°22°

236 27 1
                                    

"Masuk arsi susah nggak, Kak?"

"Hm, lumayan."

"Sesusah apa?"

"Menurut saya, semuanya nggak ada yang susah selagi kita mau belajar dan berusaha, Velin."

"Harus jago gambar juga nggak?"

"Mungkin bukan jago, tapi seenggaknya bisa gambar. Soalnya, arsi itu itu identik dengan desain. Dalam desainnya juga nggak asal gambar aja, tapi harus diukur dan diperhitungkan dengan tepat." Jelas Vano, lalu lelaki itu bertanya. "Kenapa? Kamu berminat masuk arsi juga setelah lulus?"

Tangan Velin yang sedang memasangkan sheetmask ke wajah Vano terhenti, dengan mata bulatnya yang kini balas menatap Vano yang sedang tiduran di atas karpet bulu dengan berbantalkan kedua pahanya.

"Nggak, nanya doang." Katanya, lalu kembali merapikan tepian sheetmask di wajah Vano agar menempel dengan sempurna.

Weekend ini sesuai dengan permintaan ibu Vano beberapa waktu lalu, Vano mengajak Velin ke rumah untuk dikenalkan kepada ibunya. Dikenalkannya sih baru sebagai teman dulu, meskipun saat dikenalkan, Velin kekeuh mengatakan jika dirinya adalah calon pacar Vano. Vano sih pasrah saja, dan ibunya juga hanya tertawa ketika Velin mengatakan hal itu. Ibunya menyambut hangat, dan dalam sekejap bisa langsung akrab dengan Velin karena Velin juga bukan merupakan orang yang mudah canggung ketika baru mengenal orang lain.

Vano tentu saja bersyukur, tetapi sejak Velin datang dan bertemu ibunya, Vano seakan terasingkan karena dua perempuan itu asik mengobrol dan bertukar cerita tanpa melibatkan Vano. Vano bete, dan lebih memilih masuk ke dalam kamarnya sambil melanjutkan tugas miliknya yang belum selesai. Sampai akhirnya ketika waktu menjelang jam makan malam, Velin menggebrak pintu kamar Vano sambil membawa dua buah sheetmask yang katanya baru ia beli di supermarket bersama ibu Vano saat beliau mengajak Velin berbelanja bahan makanan untuk makan malam mereka nanti.

"Ini udah mau malem, bokap lo kok belum pulang juga sih, Kak?"

Velin kembali bertanya, membuat Vano yang sedang memejamkan mata sambil merasakan sensasi dingin akibat sheetmask di wajahnya mulai membuka mata.

"Kenapa emang?"

"Gue kan mau ngenalin diri sebagai calon pacar lo ke bokap lo juga, Kak. Sekalian minta restu, hehehehehehe."

Vano tersenyum, lalu mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap Velin yang masih cengengesan dengan sheetmask yang juga tertempel pada wajah gadis itu. Velin terlihat semakin lucu, apalagi rambut sebahunya kini sedang dicepol asal dengan beberapa anak rambut yang menjuntai di sisi wajahnya, membuatnya terlihat kian manis.

"Ayah saya kerja dan tinggal di Bandung."

"Oh, LDR dong sama ibu?"

Vano menggeleng, "Ayah dan ibu saya udah lama pisah. Saya di sini cuma tinggal sama ibu."

Velin terkejut, raut mukanya berubah tidak enak.

"Oh, sori Kak. Gue nggak tau."

"Nggak apa-apa, lagian selama orang tua saya bahagia dengan perpisahan mereka, saya baik-baik aja."

Vano mengusap pucuk kepala Velin sambil tersenyum, membuat perasaan Velin merasa semakin tidak enak karena telah menyinggung perihal ayah Vano. Apalagi saat ia menyadari jika senyum Vano terlihat sedikit palsu.

Yah di mana pun, tidak ada seorang anak yang benar-benar baik-baik saja ketika orang tuanya berpisah.

Akhirnya setelah cukup lama Velin menatap senyum Vano, ia perlahan mulai mendekat setelah sempat melepas sheetmask pada wajahnya. Lalu tanpa canggung, Velin memeluk Vano dengan lembut. Vano membalasnya, dengan dagu yang tertempel di atas kepala Velin.

"Saya beneran baik-baik aja." Ujar Vano dengan pelan.

"Nggak, lo nggak baik-baik aja. Nggak usah boong sama gue, Kak."

Vano menghela napas, dengan tangan yang semakin erat memeluk Velin sambil memejamkan mata. Dalam hati, Vano sangat bersyukur karena saat ini ia memiliki Velin yang ternyata cukup mengerti dengan keadaan dirinya yang sesungguhnya.

∆∆∆

VANOVELIN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang