°27°

262 28 2
                                    

"Kak Vano!"

Velin berlari kecil ke arah Vano yang baru saja melewati gerbang rumahnya. Lalu dengan panik, ia memeriksa keadaan Vano tanpa mempedulikan kehadiran Feron yang masih berdiri di belakang cowok itu.

"Lo nggak di apa-apain kan sama Abang?!" Velin bertanya, dengan tangannya yang memegang kedua pipi Vano.

"Nggak lah, emangnya gue bar-bar kayak lo, apa!" Feron menyaut.

"Gue nanya sama Kak Vano ya, bukan sama Abang!"

Feron berdecak, lalu ia mendekat ke arah Velin dan melepaskan tangan adiknya itu dari wajah Vano.

"Nggak usah pegang-pegang muka orang, woi. Bukan muhrim!"

Kini gantian Velin yang berdecak, "Suka-suka gue lah! Kak Vano nya aja nggak protes gue pegang-pegang!"

Vano yang mulai pusing karena perdebatan kakak beradik di depannya itu tampak menghela napas panjang. Sepertinya, ia datang di waktu yang salah. Kalau tau akan begini, Vano lebih baik melanjutkan belajar dan mengerjakan tugas UASnya saja di rumah.

"Bang, saya izin mau ajak ngobrol Velin sebentar." Vano akhirnya berkata, membuat Feron dan Velin yang hampir cakar-cakaran di depannya itu lantas menoleh ke arah Vano.

"Sono dah, lama juga nggak papa." Feron berdecak pelan, lalu cowok itu berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah.

∆∆∆

"Maaf ya Kak, buat keributan yang tadi." Velin berkata sambil menyenderkan tubuhnya ke pagar, dengan mata yang tak lepas dari Vano yang sedang berdiri di hadapannya.

"Maaf juga karena gue udah keceplosan bilang ke Abang kalo lo udah pernah cium gue."

Vano tersenyum, lalu tangan cowok itu mengelus pelan pucuk kepala Velin dengan lembut. Hal yang entah sudah sejak kapan menjadi kebiasaan Vano jika dia sedang bersama dengan gadis itu.

"Nggak apa-apa. Mungkin emang udah seharusnya Abang kamu tau."

"Tapi kan itu harusnya jadi privasi kita aja, Kak." Balas Velin dengan sedih.

Masih sambil tersenyum, Vano melangkah pelan menghampiri Velin dan mulai merengkuh tubuh gadis itu.

"Hal kayak gitu emang seharusnya jadi privasi dan rahasia kita aja. Tapi kalo ada orang yang tau, ya nggak apa-apa. Kita kan nggak harus selalu terlihat suci di mata orang lain." Vano membalas pelan, "Karena kita manusia, pasti pernah bikin kesalahan."

"Jadi lo menganggap kejadian waktu itu adalah kesalahan, ya?"

"Iya, soalnya kan waktu itu kamu marah. Dan untuk saya yang baru pertama kali melakukan hal itu, jelas saya merasa bersalah."

Velin menghela napas, dengan tangan yang balas memeluk Vano. Gadis itu memejamkan mata, sambil mencari kenyamanan di dada bidang Vano dan menghirup dalam-dalam wangi parfum Vano yang maskulin tetapi sangat lembut saat menyentuh rongga hidungnya.

"Awalnya gue emang marah, tapi kalo hal itu yang bisa bikin lo datang ke gue, gue nggak masalah." Velin kini menyandarkan kepalanya di dada Vano.

"Gue bucin banget ya, Kak?"

Vano tertawa, "Iya."

"Hehehee." Velin cengengesan dengan tangan yang kini sudah melingkar sempurna di tubuh Vano, lalu ia mendongak untuk menatap wajah cowok itu.

VANOVELIN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang