Chapter 8 : Pertengkaran Kecil

4 1 0
                                    

Kenop pintu, Merah pekat, dan Retakan...

Jiro berjalan mengelilingi ruangan putih berulang kali sambil melipat tangannya di dada dan meletakkan salah satu tangan di dagunya. Tatapannya menekuri lantai yang akan dipijaknya sembari menerawang. Ia tengah memikirkan sesuatu yang baru saja terjadi padanya. Sesuatu yang benar-benar pertama kali terjadi padanya setelah sekian lama berada di ruangan putih ini.

Ia bermimpi.

Bukan hanya sekedar mimpi. Mimpi itu sangatlah penuh arti baginya yang tidak tahu apa pun tentang wanita berambut cokelat gelap yang panjang itu. Namun mata itu sangatlah mengingatkannya akan warna mata Anna. Tapi bukan berarti hanya Anna saja yang memiliki warna mata itu di dunia. Karena dunianya sangatlah kecil sekecil ruangan putih yang dihuninya, Anna menjadi satu-satunya orang yang memiliki warna mata seperti itu.

Tapi itu tak membuatnya yakin bahwa wanita itu adalah seseorang yang memiliki hubungan dengan dirinya atau pun Anna. Memikirkan hal ini saja, Jiro membutuhkan banyak waktu untuk meyakinkan dirinya tentang apa yang baru saja terjadi kepadanya.

"Apakah mimpi ini adalah suatu pertanda? Tapi apa yang bisa aku ambil dari mimpi itu? Tebing? Padang rumput?" Jiro mengetuk-ngetukkan jarinya di dagunya dan menghentikan langkahnya tepat di depan pintu yang ada di sebelah kanan dinding bagian barat.

Pintu ini sangatlah istimewa. Ketika lima pintu lainnya yang ada di ruangan ini berwarna putih tulang, hanya pintu kamar ini sajalah yang memiliki warna pintu hitam; atau lebih tepatnya berwarna merah yang sangat pekat sampai-sampai menyerupai warna hitam.

Dan tidak hanya itu perbedaannya. Pintu merah gelap ini adalah satu-satunya pintu yang tidak memiliki kenop pintu. Hal ini menyulitkan Jiro untuk mencari kunci ruangan ini jika kenop pintunya saja tidak ada.

Jiro berjalan ke arah pintu tersebut dan berdiri tepat berhadapan dengan pintu berwarna merah pekat tersebut. Ia mencoba untuk membuka pintu tersebut dengan mendorongnya ke depan, namun pintu itu bergeming. Ia mencoba untuk kedua kali dan ketiga kali untuk memastikan bahwa pintu itu benar-benar terkunci. "Gawat. Kalau begini, pintunya tidak akan pernah bisa dibuka, dong." Jiro menghela napas putus asa sambil berkacak pinggang.

Tatapannya menatap ke sekelilingnya lagi untuk menemukan kemungkinan dimana kenop pintu itu berada. Namun bagaimana jika kenop pintu ini benar-benar tidak ada?

Jiro kembali menatap pintu tersebut untuk memastikan sesuatu dengan melihat rumah kenop pintu itu yang kehilangan kenopnya. "Pegangannya saja yang hilang. Apa bisa pegangannya diganti dengan sesuatu yang lain?" Jiro menggigit bibir bawah bagian dalamnya sembari berpikir. Lalu ketika matanya bergeser ke arah dinding yang ada di sebelah pintu tersebut, Jiro mengamati retakan di dinding itu yang sama terjadi dengan dinding lainnya di ruangan putih ini.

"Dinding retak ini... bagaimana caraku memperbaikinya...? Jika dinding ini tetap seperti ini, Anna bisa saja tidak mau datang kemari." Jiro yang terusik dengan retakan tersebut tiba-tiba terdiam dengan kepala menunduk. "Dan bagaimana jika sedari awal Anna tidak pernah kembali ke ruangan ini?"

Berusaha untuk mengalihkan pikirannya, Jiro berjalan kembali dan berhenti tepat di depan pintu yang berisi monster burung dengan gigi-gigi kecil yang tajam di paruhnya itu. Sekilas, terpikirkan olehnya suatu pikiran buruk. "Jika aku mati karena tercabik-cabik oleh monster ini, apakah aku bisa menemui Anna? Jika aku mati, apakah aku bisa pergi dari ruangan putih ini?"

Di tengah-tengah gumamannya, Jiro telah mengulurkan tangannya ke depan untuk meraih kenop pintu tersebut. Dengan tanpa sedikit pun rasa takut di benaknya. Ia pikir, selama ini ia selalu sendiri dengan keyakinan tidak akan ada siapa pun yang akan menjumpainya di ruangan ini selain Dokter wabah aneh itu. Ia pikir, selamanya ia akan terjebak selamanya di dalam ruangan putih dengan pikiran bahwa ia tidak akan menemukan satu pun jalan keluar dari ruangan ini. Ia pun tidak mengharapkan apa pun dan terus menghabiskan waktunya dengan tidur dan membuat sketsa di waktunya yang tidak terbatas ini.

The White RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang