Aswangga's POV
Jakarta, November 2018.
"Kayaknya kita ikutin aja deh maunya Mama Papa," ucapan Ega membuatku menoleh dari layar televisi OLED miliknya yang sedang menampilkan pertandingan MotoGP di Circuit de Valencia, Spain. Aku datang sore tadi untuk mampir sebentar sebelum nanti malam terbang ke Semarang dalam rangka pembukaan cabang Hygen yang baru di sana beserta manufacturing area kedua setelah kami punya satu di daerah Cikarang. Hari ini adikku yang sibuk sekali itu tidak ada jadwal praktik katanya, jadilah aku mampir untuk melihat keadaannya yang katanya beberapa waktu lalu sempat jatuh sakit dan juga sedang patah hati.
Aku mengernyit menatapnya yang tiba-tiba mengucapkan hal tak terduga itu. "Apanya?" tanyaku memastikan maksud perkataannya tadi.
Ega menghembuskan napas beratnya. "Kenalan sama anak-anak teman mereka," jawabnya tanpa ada nada semangat sedikitpun.
"Lo aja," desisku menolak idenya yang tidak masuk ke akalku.
Ega melirik sinis dari tempatnya. "Both of us, yang level asmaranya setara dada tiarap bukan cuma gue," ucapnya bernada kesal.
"Ya salah sendiri, kenapa lo lepas Akina? Lo itu nyerah sebelum perang namanya," tembakku telak kepadanya yang langsung membuang tatapannya ke layar televisi. "Padahal Akina bisa aja mau sama lo kalau lo stay on the track, dia kelihatannya aja sulit tapi kalau lihat usaha lo she will run to you voluntarily kok." Aku yang sejak mengetahui kalau Adikku ini dekat dengan wanita yang pernah diusahakan untuk pendekatan denganku oleh Tasya, memberikan dukungan penuh kepada mereka berdua yang menurutku terlihat sangat cocok. Akina yang sederhana adalah bentuk fantasi berupa manusia yang seratus persen aku yakini sangat diimpikan oleh Ega, sayang sekali adikku yang pintar ini justru melepas wanita itu begitu saja, padahal jelas sekali dia menginginkannya.
Aku bisa melihat delikkan matanya dan sepenggal kekehan mengejek lepas dari mulutnya. "Nggak usah sok nasihatin gue, kalau lo aja masih terjebak cinta sama sahabat lo sendiri," ejeknya menyebalkan.
Ejekan Ega benar-benar membuatku terdiam. Kembali teringat ucapan Tasya dua minggu lalu di depan pintu apartemennya sebelum aku pergi dengan perasaan sedikit kosong karena tak ada harapan apapun dari kalimatnya kemarin.
"Then keep being Angga as I know as my good friend." Begitu katanya kemarin, rasanya seperti dia mengetahui rahasia besarku tapi menutupinya.
"Kalau gue diemin aja, nanti juga hilang nggak ya perasaannya?" gumamku pelan, berharap Ega tidak usah mendengar gumaman impulsifku tadi.
Ega terkekeh dan melipat kedua tangannya. "Kan selama ini juga lo diem aja, Ngga. Nggak ada yang hilang, kan? You still into her."
Ya, tidak ada yang bisa aku elakkan.
To be falling in love alone, I don't recommend it, at all. Moreover, it's your good friend.
"Yah, how do I can remove all the love I ever gave her? Kalau dikasih ruang rasanya bakal kepenuhan saking banyaknya," aku menatap kosong layar televisi yang menampilkan pertandingan motor di arena circuit.
"Salah sendiri, kenapa nggak ngomong?" Gantian Ega kini menembak dengan telak membalikkan keadaan. "Lo itu tinggal ngomong aja, sih. Mumpung udah sendiri juga si Tasya."
"Akina juga masih sendiri dan lo nggak berkutik, tuh? Kurang chicken apa coba lo sama gue?" Entah kenapa aku dan Adikku ini senabis sial masalah hubungan asmara. Kalau Ega mungkin beberapa kali sempat berkencan dengan beberapa wanita yang memang tidak berjalan lama, tapi aku jelas berbeda, aku mungkin pergi dating dengan beberapa wanita namun tak satupun aku jadikan kekasih. Aku hanya merasa bukan mereka yang aku mau, dan itu sulit sekali untuk memaksakan keadaan.
YOU ARE READING
Erotema [Short Stories] | Completed
Short Story[Started on October 15, 2020, and ended on December 19, 2020] Vital Note: A derivative story from It Takes Two To Tango, It will contain short stories - People said love is so many things, joy and pain wrapped up all in one package. Is it absolute? ...