Tasya's POV
Jakarta, Oktober 2018.
Aku baru saja melangkah keluar dari ruangan dokter setelah selesai pemeriksaan bersama Mbak Mina yang sedang membantuku berjalan memapah dengan sabar. Tadi pagi saat aku bangun tidur rasanya perutku seperti ditusuk-tusuk, sakit sekali sampai aku tidak bisa berjalan dengan benar dan harus berguling di atas kasurku pagi tadi saking sakitnya. Untungnya Marcel masuk ke kamarku tak lama karena merasa kejanggalan aku yang tak kunjung ke luar kamar padahal itu sudah tepat pukul 7, aku harus mengantarnya ke sekolah.
Marcel tentu saja menangis melihatku kesakitan seperti itu dan memanggil Mbak Mina di dapur yang langsung aku mintai tolong untuk mengambil pain killer di lemari kabinet dapur. Entah datang ide dari mana Marcel justru berlari ke kamarnya dan entah apa yang dilakukannya, setengah jam kemudian ketika rasa sakitku sedikit mereda dengan bantuan pain killer, Angga datang dengan pakaian kerjanya yang masih lengkap. Itu Marcel yang memintanya datang, anak itu benar-benar berteman baik dengan teman baikku. Setelah melalui perdebatan panjang di mana lelaki itu datang untuk membawaku ke dokter atas permintaan Marcel, aku menolak pergi bersamanya. Aku membuat keputusan yang juga ditolak olehnya di awal tadi, bahwa aku akan pergi dengan Mbak Mina menggunakan mobilku dan supir kantor yang aku mintai tolong sedangkan aku menitipkan Marcel kepada Angga untuk diantar ke sekolah. Bukan maksudku ingin merepotkan Angga atau menolak kebaikannya, namun ini benar diluar perkiraanku kalau lelaki itu akan datang atas permintaan Marcel dan juga aku memang lebih baik pergi dengan Mbak Mina saja.
Aku dan Mbak Mina sudah duduk di dalam mobil menuju apartemenku ketika ponsel wanita muda di sampingku berbunyi dan dengan cepat dia menjawab panggilannya.
"Bu, Mas Marcel telepon," suara halusnya membuatku menerima uluran ponselnya yang menampakkan nama anakku di sana. Aku sampai tidak mengingat untuk membawa ponselku tadi ke dalam tas setelah menghubungi orang kantor sebelum berangkat ke Rumah Sakit, pantas saja anak itu menelepon pengasuhnya yang kini sedang mendampingiku.
"Hei, Boy," sapaku dengan nada ceria, seolah aku baik-baik saja dan tidak membuat keributan tadi pagi.
"Mami, okay?" lirihannya terdengar tak yakin, membuatku mengembangkan senyum lebarku sambil mengingat wajah lucunya.
"Mami okay, kok. Kata dokter nggak apa-apa, Mami baik-baik aja," ujarku yang tak mendapat balasan apapun di seberang sana, bahkan suara helaan napasnya tak terdengar. "Mami is okay, Boy. Jangan nangis lagi, ya?"
Marcel belum juga menjawabku di seberang sana sampai aku bisa mendengar suara lelaki yang jelas tak asing, itu suara Angga yang juga bertanya kenapa Marcel hanya diam saja. Apa mereka tidak pergi ke sekolah sesuai titahku sebelum berangkat ke dokter tadi?
"Boy, kamu nggak pergi ke sekolah?" tanyaku dan kali ini mendapat jawaban berupa dehaman lesunya. "Why? Kan tadi pesan Mami kamu pergi ke sekolah diantar Om Angga," ujarku perlahan.
"Aku mau lihat Mami dulu," lirihannya kali ini sedikit menyayat hatiku. Anak kecil itu sudah pasti akan mengkhawatirkan aku, melihat aku berguling kesakitan tadi pagi saja dia sudah menjerit menangis histeris sampai bergetar.
"I'm on my way home, kamu masih di rumah sama Om Angga?" Marcel menjawab lagi-lagi dengan dehaman pelannya, aku jadi merasa bersalah berkali-kali lipat karena membuatnya bersedih sepagi itu. Dan lagi Angga, apa yang lelaki itu lakukan? Ini sudah hampir jam makan siang, dan dia tidak pergi ke kantor. Dia pikir apa yang dilakukannya? Ck.
YOU ARE READING
Erotema [Short Stories] | Completed
Short Story[Started on October 15, 2020, and ended on December 19, 2020] Vital Note: A derivative story from It Takes Two To Tango, It will contain short stories - People said love is so many things, joy and pain wrapped up all in one package. Is it absolute? ...