Rama's POV
Jakarta, Agustus 2019.
Mobilku sudah kembali memasuki pelataran parkir Rumah Sakit setelah tadi aku pergi mencari sarapan untukku dan membeli satu porsi lainnya untuk Naya. Semalam aku kembali ke Rumah Sakit tepat tengah malam dan menemukan ruangan kamar inap Naya sudah gelap, hanya cahaya dari layar televisi dengan volumenya dalam keadaan mute yang menerangi seluruh ruangan. Hanya tersisa Zalina yang masih duduk di atas sofa. Wanita itu duduk terpejam menghadap televisi dengan tangan menyilang, aku masuk secara perlahan namun wanita itu tak lama membuka kedua matanya. Terlibat perbincangan beberapa lama dengan wanita itu mengenai keadaan Naya sebelum Den Bagus datang menjemput Zalina, aku berakhir terduduk di atas sofa sembari mengamati Naya yang sudah tertidur pulas tidak merasa terganggu sedikit pun.
Semalam setelah aku menemui dokter Miralda dan mengetahui bahwa istriku mengalami eating disorder karena faktor psikologis yang sedikit terganggu, aku pergi menghubungi karyawan Naya yang mengurus beberapa hal mengenai pekerjaan istriku dan pergi menemui keluarga Naya setelahnya.
Sebenarnya aku sedikit denial mengenai keadaan psikologis Naya sekarang, sulit menerima bahwa istriku memang melewati krisis maturasi kehamilannya dengan tidak baik-baik saja. Rasa bersalahku mendominasi relung hati dan isi pikiranku mendapati fakta tersebut, aku seharusnya menjadi orang pertama yang mendukungnya secara moril dan materiil justru terlambat mengetahui kejanggalan pada istriku. Memang sedikit banyak itu dipengaruhi oleh jati dirinya di tengah pekerjaan dan juga dorongan hormon kehamilan yang membuatnya lebih sensitif akan hal-hal yang sebelumnya tidak mempengaruhinya sama sekali. Naya menjadi stress, cemas yang berlebihan dan yang paling jatuh terjun bebas adalah tingkat kepercayaan dirinya.
Tadi saat aku menemui Adinda— karyawannya yang mengurus pekerjaan Naya dan bertanya kepadanya mengenai absensi istriku seminggu kebelakang yang tidak mengunggah apapun pada sosial medianya, aku bertanya apakah Naya memang tidak menerima job seminggu ini atau ada masalah lainnya yang menjadi alasan tidak ada unggahan apapun dalam lapak pekerjaannya. Dan dari Adinda aku mengetahui bahwa Naya memang tidak mau memunculkan dirinya pada laman sosial media miliknya dan memilih mengembalikan uang kontrak pekerjaannya, Naya juga tidak mengatakan alasannya kepada Adinda yang kepusingan mengurus segala hal pengembalian kepada klien Naya. Apa yang dilakukan Naya itu jelas memperlihatkan ketidak-profesionalan dalam pekerjaannya, seharusnya Naya tidak mengembalikan kontrak yang sudah bertanda tangan itu dan tetap bisa melakukan pekerjaannya. Namun lagi-lagi aku diingatkan kalau istriku itu mengalami penurunan tingkat kepercayaan diri yang bukan Naya sama sekali. Pada akhirnya aku dibantu oleh Adinda memikirkan jalan keluar mengenai pekerjaan Naya yang sempat tidak beraturan itu, menghubungi beberapa klien yang sulit diajak berbicara oleh Adinda dan memberikan mereka penjelasan sebaik-baiknya juga berjanji memperbaiki kesalahan Naya. Aku menghabiskan banyak waktu bersama Adinda di kantor milik Naya tepat di samping rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari rumah yang kami tinggali.
Selesai mengurus perihal pekerjaan Naya, aku bertandang ke rumah orang tua Naya tepat pukul 9 malam. Sebelumnya aku menghubungi Kakak perempuan istriku untuk mengabarinya kalau Naya sedang kurang sehat sekarang, juga meminta bantuannya untuk tidak memberitahukan orang tua mereka terlebih berbondong-bondong datang ke Rumah Sakit sekarang. Malam itu aku mengatakan keadaan Naya di depan orang tuanya yang terlihat terkejut, terlebih sang Mama yang sudah sangat khawatir dengan keadaan anak dan cucunya, aku memberi pengertian bahwa mulai sekarang mungkin Naya membutuhkan dukungan moril yang lebih, support yang baik dari kami keluarganya. Tapi sebelum Naya kembali pulih, aku meminta mereka untuk tidak datang terlebih dahulu ke Rumah Sakit. Aku belum melihat keseluruhan keadaan Naya physically and mentally, aku juga akan membicarakan ini dengan Naya nanti berhubung kami sudah menjadi dua kepala yang dipersatukan, aku tidak ingin keputusanku jutru kembali membuat Naya bermasalah. Bagaimanapun Naya pasti khawatir dan takut membuat kami semua kecewa dengannya, apalagi keluarganya.
YOU ARE READING
Erotema [Short Stories] | Completed
Short Story[Started on October 15, 2020, and ended on December 19, 2020] Vital Note: A derivative story from It Takes Two To Tango, It will contain short stories - People said love is so many things, joy and pain wrapped up all in one package. Is it absolute? ...