rindu boleh?

20 1 0
                                    

Hai, boleh aku rindu?

Aku menatap datar Pak Budi yang sedang menjelaskan bahasa Inggris di depan. Semua ucapan Pak Budi sama sekali tak menarik bagiku. Pikiranku masih saja melayang entah kemana.

"Jadi, jika kalian ingin bisa Inggris kuncinya cuma satu parties, karena---" ucapan Pak Budi terpotong karena ketukan dari pintu.

Tok! Tok!

"Permisi, Bapak ada tamu di ruangan Bapak," ucap siswi berkacamata berbentuk setengah lingkaran itu dari ambang pintu.

"Siapa, Nak?"

"Kata Ibu Tati, sih, orang tuanya Gabriel."

Mendengar nama Gabriel disebut membuat mataku terbuka seketika. Aku mengangkat kepalaku dari tumpukan buku. Kutatap Pak Budi dan siswi itu bergantian.

"Baik, terima kasih, Nak. Kamu silahkan kembali ke kelas." Siswi itu menganguk. "Pelajaran kita sampai sini dahulu dan untuk tugas kalian boleh kerjakan dari halaman 389 sampai 394, Bapak tinggal dulu. Jangan ribut, ketua kelas catat baik-baik ya!"

Aku langsung bangkit berdiri saat Pak Budi sudah menghilang di balik pintu. Aku menoleh saat tanganku dicekal oleh Arya.

"Mau kemana?" Arya menatapku heran.

"Mau ke ruangan pak Budi," kataku.

Arya menggeleng. "Jangan sekarang."

"Kapan Arya? Mumpung ada mama Gabriel, aku mau tanya."

Arya menempuk kursiku. Aku kembali mendudukan bokongku dengan terpaksa. Kutatap Arya dengan perasaan jengkel.

"Dikit lagi pergantian jam pelajaran dan banyak guru yang lewat. Kalo kamu pergi sekarang, kemungkinan terciduk pasti besar." Arya menatapku serius. "Setalah 30 menit dari sekarang kita akan ke sana."

"Kita?"

"Ya, aku akan temani kamu."

***

Aku dan Arya berjalan mindik-mindik bak maling. Arya mengisyaratkan agar aku maju ke depan menggunakan tanganya. Aku mengangguk dengan pelan aku mulai merayap di tembok bak cicak.

Aku mendekatkan kuping pada pintu berbahan kayu. Hanya samar-samar yang kutangkap.

"Jadi?" itu suara wanita dan aku yakin itu pasti suara mama Gabriel.

"Kami hanya menyayangkan absen Gabriel akhir-akhir ini, padahal Gabriel termasuk anak baik. Jadi, kami dari pihak sekolah sangat kecewa. Saya ingin bertanya apa alasan--"

Pintu terbuka, aku yang tidak siap mulai tak bisa menjaga keseimbangan hingga terjatuh. Menimbulkan bunyi yang membuat mereka berdua menoleh.

Pak Budi dan mama Gabriel bangkit berdiri. Aku meringis, sakitnya memang tak seberapa, tapi malunya itu.

"Rain? Kamu ngapain?" Pak Budi memandangku tegas.

"Anu--anu ...," ucapku terbata-bata kuusap dengkulku yang tak sengaja berciuman dengan dinginya lantai.

"Bicara yang tegas!" Bulu kudukku meremang mendengar suara dingin Pak Budi.

"Maaf, Pak. Sa--saya anu--anu." Aku menunduk seraya memainkan kedua jariku. Aku seakan lupa caranya berbicara menggunakan Bahasa Indonesia.

"Tugasmu sudah selesai?" Aku menggeleng.

Pak Budi menghela nafas. "Berdiri di lapangan, saya paling nggak suka anak yang bandel seperti kamu."

"Baik, Pak." Aku mengangguk patuh.

Gagal sudah usahaku untuk mengorek informasi tentang Gabriel. Dengan lesuh aku berbalik badan menuju lapangan. Ah, jika saja aku tidak seceroboh itu, mungkin sekarang aku sudah tau keberadaan Gabriel.

Double R {Terbit✓}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang