PROLOG

7.6K 498 35
                                    

"Pokoknya aku mau pergi!"

Melinda menarik kopernya dari atas lemari, sedikit dibanting dan dibuka kasar, lalu segera ia jejali dengan baju-baju.

"Dari dulu kamu cuma janji-janji tapi mana buktinya?! Hingga Kiara lahir, kita tetap tinggal di kontrakan butut ini."

Di sampingnya berdiri lelaki dengan wajah lelah, sibuk menenangkan tangis bayi dalam gendongannya yang baru berusia 3 bulan. Gerakan lelaki itu mondar-mandir panik karena tangis bayinya semakin nyaring seiring dengan amukan istrinya.

"Kan kamu tahu sendiri Mel, uangku kepake buat pengobatan Ibu di rumah sakit kemarin. Tolong mengertilah. Aku akan cari kerja tambahan, agar kita bisa pindah dari sini."

"Omong kosong! Dari dulu gitu terus." Melinda menghardik tepat di wajah lelaki itu. "Kamu yang harus ngertiin aku! Kesabaranku udah habis! Aku benar-benar nggak betah! Di sini banyak kecoak, tikus, rumah ini udah macam kebun binatang. Tapi, lihat ... kamu cuma leha-leha saja."

"Kamu mau pulang ke rumah Papa?" lelaki itu melirih. Menatap Melinda penuh permohonan. "Ayo, kita ke rumah Papa. Kita tinggal di sana."

Namun Melinda justru semakin murka. "Gimana dengan menggadaikan SK PNS? Kedengarannya bagus. Biar kamu sedikit lebih berguna jadi suami. Meskipun nggak mewah seenggaknya lebih layak ketimbang kontrakan butut ini."

"Mel ...."

"Kenapa? Nggak boleh?" Melinda langsung tertawa sumbang. Bibirnya menukik sinis. "Ck ck ck emang dasarnya pelit kamu itu. Bisa-bisanya aku nikah sama laki-laki mental kere kayak kamu. Sekali-kali kamu ngaca dong! Kalau kerjaan aja belum beres nggak usah kepedean ngelamar anak orang."

Melinda mengusap pipinya yang basah. Air matanya tak berhenti mengalir saat rentetan peristiwa tujuh tahun lalu kembali menyesaki kepalanya. Kata-kata kasar, makian, juga perlakuannya pada lelaki yang disebut suami benar-benar bukan mencerminkan istri yang baik. Melinda dihantam penyesalan yang tak berkesudahan.

Melinda Ayu Putrining Sasongko. Lahir dari keluarga yang bisa dikatakan lebih dari cukup. Ayahnya seorang juragan gula. Nilainya mungkin bisa disandingkan dengan gula-gula dengan merek yang sudah familier di kalangan masyarakat. Melinda si semata wayang. Wajah cantiknya menurun dari ibunya yang kearaban. Memiliki tubuh molek dengan pinggul yang pas di usianya yang menginjak belia. Melinda tumbuh menjadi gadis yang manja. Apa yang menjadi kehendaknya selalu terealisasi. Kehidupan hedonisme, gaya mentereng, dan kelak Melinda bercita-cita ingin menjadi supermodel ibu kota.

Tapi semua angan itu hancur, saat tiba-tiba orang tuanya menjodohkan Melinda dengan lelaki desa, anak salah seorang buruh pabrik gula milik keluarganya. Padahal saat itu Melinda sudah memiliki kekasih, seorang vokalis band. Melinda tak kuasa menolak titah itu. Pernikahan pun terjadi.

Meski begitu, Melinda berjanji tak akan pernah sudi menginjakkan kakinya lagi di rumah besar orang tuanya. Bahkan, fasilitas lengkap yang diberikan orang tuanya pun turut ia hempaskan. Melinda merasa dua orang yang selama ini menjadi penopangnya tega menikamnya dari belakang.

Rumah tangga yang tidak sesuai harapan memantik setan dalam dirinya. Menendang pergi kesabaran dan kelembutan yang masih tersisa.

Tepat setelah tiga bulan meninggalkan Malang, Melinda akhirnya resmi bercerai dari lelaki yang bernama Mangkubumi Eka Jadmiko. Mantan suaminya itu telah menjatuhkan talak tiga sekaligus. Itu artinya mereka sudah benar-benar berpisah dan tidak akan pernah bisa kembali lagi sesuai keyakinan yang mereka anut. Lalu, apakah Melinda sedih? Tentu saja tidak. Melinda justru bahagia karena layaknya buronan ia sudah terbebas secara resmi.

Persinggahan Singkat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang