Bab 7: Ujian Kedua

2 2 0
                                    

Dalam dunia bisnis memang tak ayal jatuh bangun itu wajar. Perputaran ekonomi menjadikan yang sehat akal berubah tak waras. Kini Mami Elina berada di fase jatuh. Bisnis pakaiannya bangkrut. Bukan harta yang habis terkuras, melainkan pikirannya. Tubuh langsingnya menjadi kurus kering. Ia terus berperang dengan pikirannya. Menghidupi dua orang anak sebagai single parent sangatlah tak mudah.

“Sha, gimana kalo kita jualan makanan lagi aja?” usul Elakshi, dalam duduk santai di taman rumah.

“Bisa sih, ada buku resep Mami juga. Terus strategi marketingnya gimana?”

“Kita pasang spanduk aja, jual lewat online. Nanti Pak Yatmo kurirnya.”

“Ah, ide bagus tuh. Kita patungan pake tabungan ya buat modal. Gimana?”

“Cerdas lo Sha.” Bunyi jentikan jari Elakshi terdengar nyaring, bak suara lonceng.

“Oya, minta bantuan si Zhefran juga tuh buat promosinya nanti.”

“Iya gampang. Ya udah kapan mau belanja stok bahannya?” Dengan mata yang masih menatap langit yang mulai mendung.

“Sekarang aja deh.”

“Liat tuh, udah gelap.” Menunjuk ke arah langit.

“Astaga, iya ya. Eh tapi kan bisa naik mobil lo.”

“Ribet nanti bawa belanjaannya. Masa sambil pake payung sih.”

“Ya nggak apa-apa ketimbang di cancel. Kapan mau dapet uangnya? Kasian Mami nanti tambah sakit.”

“Iya ya udah ayo.” Mereka bergegas menuju kamar masing-masing untuk bersiap. Lalu ke bagasi dan menyiapkan mobil Elakshi. Di rumah ada Pak Yatmo dan istrinya yang menjaga Mami Elina.

Rinai hujan mulai membasahi kaca mobil. Membuat suasana terdengar sunyi dari dalam. Lagu pun diputar agar tak menggoda mata untuk rehat.

“Eh ada apaan tuh rame banget?” kata Elaksha mencoba mengintip dari kaca depan mobil.

“Paling kecelakaan. Lagi hujan jalanan licin.”

“Iya bener tuh. Kecelakaan motor Shi.” Mata Elakshi refleks menoleh dan hatinya berdenyut cepat. Menerka sosok yang terjatuh itu.

Saat kerumunan mulai direnggangkan, nampak wajah tak asing. Tengah tak sadarkan diri. Dengan masih menggunakan jas hujan berwarna tosca.

“Mahesa??”

“Eh Shi, lo kenal orang itu?” Tanpa menjawab, Elakshi segera memarkirkan mobilnya di bahu jalan.
Kakinya secepat kilat menuju tempat dimana sosok itu berada. Di tepisnya beberapa orang agar mampu melihat jelas sosok itu. Tangan putihnya menutup bibir tipis. Merasa terenyuh, melihat darah segar mengalir tanpa hambatan dari kepalanya.

“Hes, bangun. Plis ....,” rintihan suara Elakshi terdengar seolah ia takut kehilangan Mahesa.

“Pak tolong angkat ke mobil saya aja,” pinta Elakshi pada orang di dekatnya.

Riuh suara saat dua orang mengangkat Mahesa ke mobil Elakshi. Bergegas laju arah berubah. Rumah Sakit terdekat adalah tempat yang sama seperti hari itu. Elaksha memarkirkan mobil, sedangkan Elakshi setia menemani Mahesa hingga ke ruang IGD. Langkah tertatihnya ke sana kemari tak karuan. Entah kenapa hati itu mengulang jejak silam. Dengan harapan yang sama tentunya. Elaksha menelepon ke Elakshi, bahwa Mami mencari mereka. Memanggil dalam rintihannya. Elaksha pun pulang dengan ojek online. Tak lama pintu terbuka. Beberapa dokter dan suster keluar dengan muka lelah.

“Mbak ini siapanya pasien?” tanya salah satu dokter dengan kacamata.

“Saya temennya Dok. Jadi gimana keadaannya?”

“Pasien mengalami pendarahan di kepala. Butuh donor darah dan sedang kritis. Apa ada nomor keluarganya yang bisa dihubungi?”

“Ada Dok. Nanti saya kabari keluarganya. Untuk darah, apa golongan darah pasien ya Dok?”

“Nanti di cek dulu ya.” Dokter meninggalkan Elakshi sendirian. Cewek itu segera menghubungi Alika.

Namun orang tua Mahesa sedang ada bisnis di Semarang. Jadi Alika datang di antar Pak Darso dengan mobil. Si kecil Haridra ditemani pembantu di rumah itu. Darah Elakshi tak cocok dengan Mahesa. Untung ada Alika yang sudah datang. Elakshi ingin sekali masuk ke ruang IGD. Namun ia tak berhak. Hanya pihak keluarga yang boleh masuk

“Udah Dek?” kata Elakshi saat melihat Alika menghampirinya.

“Nggih Mbak.”

“Ayo Mbak masuk.” Tangan Alika menarik tangan Elakshi.

“Nggak bisa Dek. Hanya pihak keluarga yang boleh.” Kepala tertunduk sejenak.

“Mbak juga udah kayak kakakku kok, yuk masuk.”

Mereka berdua mengenakan pakaian wajib bagi pengunjung pasien IGD. Suara isak meramaikan ruangan yang sunyi itu. Alika heran menatap Elakshi. Mungkinkah ada sesuatu spesial di antara keduanya? Alika mengganti arah tatapannya ke Mahesa. Bunyi alat medis yang merasuk pikiran lemahnya. Selang sudah terpasang. Menguatkan tubuh tegap Mahesa yang kini hanya terbaring pulas.

“Mbak, kenapa nangis? Mas nggak apa-apa kok.”

Di Balik Layar TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang