Amika's POV
Jakarta, Desember 2019.
Papa Yohanes
Amika, nanti pulang kerja tolong temui anak teman Papa, ya.
He's Gama, dia mau ngobrol sama kamu.
Isi pesan Papaku siang tadi saat lunch time muncul pada layar ponselku, aku yang sedang tidak memiliki semangat untuk menghabiskan makan siangku tadi jadi bertambah kenyang saja. Ini sudah lewat lima hari aku dan Erik tidak saling berbicara setelah panggilan telepon terakhir darinya Minggu malam itu. Membicarakan apa yang dikatakan Erik dengan para sahabatku dan mendapati respon mereka yang sama tidak percayanya dengan respon milikku, semakin membuatku yakin bahwa something must be happened with him. Zaline juga sudah membantuku untuk menghubunginya dan Erik tetap tidak memberitahukan alasan apapun kepada Zaline, wanita itu juga tidak bermaksud mencampuri urusan kami lebih dalam dan memintaku mengikuti kemauan Erik dengan memberi jarak sebentar. Walaupun itu jelas sangat menyulitkanku karena rasanya hari-hariku yang berwarna berubah menjadi kelabu, it's not fun anymore, without him. Tapi jika ini cara satu-satunya untuk menolong Erik dari apapun yang sedang dihadapinya sekarang, aku harap pengorbanan yang aku lakukan ini tak sia-sia atau menghasilkan sesuatu yang buruk.
Dan mengenai permintaan Papaku siang ini, tumben sekali Papa memintaku bertemu anak temannya, laki-laki pula. Ada keperluan apa yang bisa aku obrolkan dengan lelaki yang tidak aku kenali itu? Tentu saja aku menolak titah Papa tadi siang, sampai Papa mengoceh bahwa beliau meminta pertolonganku agar aku menemui lelaki bernama Gama itu untuk makan malam bersamanya. Akhirnya aku menyetujui titah Papa karena tidak tega mendengar beliau memohon seperti itu, tetapi kejanggalan lainnya muncul ketika Papa memberitahukan bahwa aku harus menemuinya di Restoran sebuah hotel yang memiliki view pemandangan bundaran HI, kenapa aku harus menemui lelaki itu di sebuah restoran mewah? Aku kembali mempertanyakan itu kepada Papa melalui sambungan telepon dengan beliau tadi, beliau hanya berpesan dan memohon agar aku menemui lelaki itu untuk menjaga kesopananku atas undangan makan malamnya.
Jadilah kini aku sudah melangkah memasuki sebuah restoran fine-dining bernuansa Jepang yang disambut oleh seorang pelayan yang membawaku ke sebuah meja di mana sudah ada lelaki yang dengan kemeja biru dongker terduduk di sana membelakangiku, setelah sebelumnya menanyakan apa aku sudah ada table eserve, dan aku menyebutkan nama lelaki yang tadi siang Papa bilang adalah anak teman baiknya.
Ketika aku sampai di samping meja kayu dengan dua buah kursi saling berhadapan di dekat pintu geser yang memiliki view pemandangan langit malam dengan satu buah pohon bonsai berukuran sedang diletakkan di tengah space bagian luar, lelaki sipit yang tadi duduk membelakangiku menoleh cepat saat aku dan seorang pelayan wanita berdiri di sampingnya. Penampilannya sungguh rapi, sepertinya lelaki ini memiliki ras etnik Tionghoa, dengan ciri khas mata sipit dan kulit putihnya. Terlihat tampan dengan senyuman lebar menyambutku yang masih berdiri sambil memberi penilaian di dalam pikiranku mengenai lelaki bernama Gama ini, tapi tetap saja Erik jauh lebih tampan. Anyway... I shouldn't have compared this man with my boyfie. Hih.
"Halo," sapanya sambil berdiri dari kursi kayu yang didudukinya, menyodorkan tangan kanannya dengan sopan kepadaku. "Saya Gama, anaknya Pak Richard teman Om Yohan," lelaki itu memperkenalkan dirinya sesuai penjelasan Papa tadi siang. Aku tidak pernah tahu siapa itu Pak Richard, meskipun aku sering mengikuti Papa saat diminta menemaninya dalam pertemuan acara atau hal-hal lainnya, namun aku tidak pernah mengubris dan mencatat siapa-siapa saja yang aku temui hari itu walaupun sudah pasti Papa memperkenalkan teman-teman beliau itu.
YOU ARE READING
Erotema [Short Stories] | Completed
Short Story[Started on October 15, 2020, and ended on December 19, 2020] Vital Note: A derivative story from It Takes Two To Tango, It will contain short stories - People said love is so many things, joy and pain wrapped up all in one package. Is it absolute? ...