The Beginning

7.7K 412 8
                                    

.
.
.
Tik tok

Tik tok

" saraa.. "

"Hentikan !?"

Suara-suara itu seakan mengejeknya. Mempermainkan kewarasannya. Membuatnya meringkuk seperti bayi di atas tempat tidurnya. Keringatnya mengalir deras bersamaan dengan batas kesabarannya yang sudah hampir habis. Bantal yang digunakannya untuk menutupi telinganya masih saja bisa ditembus oleh suara itu. Suaranya.
Sara mulai menangis ketika harum bunga lavender menyeruak masuk kedalam indra penciumannya. Membuatnya tersentak.

"Aku minta maaf, maafkan aku.." Teriaknya kemudian entah pada siapa.

Tak ada sahutan. Sara kemudian tertawa miris. Merasa dia sudah benar-benar gila. Dia bangun dengan takut karena merasa pening dengan harum bunga lavender yang tak mau hilang. Mengitari pandangan pada sekeliling kamarnya. Air mata yang tak hentinya mengalir sejak tadi membuatnya semakin terlihat berantakan. Baru saja dia menurunkan kakinya ke lantai kamar. Netranya membelalak menatap sebuah tali yang tergeletak di atas meja dengan bunga mawar merah diatasnya.
Mendadak nafasnya tercekat.

"Harusnya kau yg disana,"

Sara tersentak. Suara itu lagi. Sekarang terdengar begitu kesal dan marah. Sara menjambak rambutnya kasar.

"Maaf, bu. Maaff... " Teriaknya frustasi. Dengan tergesa-gesa dia mengambil beberapa pil yang ada di atas nakas dan menenggaknya tanpa air.

"Jangan memanggilku ibu. Kau.. Seharusnya kau yang mati, bukan aku."

Hatinya mencelos. Memang benar, seharusnya aku yang mati, bukan ibu. Air matanya mengalir deras. Menyadari kenyataan yg seharusnya dia pahami sejak dulu. Tapi, sayangnya berusaha dia hilangkan mati-matian sejak bertemu dengan dr. Haruno.

Ya. Dr. Haruno. Aku harus menghubunginya. Meyakinkan bahwa aku tidak salah.

Sara menyeret kakinya menuju telpon rumahnya. Menekan nomor panggilan cepat nomor satu. Mendengar nada menyambungkan pada telfonnya.

"Halo.. "

Suara seseorang di sebrang telepon mengingatkannya bahwa dia masih berada pada kewarasannya.

"Dokter, suara-suara itu muncul lagi. Aku harus bagaimana ?"

Hening. Tidak ada sahutan dari sebrang telepon.

"Sara. Seharusnya kau tidak menghindari apa yang sudah menjadi takdirmu. Suara itu mungkin benar. Kau lah yang menjadi penyebab kematiannya. Jadi, kau tau apa yang harus kau lakukan bukan."

Sara membiarkan teleponnya terjatuh. Tertawa miris. Satu-satunya orang yang dia percaya, yang paling keras menyadarkannya, sekarang justru membuatnya semakin berfikir bahwa memang dirinya tidak pantas untuk hidup. Dia yang menjadi pegangan untuknya supaya tetap pada kewarasannya, sekarang menghancurkan batas yang dibuatnya.

Sara tersenyum.

Mendekati balkon. Merasakan embusan angin malam yang dingin menerpa kulit pucatnya. Seharusnya, inilah yang dilakukannya sejak dulu. Hatinya terasa lapang, mengingat dia tidak akan mendengar suara-suara itu lagi setiap malam. Tidak lagi mencium aroma itu lagi. Tidak lagi merasa bersalah.

Gaun malamnya berkibar diterpa angin ketika melodi itu terdengar. Melodi kesukaan ibunya. Dia tersenyum. Tak lagi terganggu seperti malam-malam sebelumnya. Langkahnya ringan menaiki kursi yang tidak sempat dia pikirkan sejak kapan berada disana.

Bersamaan dengan melodi itu habis. Bersama itu pula Sara membawa semua ceritanya bersamanya.

Aku merindukanmu ibu. Kita jumpa sebentar lagi.

Don't Leave Me ! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang