❝jika memang dunia ini adil, mengapa mereka selalu menindas yang lemah?❞______________________________________
"Sampah!"
"Sampah sepertimu mati saja sana!"
"Hahaha, dasar lemah!"
"Tinggalin yuk!"
Pemuda dengan surai hitam pendek itu diam. Menatap punggung teman--ah mungkin bukan.
Punggung-punggung itu mulai menjauh, gelak tawa mereka masih terdengar jelas. Netra azure itu menatap kosong, kekerasan kecil dari perbuatan para penindas berkelompok itu tidak berpengaruh untuknya.
Hal seperti ini sudah biasa ia hadapi. Hanya saja, fisiknya yang kebal. Hatinya tidak.
Andai saja sahabatnya ada disini sekarang. Namun apa daya, sang persik sudah meninggalkannya tiga tahun yang lalu, sebelum ia masuk sekolah menengah atas.
Pemuda itu mengambil bukunya yang berserakan, memasukkannya kembali ke dalam tasnya yang banyak bekas jejak kaki.
Ia berjalan lunglai, sorot matanya menggambarkan kehampaan, seolah tidak ada lagi keinginan untuk hidup.
Tanpa pemuda persik itu, ia bukanlah apa-apa. Meskipun selalu terlihat tenang, pemuda itu menyimpan ribuan rasa sakit di hatinya. Ia juga seseorang yang pendiam. Selama ini, Sabito lah yang melindungi dirinya.
Ia aman selama ada Sabito. Namun sang persik sudah meninggalkannya terlebih dahulu karena kecelakaan yang telah merenggut nyawanya.
Menghela napas pelan, pemuda itu tanpa sadar telah sampai di rumahnya. Kalau boleh jujur, ia malas untuk pulang dan kembali lagi ke dalam neraka tak berujung ini. Dimana pukulan dan dan siksaan sudah menjadi makanan sehari-hari baginya.
"Tadaima..."
Bau alkohol menyeruak masuk menusuk hidungnya. Bukannya mendapatkan jawaban yang seharusnya, pemuda itu malah mendapatkan teriakan yang telah biasa ia dengar.
Teriakan dari ibu gila yang dianiaya oleh ayah yang lebih gila lagi.
Pemuda itu menghela napas lagi, terdengar suara piring pecah, namun ia tidak peduli. Sudah biasa, cukup abaikan saja.
"Giyuu!!"
Merasa terpanggil, pemuda itu menoleh, mendapati seorang pria dengan tubuh tinggi tegap namun tampak tak terurus yang sedang memegangi botol anggur dan seorang wanita yang berusaha menahannya.
Oh ayahnya rupanya.
"Lagi...?" Pikir Giyuu dalam hati.
"Jangan sakiti anakku!!"
"Diam kau, wanita tua!! Aku butuh samsak yang lebih dari dirimu!!" Sang ayah mengarahkan botol anggur kepada anak tunggal miliknya, lalu memukulinya dengan sepuas hati.
Teriakan dan tangisan dari sang istri tidak ia hiraukan, ia malah semakin bersemangat untuk menambah luka dan lebam di sekujur tubuh Giyuu.
Giyuu hanya diam. Ia sudah kebal dengan semua ini. Namun, tetap saja, hatinya terasa sakit. Sangat sakit. Disaat seperti ini orang yang paling ia butuhkan adalah Sabito.
Hanya dia yang bisa menerima Giyuu, hanya dia yang bisa mengerti Giyuu. Namun, ia sudah pergi jauh. Sangat jauh.
Semenjak kepergian Sabito, Giyuu mencoba untuk mengacuhkan semuanya, Giyuu mencoba untuk tidak menangis lagi, Giyuu mencoba untuk tegar walau hatinya tak sanggup. Sebab baginya, satu-satunya cahaya dalam hidupnya telah padam.
KAMU SEDANG MEMBACA
🌼- Uwabaki | GiyuShino
RomantizmHIATUS ❝dimana uwabaki ku?❞ ❝hei, apakah ini uwabakimu?❞ _________________________________________ Uwabakinya yang menghilang, lalu ditemukan oleh sang senpai. Siapa yang tahu pertemuan singkat nan sederhana itu bisa mengantarkan Giyuu pada dunia ya...