Zero L adalah band rock yang mengusung banyak genre--walau lebih sering hard rock--yang terbentuk dengan sendirinya tiga tahun lalu, tanpa manager. Haechan secara mandiri me-manage band-nya serta mengatur jadwal manggungnya. Selain di kelab yang diberi nama Hopeless ini, tidak ada lagi tempat yang ia jadikan langganan nge-band. Cuma di kelab ini, seolah telah dikontrak permanen oleh pemilik kelab tersebut."Keren banget! Stage presence kalian gak pernah mengecewakan! Om bangga!"
"Makasih, Om."
"Udah gue bilangin berkali-kali, sekali-kali terima tawaran manggung, kan bagus sekaligus promosi biar band lo terkenal," ujar Om Haechan, pemilik kelab Hopeleas. "Siapa tau kan, dari band kecil tiba-tiba go internasional."
Tawaran perform di acara show, mini party serta di konser-konser kecil sering kali Zero L dapatkan. Namun, jarang sekali Haechan menerima tawaran itu setelah mendiskusikannya dengan ketiga anggota lainnya.
Selain karena jadwal yang padat, mereka juga punya alasan lain.
Bagi mereka, bermusik tidak hanya tentang menyanyi dan menyuguhkan penampilan, tetapi juga tentang bagaimana menguasai panggung hingga bisa memberikan pertunjukan spektakuler yang tidak akan mengecewakan penonton, dan sejauh ini, Zero L masih tidak bisa keluar dari zona nyaman, mereka masih menganggap panggung kelab ini satu-satunya panggung yang bisa mereka kuasai.
Haechan terkekeh, sembari menenggak segelas wiski, ia pusatkan pandangan pada Om-nya.
Sanha dan Yangyang langsung ke bar usai perform, sibuk melayani pelanggan, sementara Yoshi mendadak meninggalkan panggung setelah perform mereka kelar.
"Gue gak pernah mikir pengen Zero L terkenal, Om," tutur Haechan, menaruh segelas wiski ke meja, keduanya duduk bersama di basement--yang bermultifungsi juga jadi ruang latihan Zero L--agar bisa mengobrol dengan tenang tanpa terganggu oleh kebisingan para pelanggan. "Bagi gue musik itu jiwa kedua, tanpa musik gue ngerasa hidup lempeng, gak ada warna."
"Nah, hubungannya apa sama nolak tawaran-tawaran manggung itu?"
"Paling banyaknya, perform berkualitas tuh cuma 7 kali, Om. Kalo keseringan perform apalagi dalam keadaan kecapekan, kualitas manggungnya bisa-bisa lempeng, gak ada gairahnya sama sekali, penonton bakal ngerasa gak bisa nikmatin penampilan band kami juga," ujar Haechan.
"Gimana mau jadi band go internasional kalo stuck di opini itu terus," sindir Om Haechan sambil geleng-geleng, kemudian mengeluarkan sebuah amplop dari kantong parker-nya.
"Apa, nih?" tanya Haechan begitu Om-nya menyerahkan amplop putih itu padanya.
Om-nya menyalakan sebatang rokok dengan pematik sebelum berkata, "Honor band kalian selama sebulan, bagiin ke yang lain juga."
"Makasih, Om."
"Yoi." Om-nya melirik jam melingkar di lengannya sebelum bangkit berdiri. "Gue cuma mau ngasih itu, kalo gitu gue balik, udah tengah malem, nih, pulang-pulang gue kayaknya bakal dapet dampratan nih ama Tante lu."
Haechan tertawa mendengar keluhan Om-nya yang masih berjiwa gaul di usianya yang sudah berkepala empat itu.
Sikap Om-nya itu sudah terlanjur terdistorsi oleh masa mudanya yang dipenuhi musik heavy metal, mungkin karena euforia masa lalu jugalah yang menyeret Om-nya hingga berinisiatif membangun sebuah kelab yang diberi nama Hopeless ini. Belakangan Haechan tahu bila ternyata nama kelab ini terinspirasi dari nama band mereka yang hanya bertahan 3 tahun sebelum para anggotanya memutuskan bubar.
Haechan ikut berdiri dan menemani Om-nya keluar dari basement hingga ke pintu kelab.
"Hati-hati, Om!" seru Haechan ketika Om-nya masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesin.
"Yoman!"
Setelah Om-nya benar-benar lenyap dari pandangan, Haechan berniat kembali ke dalam kelab lagi. Namun, eksistensi seseorang di sudut lain parkiran menahan langkahnya.
"Woe, Yoshi! Ngapain lo di situ?"
Kepala Yoshi menoleh cepat ke arahnya, pemuda itu lantas menghampiri Haechan.
"Ngapain lo di sana?" tanya Haechan sekali lagi.
"Ah, bukan apa-apa." Yoshi menjawab singkat.
Meski begitu, Haechan bisa menangkap raut kebohongan dari wajah Yoshi. Entah kebohongan apa yang coba pemuda itu sembunyikan.
Keduanya melangkah bersama ke dalam kelab menuju basement.
"Om gue udah ngasih honor, tapi gue kayaknya mau ngasih punya gue ke lo aja." Haechan berujar kala mereka tiba di basement.
"Kenapa?" tanya Yoshi, mengernyit bingung.
"Tujuh belas hari lagi lo ultah, kan?" tebak Haechan. "Lo biasanya rayain ultah lo di panti, jadi sekalian gue bagi dana ke lo."
"Gue juga mau bagi honor gue ke lo, Yos."
"Gue juga!"
Yangyang dan Sanha tahu-tahu muncul dari balik pintu basement.
"Tapi kalian juga pasti butuh," kata Yoshi, terutama pada Sanha yang bisa dibilang satu-satunya anggota Zero L yang hidup serba pas-pasan.
"Santai, lur, sesama teman gak boleh pelit-pelit," tutur Sanha. "Lagian lo pernah bilang, ulang tahun sambil beramal itu lebih baik daripada ngerayainnya dengan acara super gede. Jadi sekalian kita nanti ikut beramal di ulang tahun lo, kan."
"Semacam investasi amal," celetuk Yangyang yang mendapat respon ketawa dari ketiga temannya.
Untuk sesaat Yoshi terpaku dengan keroyalan para temannya. Ia tak menyangka bila ulang tahunnya kali akan sedikit berwarna karena mereka.
"Makasih, ya...." Yoshi tersenyum tipis, matanya memancarkan rasa haru yang tak bisa dia tutup-tutupi.
Sanha menyenggol lengan Yoshi. "Udah, gak usah melodrama gitu, kayak sama siapa aja, lu."
Haechan maju mendekati Yoshi yang mendadak diam.
"Lo mungkin ngerasa diasingkan sama keluarga lo, ngerasa lo sendirian dan gak ada yang peduli sama hari penting lo itu," ucap Haechan, bibirnya meyunggingkan senyum paling tulus. "Tapi di sini, ada kita yang bakal berusaha bikin lo gak ngerasa sendirian, berusaha bikin lo sadar bahwa lo itu berharga, karena lo emang pantes buat semua itu."
Sanha dan Yangyang ikut mendekat dan menepuk-nepuk pundak Yoshi.
"Benar kata Haechan, maaf juga dulu kita pernah bangsatin lo. Jadi mulai sekarang, jangan pernah ngerasa sendiri, ya. Kalo ada masalah, bagi ke kita, jangan tanggung sendirian," tutur Yangyang.
"Karena jangan sampe ada yang lagi ketawa tulus, tapi di sisi lain malah ada yang ketawa palsu karena nyembunyiin beban hidup sendirian." Sanha mengimbuh.
"Ingat kata Forgotten, "Hidup adalah kutukan, lupakan masa lalu dan mari bakar masa depan!"" seru Haechan bersemangat seraya mengarahkan tinju ke udara, membuat ketiga temannya terbahak sebelum bertos-ria.
Yoshi berharap, malam ini tidak pernah berakhir. Berharap dia akan merasakan euforia ini setiap malam dengan teman-temannya. Berharap dia diberi umur lebih panjang agar dia bisa memberi pembuktian pada ketiganya bahwa dia benar-benar pantas menjadi bagian dari mereka.
Harapan.
Yoshi selalu menabur benih harapan itu dalam dirinya meski tahu bahwa tidak semuanya akan tumbuh sesuai kehendaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Star for Yoshi
Fiksi Penggemar"Maaf kalau kehadiran saya di kehidupan Ayah jadi benalu, setelah ini saya janji, saya bakal pergi jauh dari Ayah." Dean tidak menyangka, bila setelah percakapan suram itu sungguh menjadi pertemuan yang terakhir kalinya dengan Yoshi. Sebab, Yoshi b...