D |

950 137 16
                                    

Stela's POV



Jakarta, Oktober 2018.

Membuka mataku dan mendapati aku sendirian di dalam kamar hotel ini tanpa suara sedikitpun membuatku langsung terduduk dari posisi tidurku dengan gerakan cepat dan mendapati rasa pening mendera kepalaku seketika. Menyebarkan pandanganku dan meraba suara yang terdengar sekecil apapun tapi aku tak mendapati secuilpun suara, membulatkan kesimpulan bahwa kini aku sendirian di kamar ini.

Aku dengan cepat meraih ponselku di nakas samping kasur untuk mencari nomor Bara di sana dan melakukan sambungan panggilan dengannya.

"Bar?" Panggilku ketika sambunganku akhirnya terhubung.

"Kamu baru bangun?" balasnya cepat.

Semalam sebelum berangkat ke Jakarta aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata sama sekali, kegelisahan hatiku yang merajai setiap relungnya ikut menggasak pikiran dan memprovokasi seluruh tubuhku untuk menentangku. Aku jadi begini sukarnya mengatasi perasaan burukku karena alasan yang kalian tentunya sudah paham betul, ketakutan untuk berada di Jakarta lagi terus membuatku gelisah namun aku tidak sanggup mengatakannya kepada Bara. Khawatir suamiku akan menganggap aku berlebihan atau semacamnya, aku memilih diam saja mengatasi kekacauan batinku seorang diri.

Aku mengangguk lemah karena merasa lemas tertidur lama dari waktu yang tidak biasanya aku gunakan untuk tidur. "Iya, kamu di mana?" tanyaku lagi.

"Aku masih di luar, ada perlu ketemu teman. Kamu siap-siap sebentar lagi aku jemput, ada Bram, kan?" Bertemu dengan siapa Bara? Kenapa tidak membangunkan aku atau mengajakku? Kenapa dia pergi sendirian? Pertanyaan-pertanyaan omong kosong itu bertindih satu demi satu.

"Nggak tahu Bram di mana, aku masih di kamar," jawabku. Aku ingin sekali menyuarakan pertanyaan-pertanyaan itu tapi entah kenapa lidahku kelu dan justru tidak terucap satupun pertanyaan sampai Bara kembali memintaku bersiap karena akan menjemputku sebelum mengakhiri sambungan kami.

Jadi siapa yang Bara temui sampai dia pergi tanpa memberitahuku? Aku ingin berspekulasi namun entahlah kalau itu benar pun rasanya Bara tidak salah sama sekali. Tiba-tiba perasaanku dilanda kegelisahan yang menggunung, bahkan dadaku mulai memenuh dan sedikit demi sedikit aku sulit bernapas, seluruh tubuhku semakin lemas, keningku bahkan mulai berkeringat dan merasakan mual. Kondisi seperti ini sudah beberapa kali aku rasakan, dan sepertinya ini semakin buruk saja.

Kudengar pintu kamarku terketuk ketika aku sedang mengatur pernapasanku agar aku bisa kembali lebih tenang, dengan perlahan aku turun dari kasur dan melangkah untuk membuka pintu yang sudah pasti itu Bram yang ada di sana.

"Pak Bara minta ibu siap-siap," kalimat Bram terucap setelah aku membuka pintu dan berdiri diam dengan tatapan tak fokus. "Ibu baik-baik aja?" mata lelaki itu sampai memicing melihatku diam tak bergerak dari tempatku, masih mencoba mengatur napasku dan tiba-tiba saja rasa mualku tidak bisa terkontrol sampai aku berbalik untuk berlari meninggalkan Bram ke dalam kamar mandi dan membanting pintunya.

Melilahkan isi perutku karena rasa mual sampai rasanya isinya sudah habis terkuras dan aku hanya mengeluarkan cairan yang membuat perutku semakin sakit rasanya, kedua kaki lemasku tak sanggup lagi menopang tubuh dan aku memegang erat pinggiran wastafel sembari mencuci mulutku. Menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, mengulangnya beberapa kali sampai rasa mualku mereda, akhirnya aku bisa melihat pantulan diriku sendiri di cermin, terlihat mengenaskan. Aku benci sekali menjadi seperti ini, dahulu aku pikir orang-orang yang merasa mereka memiliki gangguan kecemasan atau perasaan tak aman yang mengganggu mental mereka, mereka hanya melebih-lebihkan keadaan saja, namun kini aku terkena tulahnya. Aku bisa merasakan kalau hal-hal seperti ini bisa terjadi kepada siapa saja, dan sialnya aku kebagian jatahku karena satu hal yang terus mengganggu pikiranku dengan premis satu-satunya hal yang bermakna di hidupku, katakan aku berlebihan, biarkan, tapi siapa yang ingin mencintai seseorang sedalam ini jika hatiku tidak tergerak dengan sendirinya? Katakan aku bodoh, tapi kenyataan tidak, Bara deserves to be loved that much.

Erotema [Short Stories] | CompletedWhere stories live. Discover now