°26°

233 25 0
                                    

Vano mengernyitkan dahi sambil menatap ponselnya yang masih menampilkan history panggilan yang baru saja berakhir. Ia menggaruk kepala, merasa heran sekaligus bingung karena tidak biasanya Feron berbicara sengegas itu kepadanya. Dari nada bicara Feron, sepertinya cowok itu memang kesal kepada Vano. Tetapi, kesal karena apa? Apakah Vano telah melakukan kesalahan?

Vano menghela napas, lalu dia memasukkan ponselnya ke dalam saku sambil berniat keluar dari mobil Jeep miliknya. Malam ini Vano memang sengaja mengendarai mobil karena ia membawa sesuatu yang cukup besar untuk Velin, sebuah hadiah ulang tahun yang sudah Vano persiapkan dari beberapa hari yang lalu. Kini Vano tersenyum, sambil menoleh ke kursi belakang untuk menatap hadiah tersebut sebelum akhirnya ia membuka pintu mobil ketika mendengar suara gerbang yang dibuka.

"Heh, Van. Sini lo, gue mau ngomong!"

Vano yang baru keluar dari mobil lantas berlari kecil untuk menghampiri Feron yang berdiri di depan gerbang rumahnya yang terbuka. Cowok tinggi itu tampak memperhatikan penampilan Vano dari atas sampai bawah, dengan tangan yang berlipat di depan dada. Tatapan Feron tajam, tidak se-friendly biasanya yang lantas membuat Vano sedikit tidak nyaman.

"Kenapa, Bang?"

"Mau ketemu Velin doang kok rapi amat, wangi banget lagi."

"Saya kan emang biasa kayak gini,"

Feron berdehem, lalu mulai kembali memasang wajah sangarnya yang hanya dibalas dengan tatapan datar oleh Vano.

"Langsung aja deh ya, gue nggak mau basa-basi." Feron berkata sambil mengibaskan tangannya.

"Sebenarnya, adek gue itu lo anggap apa?"

Vano mengerjap, sangat tidak menduga jika Feron akan melontarkan pertanyaan tersebut kepadanya.

"Kalo lo emang nggak ada niatan buat menjalin hubungan sama Velin, seenggaknya jangan melakukan hal yang bisa bikin Velin semakin bucin sama lo."

"Maksudnya?"

"Gue tau lo pernah cium Velin, Van."

Vano terbatuk, kini ia mulai mengerti ke arah mana pembicaraan Feron dan sepertinya hal ini yang membuat kakak tingkatnya itu kesal kepada Vano. Yah, padahal kejadian itu sudah cukup lama. Ia tidak mengira jika Feron akan mengetahui rahasianya bersama Velin. Tetapi karena Vano merupakan sosok lelaki beradab dan bertanggung jawab, tentu saja Vano akan meminta maaf kepada Feron. Dan jika dirasa perlu, Vano juga akan meminta maaf sekalian kepada orang tua Velin.

"Saya minta maaf, Bang. Waktu itu saya nggak bisa mengontrol emosi saya karena Velin menganggap kalau saya nggak suka perempuan. Jadi, saya kelepasan dan malah melakukan hal itu." Vano menjelaskan.

Feron mengangguk, mencoba mengerti dengan alasan Vano yang kalau dipikir-pikir itu juga terjadi karena dirinya yang mendoktrin Velin agar berpikiran jika Vano itu tidak suka perempuan.

"Saya nggak keberatan kalo Abang mau marah atau mukul saya sekali pun karena saya waktu itu udah berani kurang ajar sama Velin. Tapi tolong Bang, jangan menjauhkan Velin dari saya cuma gara-gara hal ini."

Feron kini mengangkat alis, sedikit tidak menyangka jika Vano akan mengatakan hal semacam itu. Membuat Feron merasa, jika sepertinya Velin telah berhasil membuat Vano yang terkenal sebagai maba yang pernah beberapa kali menolak cewek cantik di kampus itu kini bisa bertekuk lutut padanya.

"Saya suka Velin, Bang." Vano berkata lagi dengan mantap, membuat Feron hampir tersedak tetapi dengan cepat ia kembali mengatur ekspresinya.

"Gue tau."

"Saya serius dengan perasaan saya sama Velin. Jadi saya harap, Abang bisa percaya lagi sama saya."

"Gue sih dari awal percaya-percaya aja sama lo, Van. Tapi kalo emang lo serius, kasih kejelasan hubungan lo dulu lah sama Velin. Masa iya udah saling suka sampe pernah ciuman juga, tapi nggak ada status apa-apa sampe sekarang."

Vano terdiam, mencoba mencerna perkataan Feron dengan otaknya yang seketika terasa berat. Sebenarnya, bukan Vano tidak mau meresmikan hubungannya dengan Velin. Tetapi Vano hanya merasa hubungan mereka yang sekarang saja sudah cukup. Meskipun nanti ia meresmikan hubungan mereka, sepertinya tidak akan ada yang berubah mengingat hubungan Vano dan Velin saat ini saja sudah seperti sepasang kekasih.

"Gini deh, gue tau pacaran itu cuma sekedar status doang. Tapi gimana ya, ngeliat Velin yang kadang-kadang suka galau gara-gara lo yang belum nembak dia sampe sekarang, bikin gue lama-lama jadi greget juga."

"Saya cuma ngerasa status itu nggak perlu, karena Velin juga kayaknya udah tau gimana perasaan saya sama dia."

"Tau dari mana lo kalo Velin udah tau gimana perasaan lo sedangkan lo aja belum pernah ngomong ke dia?"

Pertanyaan Feron lagi-lagi membuat Vano terdiam.

"Saya----,"

"Jangan telalu lama bikin Velin terus bertanya-tanya tentang gimana perasaan lo ke dia, Van. Sebagai abangnya, jelas gue nggak tega liat adek gue suka sedih sendiri karena hubungannya sama lo yang nggak jelas sampe sekarang. Lagian gitu-gitu juga, yang suka sama Velin tuh banyak, bukan cuma lo doang."

Feron menjeda, menatap lekat wajah Vano yang sedang mendengarkan perkataannya dengan serius.

"Kalo lo emang ada perasaan sama Velin, ungkapin aja. Nggak susah, kok. Kalian juga udah kenal dan dekat lumayan lama, pasti udah ngerasa saling nyaman dan nggak ada canggung-canggungan, kan?"

Vano kembali terdiam, sebelum akhirnya cowok itu mengangguk pelan dan balas menatap Feron dengan mata sipitnya.

"Nanti saya pikirin lagi, Bang. Tapi buat sekarang, saya cuma pengen ketemu Velin dulu. Boleh kan?"

Feron mengangguk, lalu menggeser tubuhnya dan mempersilahkan Vano untuk masuk ke dalam rumah.

∆∆∆

VANOVELIN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang