Aku punya anjing kecil ~
Kuberi nama Yangyang ~
Dia senang bermain-main ~
Sambil berlari-lari ~
Yangyang... guk... guk... guk...
Kemari... guk... guk... guk...
Ayo lari-lari ~"Bacot." Dengan muka masamnya, Yangyang langsung menerobos Haechan dan Sanha yang bernyanyi ria sambil mengejeknya.
Sudah jam istirahat, jadi tidak mengherankan bila Haechan dan Sanha kembali memulai aksi absurd mereka. Di belakang kedua laki-laki itu, ada Yoshi yang bersikap lebih normal dari keduanya.
Yoshi dengan gitar akustik miliknya yang selalu dia bawa ke sekolah, berjalan tenang, tidak ingin ikut-ikutan dalam kebobrokan teman-temannya kali ini.
"Sumbangannya, Dek," tutur Sanha yang memelas sambil mengarahkan topi Supreme-nya ke siswi-siswi di koridor. "Seikhlasnya aja, Dek. Selembar uang merah juga nggak papa."
"Sedekah itu nggak rugi loh, Dek," kata Haechan. "Kenapa? Karena kalo sedekah, apalagi ikhlas, bisa jadi investasi amal di akhirat, bisa nambah bekal kalian ke surga."
"Betul! Betul! Betul!" Sanha mengarahkan jempol, membenarkan ucapan Haechan.
"Pagi-pagi udah stress aja lo berdua," timpal Yangyang, yang entah dapat hikmah di mana hingga pagi ini bersikap normal, memakai style rapi menyesuaikan peraturan sekolah dan bersikap kalem--yang malah kelihatan aneh di mata teman-teman dan siswa yang dilaluinya.
Percuma, sekali pun Yangyang menunjukkan sisi kalemnya, tidak akan berpengaruh bagi orang-orang di sekitarnya. Mereka semua sudah tahu betul tabiat pemuda itu, bobroknya sudah unlimited.
"Nggak usah ditanggepin, Dek, dua temen gue ini emang gak ada yang penuh," kata Yangyang pada siswi kelas 10 yang menjadi target eksploitasi dua temannya kali ini.
"Kayak yang waras aja lo, Yang!" Sanha menimpali sembari menjitak bahu Yangyang.
"Mau pencitraan bilang, Yang," seloroh Haechan.
Lalu kedua laki-laki itu kembali memelas pada siswi di depannya.
Tanpa disangka-sangka, siswi itu menaruh selembar uang ke topi Sanha.
"Wah, beneran dikasih," kata Sanha, berbinar-binar menatap gambar pahlawan Djuanda Kartawidjaja pada pecahan itu. "Makasih ya, manis!"
"Kalian ini bikin malu aja!" sungut Yangyang begitu mereka tiba di kantin dan duduk di bangku pada bagian tengah-tengah kantin.
"Malu-maluin gimana sih maksud lo, Yang?" tanya Haechan. "Gue kagak pamer aurat juga."
Yangyang memberi tatapan sengitnya. "Sebagai anak sultan ya tindakan lo itu malu-maluin, lah! Orang kaya kok suka malakin orang!"
"Malakin apaan, sat." Haechan mengernyit tidak paham. "Gue cuma minta sumbangan, dikasih ya syukur, gak dikasih juga gak masalah."
"Lagian, kita minta sumbangan ke orang-orang juga sebenarnya buka jalan beramal, loh," imbuh Haechan dengan lagak menjelaskan."Ini tuh namanya simbiosis mutualisme, Yang. Lo minta sumbagan terus tuh orang kasih, sama-sama menguntungkan, bedanya, kita yang disumbangin dapet untungnya di dunia, yang nyumbang dapet untungnya di akherat."
"Lu kenapa sih, Yang? Kebelet kalem lu?" tanya Sanha sambil tertawa mengejek. "Gak cocok, Yang, tabiat lu di sekolah ini udah terlanjur somplak."
Jempol Haechan mengacung ke arah Sanha. "Kayak ada banner meme di mukanya ya, San."
Yangyang tidak menanggapi lagi, dua lawan satu jelas dia kalah telak. Apalagi menghadapi congor lada macam Haechan dan Sanha, yang tingkat bacotnya sudah di level mayor.
"Mau apa?" tanya Yoshi, menginterupsi obrolan temannya.
"Mau apa? Gue mau banyak hal, sih, Yos," timpal Sanha, dibalas gelengan oleh Yoshi.
"Makanan maksud gue, San."
"Seblak aja gue, deh," ujar Sanha.
"Bakso."
"Sama kayak Echan," kata Yangyang.
Yoshi berdiri, dengan segera menuju stan yang menjual pesanan teman-temannya. Sekarang hari Senin, jadwalnya Yoshi memesan makanan untuk teman-teman mereka di kantin, untuk hari-hari berikutnya mereka bergantian.
Stan bakso cukup ramai hingga menciptakan kerumunan. Wajar, bel istirahat dibunyikan sekitar sepuluh menit lalu. Yoshi bisa saja menerobos, tapi kebanyakan dari kerumunan itu adalah siswi.
"Yah, bakal ngantri lama," keluh seseorang yang baru datang.
Kedatangannya mengambil atensi Yoshi.
"Lo gak apa-apa?"
Karina terlonjak kaget begitu menemukan Yoshi berada tepat di sampingnya.
"L-lo...." Karina berujar gugup.
"Lo gak apa-apa?" tanya Yoshi, mengulang pertanyaan yang sama.
Karina mengalihkan pandangannya ke depan, menghindari mata Yoshi yang menyorot intimidasi padanya.
"Gue nggak apa-apa, lo gak usah peduliin gue."
Yoshi mendekati Karina, berdiri tepat di belakang perempuan itu dan bergumam, "Gue nggak tahu gimana pandangan lo tentang cinta, tapi kalo cowok lo laki-laki sejati yang benar-benar sayang sama lo, mau semarah apa pun, gue yakin dia nggak bakal ngomong kasar sama lo, apalagi sampe main tangan."
Karina memutar badan hingga berhadapan dengan Yoshi.
"Makasih, sekalian terapin itu juga buat diri lo," kata Karina tak acuh, hendak pergi namun tangan besar Yoshi menahan lengannya hingga Karina kembali berhadapan dengannya.
"Apa lagi?" tanyanya sinis.
"Lo berhak dapat yang lebih baik."
"Kayak lo?" Karina menyunggingkan senyum sarkasme. "Lo nggak tahu apa-apa tentang gue, jadi nggak usah ngajarin gue."
"Gue nggak ngajarin, cuma ngingetin."
"Makasih, tapi gue harap di waktu berikutnya berhenti ngomong kayak gini seolah lo bener-bener peduli sama gue. Kalo lo tanya kenapa? Karena gue benci orang kayak lo."
Kemudian, Karina meninggalkan Yoshi dalam ketersimaan.
"Gue benci orang kayak lo."
Senyum kecut terbit di bibir pemuda itu, menyembunyikan rasa kecewa yang kesekian kali.
Seharusnya dia tidak perlu terkejut, tidak perlu kaget bila ada seseorang yang berkata seperti itu padanya. Sebab, Yoshi yakin, di luar sana bahkan mungkin di tempat ini, ada begitu banyak orang yang membencinya, cuma, orang-orang itu tidak terang-terangan seperti Karina.
"Kepada siswa yang bernama Ken Yoshinori kelas 11 IPS 1, diharapkan untuk ke kantor Tata Usaha sekarang juga. Sekali lagi, kepada siswa yang bernama Ken Yoshinori kelas 11 IPS 1 diharapkan untuk ke kantor Tata Usaha sekarang juga!"
Begitu suara Pak Hanbin berkumandang di sepenjuru sekolah, seisi kantin langsung memusatkan pandangan ke arah nama yang baru saja disebutkan.
Masih dalam ketersimaannya, Yoshi menoleh pada teman-temannya yang kini melempar raut bertanya.
"Lo di panggil kenapa, tuh?" tanya Haechan seraya berdiri dan menghampiri Yoshi.
"Gak tau, gue ke sana dulu."
"Mau gue temenin, gak?" Haechan menawarkan.
Yoshi menggeleng. "Lo sama yang lainnya makan duluan aja."
Saat tiba di depan ruang Tata Usaha, Yoshi tidak langsung masuk. Ditariknya napas panjang-panjang, mengatur rasa gugup yang tiba-tiba merayapinya.
"Nah, itu dia anaknya!"
Ekspresi kaget langsung muncul di wajah Yoshi begitu mendapati Sam dan Ibu Sam di dalam ruangan. Ibu Sam menunjuk-nunjuknya dengan raut marah, sementara di sampingnya, dengan kepala terbalut perban juga lengan yang di-gips, Sam melempar senyum mencemooh padanya.
"Saya gak mau tau, dia harus di drop out dari sekolah ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Star for Yoshi
Fanfiction"Maaf kalau kehadiran saya di kehidupan Ayah jadi benalu, setelah ini saya janji, saya bakal pergi jauh dari Ayah." Dean tidak menyangka, bila setelah percakapan suram itu sungguh menjadi pertemuan yang terakhir kalinya dengan Yoshi. Sebab, Yoshi b...