Second Stage

2.1K 292 13
                                    

Happy reading
♥(✿ฺ'∀'✿ฺ)ノ
.
.
.
.
.
.
.
.
.


Untuk beberapa alasan, dia benci mendengar tangisan bayi. Dulu pernah menyukainya, tapi sekarang tidak lagi. Bagaimana dia akan bisa mendengar suara itu dengan senang apabila dia pernah tuli mendengar tangisan itu. Tuli dan lupa, hingga separuh hidup dan nyawanya bahkan telah hilang bersama dengan tubuh anaknya yang telah jatuh ke dalam kolam yang dalam.

Bau alkohol dan beberapa makanan yang busuk bercampur menjadi satu. Tapi dia tak peduli. Seakan semua indra yang dia punya mati secara mendadak dan perlahan. Di dalam rumahnya yang bertebaran mainan anak-anak, dia hanya duduk dan memandangi telepon rumahnya yang terus memutar pesan suara yang sama ribuan kali. Nanar dan kosong. Meresapi setiap kalimat, hingga pesan suara itu berhenti, tapi kemudian dia menyalakannya lagi. Miris.

'Itu memang salahmu'

Kalimat itu terus terngiang dan memenuhi ruang otak dan memorinya. Memandangi foto yang ada ditangannya, lalu menangis sejadinya. Lagi.

Rumah besar ini nampak begitu gelap dan suram. Ya, karena istrinya tak lagi ingin mengurusnya. Istrinya tengah merajuk dan tak ingin mengurusnya.

Dia pernah punya keluarga yang bahagia. Istri yang cantik dan perhatian, begitu juga seorang anak lelaki yang lucu. Tapi, itu dulu. Sekarang dia tak lebih dari seorang pecundang yang menghancurkan keluarga kecilnya sendiri.

Tertawa miris. Dipandanginya pistol di meja yang bersanding dengan foto anaknya.

***

Saat itu adalah hari dirinya mendapat giliran menjaga anaknya. Yah, sibuk bekerja adalah kata kunci yang tepat untuk menggambarkan dirinya. Dia sering sekali membawa pekerjaannya ke rumah meski hari libur. Hingga istrinya mengeluhkan hal itu, 'sesekali mainlah dengannya, dia merindukanmu'. Dan dengan terpaksa dia menyanggupi meski sedikit tak tenang.

Istrinya pergi ke rumah ibunya untuk berkunjung, dan dengan alasan itu, dia memaksanya untuk menjaga anaknya. Dan akhirnya dia menyanggupi.

Awalnya mereka bermain di pinggiran kolam dengan bebek karet yang lucu. Melihat anaknya tertawa-tawa, sedikit membuat hatinya ngilu, dan dia berjanji akan mengurangi jam kerjanya dan lebih banyak menghabiskan waktu dengannya.

Tapi, dia melewatkan banyak hal selanjutnya.

Dering ponsel mengalihkan atensinya. Membiarkan anaknya bermain sendiri, lalu mengangkat telpon dari atasannya yang menanyakan berkas yang di bawanya. Melirik anaknya sebentar, lalu meninggalkannya untuk menuju ruang kerjanya. Berpikir 'sebentar saja, tidak apa-apa kan'.

Berkutat dengan berkas membuatnya lupa waktu. Hingga hari menjelang siang, saat dia keluar, dia terkejut mendapati istrinya yang memandang kaku ke arah kolam dengan bebek karet yang mengapung terbalik, ingin bertanya, kapan dia pulang, tapi, dia mengingat satu hal yang terlewatkan. Anaknya.

Dan dia bersumpah , itu adalah pertama kali dalam hidupnya melihat istrinya yang lemah lembut memaki dan mengumpatinya dengan marah dan nyalang. Jangankan dia, aku pun marah dan mendadak lemas. Hingga mati rasa saat istrinya mengamuk dan melempari barang ke arahnya, dan mengatainya pembunuh. Dia bisa apa. Dan mulai dari hari itu, hidupnya seakan berhenti berputar.

***

'Halo.'

'Ya, ada apa Moegi ?'

Sakura tengah membereskan berkas yang ada di kantornya saat ini, prakteknya tutup, tapi banyak sekali yang protes karena harus mengundur jadwal konseling mereka. Dia harap, semua ini segera berlalu, sehingga Sara bisa istirahat dengan tenang. Membayangkan bahwa itu adalah pembunuhan, membuatnya bergidik ngeri.

Don't Leave Me ! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang