13. Trust Me - 2

84 4 6
                                    

"Mungkin bagi sebagian orang, mantanku adalah yang terbaik dan terindah. Tapi, mau bagaimanapun ucapan mereka benar, tetap saja hanya suamiku yang pantas aku cintai dan aku banggakan."
-Nissa.-

Nissa diam ketika jam makan siang tiba. Ia memandangi langit yang cerah di tengah bilik jendela yang ada di ruangannya. Ia sebenarnya tak suka cahaya panas matahari, tapi ntah kenapa sekarang ia sering berjemur di balik bilik jendela.

Ia tak memandangi orang-orang yang sedang berlalu lalang. Tapi, yang ia pandangi hanya beberapa gedung bertingkat pencakar langit. Ia yakin di salah satu gedung itu, ada milik suaminya.

Tanpa sadar dia tersenyum, hingga tak menyadari jika suami yang kini ada di khayalannya kini telah memeluk pinggang rampingnya.

"Kau sedang apa? Hingga aku datang kau sampai tidak sadar." ujar Irfan sambil mencium aroma tubuh Nissa dan rambut Nissa dari belakang.

Nissa yang awalnya terkejut, kini malah memposisikan kepalanya di ceruk leher Irfan yang jenjang. Nissa menghela nafas, ia tak mau menjawab, ia hanya ingin merasakan pelukan Irfan.

"Kau sudah makan?" tanya Irfan.

Nissa menggeleng, "bagaimana bisa aku makan jika anakmu baru aku beri satu atau dua suapan sudah ingin ku muntahkan makanannya."

Irfan mengurai pelukan, lalu dia jongkok di hadapan Nissa. "Anak ayah kenapa nakal? Jangan buat ibumu sudah sayang, kamu harus banyak makan, biar cepat ketemu ayah." ucap Irfan yang membuat bibir Nissa tersenyum bahagia, dan hatinya menghangat.

Nissa mengelus perutnya yang sudah kelihatan membuncit, ia sadar jika kini ia berada di fase menyebalkan bagi seorang ibu. Mual setiap mencium bau bawang, bau parfum, dan sebagainya. Tapi yang membuatnya bersyukur ia tak pernah mengeluh aroma tubuh suaminya.

Ntah mau si Irfan pakai parfum atau lagi berkeringat dia tetap menyukai aroma khas suami yang dia cintai. Ah, hatinya menghangat ketika dia mengatakan jika ia mencintai Irfan, walau Nissa masih belum yakin jika Irfan telah mencintai dirinya atau tidak, tapi ia tak perduli.
Baginya cukup dia yang mencintai suaminya dan perasaan suaminya ia serahkan kepada sang suami.

Irfan mengajak Nissa duduk di sofa yang ada di ruangan Nissa. Dia membuka bungkusan yang tadi ia beli di persimpangan jalan, sebuah Depot sederhana tapi ketika ia mencium bau makanan yang di goreng membuat Irfan ingin mencicipinya.

"Tadi aku beli makanan ini di Depot pojok, aku ngga tau bagaimana rasanya, tapi aku harap sih, enak." kata Irfan sambil membuka bungkusan putih yang ada di hadapannya.

Nissa meraih bungkusan itu, "Aku mau makanan apapun asal makannya sama kamu pasti akan habis." ujar Nissa sambil senyum dan membuka makanan yang tadi di buka Irfan tapi tak bisa.

Irfan diam, ia memperhatikan Nissa dan mencium pipi Nissa. "Makasih buat perkataannya." ujarnya.

Nissa hanya diam, ia tak tahu bagaimana mukanya sekarang, tapi yang Nissa yakini, kini mukanya pasti bersemu merah dan ia merasa jantungnya seakan mau copot mendengar perkataan Irfan.

Mereka berdua memakan makanan yang tadi Irfan beli. Walau hanya beberapa suapan sudah membuat Nissa kenyang, tapi Nissa bersyukur jika ia tak mual atau ingin memuntahkan makanan yang baru saja ia telan, setidaknya ia bersyukur hadirnya Irfan membuatnya kenyang walau tak sekenyang biasanya.

*****

Malam ini Irfan diharuskan lembur oleh pekerjaannya. Ia sudah memberitahu Nissa jika nanti ia akan pulang di jemput oleh Reno, dan langsung di antar ke Bandara untuk mengantar Lola. Dan dari laporan Reno yang baru saja lima menit menelpon, Lola sudah memasuki pesawat dan ia bersama dengan Nissa akan segera pulang.

AnnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang