☆ INTEROGATION ROOM ☆

43 13 19
                                    



"Keajaiban terbesar dalam hidupku adalah pertolongan Lily hari ini."

-Noel







_____




Noel, cowok yang dianggap bak anime hidup oleh Lily terpaksa membaringkan tubuhnya di ruang rawat sekolah. Bukan karena keinginannya, tetapi pemaksaan dari gadis tangan batu yang menolongnya.

Lily mengambil air di wadah serta handuk putih bersih. Luka Noel harus segera diobati. Mengingat Lily pernah mengobati Gisha, ia mencoba untuk mengobati Noel sebisanya.

"Kenapa lo diem aja waktu dipukul?"

Tampaknya Lily kesal. Sebab ia menekan sudut bibir Noel saat membersihkan luka di sana. Suara ringisan keluar dari mulut anime hidup itu.

"Sengaja," jawabnya santai.

Dahi Lily mengerut. Tak disangka cowok yang ditolongnya menjawab begitu. "Supaya apa?"

"Dibela sama lo," jawab Noel cepat.

Lily merutuki dirinya sendiri karena tiba-tiba terpaku pada tatapan teduh milik cowok itu. Seperti mengandung sihir yang membuat jantungnya berdegup tidak karuan. Tolong jangan bilang Lily terpesona.

"Kalau gue ada, kalau nggak ada? Apa mungkin gue belain lo? Lagian lo cowok masa cemen, sih? Anjing gue aja kalau digonggongin sama anjing lain langsung baku hantam. Lah lo? Diem aja kayak sariawan."

Sudut bibir cowok itu terangkat. Baru tahu kalau tingkah cewek yang menolongnya itu ternyata lucu.

"Kok lo senyum, sih?" Lily bingung. Perasaan dirinya sedang mengomel barusan.

"Lagi pengen."

Lily meletakkan handuk ke wadah air setelah selesai membersihkan luka Noel. Lanjut memberi obat luka, dengan telaten Lily melakukannya. "Selesai. Ntar pulang sekolah lo kompres lagi aja biar cepet ilang lebamnya. Terus lo kasih obat lagi di lukanya."

Saat Lily hendak membereskan peralatan yang digunakannya untuk mengobati Noel. Tiba-tiba Maluka masuk dengan mengejutkan mereka berdua.

"Lily!"

"Apa!" pekik Lily terkejut.

"Gawat!"

Ekspresi Maluka menggambarkan kecemasan. Lily bisa melihat itu. "Gawat apanya?"

"Lo ... dipanggil ke ruang interogasi!"







☆☆☆☆☆☆☆☆






"Jadi benar kamu yang melukai Arga dengan kekuatan kamu?"

Lily mengumpati cowok yang duduk bersama dengan orang tuanya di sebelah guru penginterogasi. Tak disangka si tengil itu mengadu, hingga membuatnya terjerat di ruangan sialan itu. Belum lagi dirinya akan mendapat semburan lirik-lirik Luna yang sangat menyakitkan telinga. Tak bisa dibayangkan betapa kacau saat Luna datang nanti.

"Dia yang mulai," jawab Lily apa adanya. Toh memang begitu kenyataannya. Ia tak akan memulai jika Arga tidak memancing emosinya.

"Tapi di sini Arga yang terluka. Kamu bahkan tidak lecet sedikit pun," sambung lelaki berkepala pelontos dan postur tubuh yang kurus.

Perkataan guru penginterogasi itu membuat Lily kembali naik pitam. Bisa-bisanya dia hanya melihat luka yang berbekas tanpa tahu alasannya menciptakan luka itu.

"Bapak harus dengar keseluruhan ceritanya dong! Masa karena dia yang luka dia nggak bersalah. Padahal, kan, dia duluan yang cari masalah!"

Ibu Arga langsung nyolot membela anaknya. "Kamu ini, udah salah bukannya minta maaf malah mojokin anak saya. Ini mana sih orang tuanya, Pak? Diajari tatakrama nggak, sih?"

Tangan Lily mengepal kuat. Hatinya begitu sesak ketika seseorang menyinggung orang tuanya. Apalagi sampai dihina tidak mengajarkannya cara berperilaku yang baik dan benar.

"Permisi?"

Luna. Wanita jangkung itu akhirnya menampakkan diri. Dengan setelan jas putih yang hanya disangkutkan di bahu, dibalut dres mini berwarna senada melekat anggun di tubuh langsingnya. Ditambah sepatu hitam mengkilap, kacamata, dan tas brand Gucci membuat tampilannya semakin modis. Saat berjalan mendekati Lily, ia terlihat bak model profesional kelas internasional.

Guru interogasi berkepala pelontos itu hanya diam tak berkedip. Seperti baru pertama kali melihat wanita secantik Luna.

"Jadi, permasalahannya bagaimana?" tanya Luna langsung ke inti.

"Anak kamu itu diajarin yang bener. Masa celakain orang sih! Lihat nih perbuatan anak kamu!" amuknya.

Melihat kondisi Arga seperti itu, Luna tidak iba dan tidak juga merasa menyesal atas perbuatan Lily. Namun, dirinya malah tertawa, membuat seisi ruangan heran. Bahkan Lily yang mengira Luna akan mengomelinya mendadak merasa aneh.

"Kok mama ketawa, sih?"

"Iya, jelas dong! Masa jantan kalah sama betina? Pakai ngadu pula. Anak kamu nggak tau malu, ya?" Gaya bicara Luna benar-benar seperti ibu-ibu julid di kompleks rumahnya.

Ibu Arga melotot tajam. Merasa sangat tidak terima dengan penghinaan yang dilontarkan Luna. Situasi menjadi semakin panas. Entah apa yang akan terjadi jika kedua wanita itu jika mereka bertengkar.

Lily pernah menyaksikan ibu-ibu kompleks berkelahi karena kucing salah satu dari mereka mencuri ikan. Terjadi perang mulut yang sengit, sampai saling menjambak. Sungguh mengerikan jika hal itu terjadi juga dengan Luna dan Ibu Arga.

"Saya nggak mau tau ya, Pak! Pokoknya saya menuntut ganti rugi dan anak itu dihukum!" tegas Ibu Arga berapi-api.

Sedari tadi Luna santai menanggapi Ibu Arga yang tersulut emosi. Wanita modis itu tampak agak lain dari biasanya yang super duper cerewet pada Lily.

"Mau diganti rugi berapa, sih? Perlu diganti sama tangan yang baru, hm? Bisikin sini nominalnya. Juta? Miliar? Triliun? Orang kaya mah sanggup!"

Mungkin perkataan yang dilontarkan Luna benar-benar menusuk dan mempermalukan harga diri Ibu Arga. Tampak dari ia yang tiba-tiba meninggalkan ruang interogasi begitu saja tanpa sepatah kata. Arga yang ditinggalkan pun terheran. Lalu, bangkit dan mengejarnya.

Lily menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Situasi sekarang ini membuat kepalanya pusing seperti telah menaiki komedi putar dengan kecepatan ekstra.

"Jadi, udah nggak ada masalah lagi, kan, Pak? Saya bisa pulang dong?"

Dengan polos guru interogasi itu menganggukkan kepalanya. Luna pun bangkit sambil menenteng tasnya. "Ayo, Sayang."

"Mama demam, ya?" tanya Lily sambil menyelaraskan langkahnya dengan Luna.

"Menurut kamu?"

Lily menyentuh lengan Luna, mengkode untuk berhenti. Mereka pun saling berhadapan sekarang. "Kok bisa, sih? Lily bingung beneran."

"Untuk hadapi lawan yang kayak begitu, kamu harus lukai harga dirinya dengan dua cara disaat yang bersamaan. Secara langsung dan tidak langsung. Kamu sih taunya main fisik doang. Banyak belajar kamu soal berantem yang hakiki sama mama!"

Lily melongo takjub. Untuk kesekian kalinya ia takjub dengan Luna. Keren.

"Kamu mau pulang sama mama, nggak?" tawar Luna.

"Mau. Tapi belum jam pulang."

"Yauda nanti telepon aja. Mama mau keliling sekolah dulu. Hitung-hitung nostalgia jaman pacaran sama papa kamu dulu."

Lily mengangguk. "Semerdeka kanjeng mama aja."








Terima kasih banyak sudah stay membaca Mikrokosmos.

Sampai ketemu senin depan💜


Makasih banget 💜

MikrokosmosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang