius. Mata berwarna cokelat muda itu selalu tampak indah di mata Anna.
“Hik!” Anna cegukan dan segera mendorong tubuh Jiro. Seragamnya sontak berganti menjadi gaun simpel berwarna putih tanpa lengan yang biasa Anna pakai di ruangan ini. Anna segera memberi jarak di antara mereka. “K- kau itu...! Jelas-jelas kau t- tidak boleh begitu!”
Anna membalikkan badannya dan melihat Jiro menjulurkan lidahnya dengan tangan kirinya menarik salah satu kantong matanya.
“D- Dasar!” Anna membalas Jiro dengan iseng memukulnya.
Baik Jiro yang ini atau pun yang dewasa, mereka berdua tetaplah sesuatu yang membuat Jiro menjadi Jiro yang Anna kenal.
***
Anna dan Jiro berdiri di depan pintu terakhir, pintu keenam, yang berada di dekat pintu kamar ibunya Jiro. Tangan Jiro memegang kenop pintu dihadapannya dan memutarnya melawan arah jarum jam.
CKLEK, CKLEK!
Pintu itu masih bergeming tidak peduli berapa kali pun Jiro memutar kenopnya. Salah satu tangan Anna menyentuh dagunya sambil berpikir. “Apa benar-benar tidak ada kunci?”
“Benar, aku nggak bohong.”
CKLEK, CKLEK!
“Kalau pintu yang tadi tidak punya kenopnya, sekarang tidak punya kunci, heh..?” Anna menyeringai tidak percaya. Ia memerlukan petunjuk dimana kunci itu berada. Tapi jika kunci itu tetap tidak ditemukan begitu juga dengan petunjuk kuncinya, apa mereka tidak bisa menghancurkan pintu itu saja?
Anna mengalihkan pandangannya untuk lebih memperhatikan sekitar sampai ke detail terkecil. “Kenapa perabotan-perabotan disini berkurang?” Tanya Anna dan Jiro mengalihkan perhatiannya ke arahnya. “Kamar mandi, kulkas, dispenser, bahkan sampai ke colokannya menghilang. Dindingnya tampak bersih sekali.”
“Oh, itu karena aku merasa tidak butuh. Kamu tahu, kan? Sejak aku tahu bahwa aku koma dan ruangan ini tidak nyata, aku rasa aku tidak butuh makan, minum, atau mandi seperti orang biasa.”
“Jadi perabotan itu menghilang begitu saja?”
Jiro mengangguk. “Iya, begitu saja. Dan lalu, aku juga tidak tidur. Aku rasa, aku membunuh waktuku dengan menelusuri ruangan ini dengan lebih baik lagi agar aku dapat menemukan petunjuk-petunjuk yang dibutuhkan.”
“Tapi apa benar-benar kau tidak memiliki petunjuk untuk kuncinya??”
Jiro mengerutkan bibirnya sembari menundukkan kepalanya berpikir. “Hmm... tidak ada, kurasa...? Apa kuncinya tidak ada di petunjuk sebelumnya?”
Bukalah pintu terakhir dan taklukan lawan sejatimu. Singkirkan hal yang menghalangimu. Carilah dirimu yang sebenarnya. Kau akan mendapatkan jawabanmu di pintu ketujuh, ya??” Anna mengetuk-ngetukkan jari yang ada di dagunya.
“Bagaimana jika kita berpikir tentang pintu terakhir yang dimaksudkan?” Ujar Jiro memberi ide.
“Bukankah tentu saja pintu terakhir yang dimaksud adalah pintu ketujuh?”
“Bukankah itu aneh?” Jiro mengubah posisi bedirinya menghadap Anna. “Di kalimat pertama, dia mengatakan pintu terakhir. Sedangkan di kalimat terakhirnya, ia mengatakan pintu ketujuh. Kenapa sedari awal ia tidak langsung mengatakan pintu terakhir sebagai pintu ketujuh, alih-alih tetap menyebutnya dengan dua kata yang berbeda? Apa petunjuk ini hanya disengaja begitu?”
Anna memicingkan matanya. “Jadi kau mencurigai diriku yang lain yang memberikan petunjuk itu, begitu??”
“Bukan! Mana mungkin begitu. Bukan itu yang aku maksud.” Jiro segera melambaikan kedua tangannya ke depan untuk menolak ucapan Anna.
Anna menghela napas pendek. “Ya, ya... aku tahu maksudmu. Jadi ada perbedaan di cara penyebutannya, ya?”
“Iya, begitulah.”
“Entah mengapa aku rasa kau jadi tambah pintar saja. Apa ini efek dari berteman dengan orang jenius sepertiku?”
“Dih! Percaya diri sekali.” Jiro kembali memutar kenop pintu itu dengan sia-sia.
Anna mengetuk-ngetuk jari yang ada di dagunya lagi sambil melayangkan pandangan ke langit-langit ruangan yang tidak terbatas. “Secara teknis, ruangan ini adalah ruangan terakhir yang belum kita buka disini; jika kita mengabaikan kehadiran pintu ketujuh, maksudku. Tentu saja kedua pintu ini berbeda, kan?”
Jiro bergumam. “Tentu. Buat apa ada dua ruangan yang sama disini? Memangnya pak arsitek disini ‘kurang uang’ apa?”
Padahal ini alam bawah sadarnya sendiri... “Coba lihat siapa yang berbicara.” Sindir Anna. “Kalau memang begitu, bukankah petunjuknya menjadi lebih jelas lagi?”
Jiro mengerutkan alisnya dan mencoba untuk berpikir.
Bukalah pintu terakhir dan taklukan lawan sejatimu. Jadi, pintu terakhir ini berisi lawan sejatimu yang aku tidak tahu siapa atau apa itu. Kita sebut saja pintu terakhir ini sebagai pintu keenam, karena kita masih belum tahu keberadaan pintu yang ketujuh. Singkirkan hal yang menghalangimu. Dia ingin kau membereskan lawan sejatimu ini. Dan Carilah dirimu yang sebenarnya. Kau akan mendapatkan jawabanmu di pintu ketujuh. Carilah dirimu yang sebenarnya setelah menyelesaikan lawan sejatimu, lalu dengan menemukan jati dirimu, kau akan diarahkan ke pintu ketujuh dimana jawabanmu berada.”
“Lawan sejati, diriku yang sebenarnya, jawaban di pintu ketujuh...” Ucap Jiro merenung.
“Anggap saja kunci pintu ketujuh adalah ‘menemukan dirimu yang sebenarnya’, lalu bagaimana dengan kunci pintu keenam; atau yang disebut pintu terakhir ini?” Kini Anna mengetuk-ngetukkan jari di dahinya sambil berjalan mondar-mandir di depan pintu keenam. “Kita pasti sudah melewatkan satu petunjuk...”
Jiro mengerutkan dahinya sembari berpikir keras. Ia tidak merasa bahwa ia telah melewatkan suatu hal. Namun ia meragukan dirinya sendiri. Memiliki tugas untuk menaklukan lawannya membuatnya gugup. Ia tidak tahu siapa yang akan menjadi lawannya atau pun bagaimana cara melawannya. “Sepertinya aku harus mempersiapkan diri untuk ini...”
Kedua mata Anna yang terpejam tiba-tiba terbuka. “Persiapan... PERSIAPAN! Itu dia, Jiro!” Anna sontak memegang kedua bahu Jiro dan nyaris membuat anak laki-laki itu tidak seimbang.
“Hah? Apa? Persiapan apa?”
“Persiapan untuk melawan lawan sejatimu!”
Jiro mengangkat sebelah alisnya. “Bukankah tadi aku sudah mengatakan itu?”
“Memang, tapi kurasa persiapan itulah yang menjadi kunci untuk pintu keenam ini.”
“T- tapi...” Jiro menatap ke bawah. “Apa yang harus aku siapkan? Kita berdua tidak tahu siapa atau apa yang akan aku hadapi, kan?”
Anna mengangguk. “Siapa atau apa, bagaimana atau kapan, kau harus menyiapkan mentalmu luar dan dalam. Aku yakin, apa pun yang terjadi, jika kau merasa yakin dan pasti, kau bisa mengalahkannya. Dan kita akan segera menemukan pintu ketujuh lalu keluar dari sini.”
“Bagaimana kamu bisa seyakin itu? K- kamu bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi dan memintaku untuk mempersiapkan diri. Apa aku akan bertarung sendirian?? Tanpa kamu??” Kedua mata Jiro yang sedih tampak seperti mata anak anjing yang minta dipungut dari pinggir jalan.
Ugh... Begitu menyilaukan. Bagaimana cara Anna menolak Jiro jika begini jadinya?
Anna membungkukkan badannya ke arah Jiro. “Jiro, apa yang kau katakan? Aku akan membantumu. Tapi ingat akan satu hal, Jiro. Ruangan ini adalah ruanganmu. Kau yang berkuasa disini. Dengan membayangkan sesuatu, sesuatu yang ada di pikiranmu akan segera muncul di ruangan ini. Kau pasti tidak akan kalah dari lawanmu itu.”
“Benarkah?” Mata Jiro berbinar karena harapan.
“Tentu saja. Bahkan sepertinya, jika kau membayangkan Dokter bereng- maksudku, Dokter sialan itu telanjang, sepertinya dia akan benar-benar telanjang.” Anna terkekeh-kekeh. Ia mengubah panggilannya terhadap Dokter itu menjadi lebih buruk.
Jiro tertawa. Namun tidak lama, tawa itu menghilang. “Anna, ada yang ingin aku katakan kepadamu.”
***

The White RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang