1

115K 3.2K 19
                                    

"San"

seseorang memanggilnya, yang membuat Sania refleks melihat ke belakang.

"Lo jadi kan ke rumah gua hari ini?"

Laki - laki itu berkata setelah sampai di depan sania.

"Jadi dong! Gua kan mau makan gratis di rumah lo." Sania menjawab sambil menyengir lebar.

"Sialan lo san. Yaudah ayo!"

Laki - laki itu menarik tangan Sania menuju mobilnya yang ada di parkiran kampus.

Gadis bernama sania itu tersenyum sangat lebar saat memandang tangannya yang digenggam oleh laki - laki bernama William. Dia sangat bersyukur mempunyai seseorang seperti William yang adalah sahabat satu - satunya. Mereka berkenalan saat menjadi Mahasiswa baru,  dan terus sampai sekarang mereka tingkat akhir.

Sebenarnya Sania bingung kenapa bisa berteman dengan seorang William Putra Sandoro. Bagaimana tidak, William itu sangat populer di kampus. Semua orang terpikat dengan mata biru William yang indah, tubuh tingginya,  dan wajahnya yang blasteran. Sedangkan Sania? Bukannya tidak ada yang menginginkannya, bahkan banyak kaum lelaki yang menyukainya secara terang - terangan. Gadis dengan rambut panjang, mata coklat terang, tubuh yang tidak terlalu tinggi,  dan wajah manisnya. Tapi Sania tidak menggubris semua itu, dia hanya memikirkan kuliahnya agar beasiswanya tidak dicabut.

"Di rumah lo ada siapa?" Tanya Sania saat mereka sampai di mobil William.

"Kaya lo nggak tahu aja. Rumah gua, ya isinya gua sama bokap doang." Sania menjawab dengan anggukan.

"Gimana kuis lo? Lancar?"

"Gila! gua pusing banget sama kuliah Pak Budi. Tuh orang benar - benar bikin kepala gua mau pecah tahu nggak." Ucap Sania sambil memegang kepalanya.

"Gua rasa dia mau buat gua sama anak lainnya botak deh, kaya dia." Tambah Sania yang dibalas dengan semburan tawa oleh William.

Sepanjang perjalanan mereka habiskan dengan gurauan.

◻◻◻

Mereka sampai di rumah William setelah menempuh satu jam perjalanan. Sebenarnya bisa saja mereka sampai dalam waktu setengah jam, tapi jalanan ibu kota yang selalu padat membuat mereka sampai lebih lambat.

William langsung mengajak Sania ke dalam rumah, dan duduk di ruang keluarga.

"Lo mau minum apa san?"

"Apa aja yang lo punya keluarin." Ucap sania, yang dibalas William dengan dengusan.

ini bukan kali pertama Sania datang ke sini. Sania sudah sangat sering datang kesini. Bahkan jika dihitung bisa tiga kali dalam seminggu dia kesini. Tapi sania selalu kagum dengan desain dan ornamen yang menghiasi rumah William. Mewah dan elegan, itu yang terpintas dipikiran Sania mengenai rumah ini.

Tapi entah bagaimana Sania merasa rumah ini sangat dingin, seperti tidak ada kehidupan didalamnya. Padahal ada beberapa penjaga yang bertugas di rumah William sepanjang hari. Tapi untuk yang membereskan rumah ini biasanya akan datang sesuai jadwal, kecuali Mbok Inah yang setiap saat ada di rumah ini untuk memasak.

"Wil, Mbok Inah kemana?"

Tanya Sania ketika William sampai di depannya dengan berbagai cemilan.

"Paling juga ke pasar."

"Oh iya, gua baru sadar kalo di rumah lo nggak ada foto sama sekali. Gua cuma lihat di kamar lo, dan itu juga foto lo ama gua."

"Lo tahu kan cerita bokap sama nyokap gua gimana?" Sania mengangguk.

"Ya itu yang ngebuat semua foto di buang, soalnya foto di rumah gua kebanyakan foto nyokap." Lanjut William, ada perasaan bersalah di hati Sania ketika menanyakan hal itu.

Sania sangat tahu bagaimana kehidupan seorang William. Kehidupan William sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Sania. Sama - sama di tinggalkan.

Mungkin perbedaannya, jika Sania ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, maka William hanya oleh Ibunya.

Ibunya pergi saat William berusia enam belas tahun. Saat itu perusahaan keluarga William hampir bangkrut karena terlilit hutang, dan dengan naasnya Ayah William mengalami kecelakaan, sehingga membuat Ayah William depresi.

Mungkin yang paling dirugikan dari kejadian itu adalah Ayahnya. Bagaimana tidak, dia mengalami depresi akibat kecelakaan dan juga ditinggalkan istri tercintanya. Sehingga membuat Ayah William tidak pernah keluar kamarnya. Selama lima tahun terakhir.

"Bokap lo udah makan Wil?"

"Udah, Mbok Inah nggak bakal lupa soal itu."

Selama ini yang berinteraksi dengan Ayah William hanya Mbok Inah, William, dan Om Bram. Om Bram adalah adik dari Ayah William, dia sangat berjasa dalam menyelamatkan perusahaan keluarga William. Sampai sekarang dia dan William lah yang memegang kendali perusahaan, tanpa bantuan Ayah William.

Terkadang Sania berpikir betapa terpuruknya Ayah William di dalam kamarnya.

"Sekarang lo bantuin gua nugas ya San."

"Gua bingung sama lo deh Willy."
Willy adalah panggilan kesayangan dari Sania menurut William, padahal bukan seperti itu maksud Sania.

"Lo aja jurusan bisnis sedangkan gua akutansi. Tapi lo kalo ada tugas pasti nyarinya gua." Lanjut Sania

"Gua tuh butuh otak encer lo Sania Angelita." Kata William yang membuat Sania mau tidak mau membantunya.

"Tapi hanya sampai jam lima ya! Gua mau kerja habis itu." William langsung menganggukan kepala tanda setuju. Sania memang selalu bekerja part time disebuah coffee shop setiap senin - jumat.

◻◻◻

Saat ini Sania sudah tiba di Coffee shop tempatnya kerja, setelah diantar William. Sania sudah mengganti pakaiannya dan langsung melaksanakan tugasnya. Walaupun melelahkan, Sania menyukai Kerja disini.

"San, kamu mau pulang?" Sania menoleh melihat manajernya yang bertanya.

"Iya Mas Dani, saya mau pulang sekarang."

"Mau saya antar?"

"Oh nggak perlu mas, saya jalan kaki aja dekat ini mas." Kata Sania menolak secara halus.

"Beneran ni?" Kata Mas Dani memastikan.

"Iya mas, nggak apa - apa kok."

"Yaudah kamu hati - hati ya di jalan."

"Iya Mas, saya duluan mas." Kata Sania yang dibalas anggukan oleh Dani.

Sania tahu kalau Dani yang notabennya adalah manajer di Coffee shop tempatnya bekerja tertarik padanya. Sania tahu dari gelagatnya. Tapi Sania selalu berusaha menghindar. Bukan karena Dani tidak baik, bahkan Dani adalah manajer yang pengertian. Tapi Sania tidak mempunya perasaan apapun terhadap Dani, dan Sania berpikir lebih baik menghindar dari pada dia hanya memberikan harapan palsu pada Dani.

Setelah sepuluh menit berjalan kaki,  Sania sampai di tempat Kosannya. Sania langsung membersihkan diri, dan dilanjutkan mengerjakan tugas dari kampusnya.

Seperti ini lah Sania, bersama malam yang diselimuti kesunyiaan. Terasa hampa memang, tapi rasanya dia sudah terbiasa.

Tbc.
.
.
.
.
.

Jangan lupa untuk vote and comment nya guys! Luv!

My Imperfect Man  -  (The End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang