Bab 21

13 2 0
                                    

Lanjut nggak chatingannya?
.
.
.


~
Setelah Gaza melempar HPnya ke atas kasur, ia tidak lagi memperdulikan chatnya dengan Via. Fokusnya kali ini adalah makan. Beberapa kali ia mengelus-elus perutnya yang berkeriuk-keriuk.

Sambil berjingkat-jingkat Gaza keluar dari kamarnya. Pelan-pelan ia membuka dan menutup setiap pintu yang ia lewati. Kepalanya berkali-kali menoleh dengan cepat seperti maling yang tidak ingin digerebek massa.

Kemudian ia mengendap-endap di anak tangga untuk memastikan bahwa Mama dan Papanya tidak melihat aksinya itu. Ia juga melangkah dengan berjinjit agar tidak menghasilkan suara ribut.

"Alhamdulillah ...," batinnya lega saat ia sudah sampai di ruang makan.

Gaza tidak bisa berbohong. Saat ini ia benar-benar lapar. Untunglah makanan yang dimasak Bi Nung masih tersedia di meja makan.

Sebelum makan, Gaza pergi ke dapur untuk mencuci tangan di washtafel. Namun betapa terkejutnya ia saat melihat dapur yang sedikit gelap kemudian di dekat rak piring, berdiri seorang wanita misterius.

"Astaghfirullahalazim Bi Nung!"

"Hehehe maaf den. Bibi baru selesai cuci piring. Den Gaza lapar ya?" Ucap Bi Nung terkekeh.

"Ssttt, nggak usah ribut ya Bi. Gaza mau makan dengan damai."

Kini Gaza sedang menyantap makanannya dengan lahap. Sedangkan Bi Nung sudah pergi 5 menit yang lalu.

Sambil makan Gaza memikirkan kembali perdebatan dengan Papanya. Kenapa sih Papa selalu menganggap semua yang ia lakukan itu salah? Padahal waktu ia masih kecil, Papa jarang sekali marah kecuali jika ia melakukan kesalahan fatal.

Di usianya yang menginjak dewasa ini, Gaza tidak banyak menuntut pada Papanya. Justru Papa yang selalu memberikan segala fasilitas hidup untuknya tanpa diminta. Mulai dari sekolah yang mahal dan berkualitas, kendaraan mobil sport untuk menunjang transportasinya, uang jajan per minggu yang jika dikumpulkan selama 3 bulan bisa membeli motor CBR. Papa juga memberikan segala kebutuhan sandang, pangan dan papan yang cukup bahkan berlebihan. Belum lagi paket jalan-jalan dan liburan keliling dunia setiap liburan semester.

Terus maunya Papa apa sih? Gaza selalu berhenti pada pertanyaan itu. Karena sampai saat ini belum ditemukan jawabannya.

Gaza meneguk air minumnya yang terakhir dan ... eeeeeerghh!

Ia meriga cukup keras. "Alhamdulillah kenyang," ucapnya lirih.

Sambil memandangi piringnya yang sudah kosong, ia kembali melamun.

By the way, tentang kejadian tadi siang, Gaza inginnya tidak mengambil pusing. Namun jika melihat tokoh-tokoh yang terlibat, secara alami pasti dia akan dilibatkan.

"Ya Allah, kenapa harus sepupuan sih kita. Masalah lo pasti juga ujung-ujungnya jadi masalah gue. Katanya mau tobat, mau nunjukin sisi baik lo biar nggak dicap anak badung. Tapi kelakuan masih tetep sama. Udah berapa kali coba gue ingetin lo, nasehatin lo. Tapi nggak ada progres yang signifikan buat gue."

Sedang asik melamun, samar-samar Gaza mendengar suara Papa dan Mamanya yang sedang berdiskusi dengan serius.

"Sekarang Papa tidak punya cara lain. Itu jalan satu-satunya."

"Kita masih punya waktu untuk mencari solusi yang lebih bagus, Papa."

"Solusi apa? Mereka sudah menjebak kita. Berbuat curang pada bisnis Papa. Kalau bukan jalur hukum, jalur apa lagi yang bisa menjerat dia dan koleganya itu?!"

"Tapi kan ...,"

"Ma, ini keluarga kita. Mama wajib ada di pihak Papa sekalipun kita nanti berhadapan dengan kakakmu itu."

"Kakak! Maksudnya?" batin Gaza.

"Mama tau kan, Papa nggak pernah berbuat jahat sama orang. Kita membangun bisnis mulai dari kita nggak punya apa-apa sampai kita punya segalanya. Semua kolega Papa yang mau bangkrut, Papa bantu mereka. Termasuk saudara-saudaraku sendiri dan juga kakakmu. Tapi kenapa mereka tega mau menjatuhkan Papa."

"Nanti Mama coba untuk bicara sama dia Pa. Mama yakin ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya."

"Apakah Papa punya masalah dengan Pak De? Masalah apa kok sampai harus lewat jalur hukum? Sebentar, jalur hukum? Berarti masalah ini serius banget. Apa ini yang menyebabkan Papa selalu marah-marah ke gue, anaknya sendiri?"

Gaza menggeleng pelan mencoba melupakan hal-hal rumit yang baru saja mampir di pikirannya. Ia bangkit dan menuju dapur. Kemudian meletakkan peralatan makan yang baru saja ia gunakan ke dalam sink pencucian piring.

Ia mencuci sendiri peralatan makan dan minum yang baru saja ia gunakan. Karena ia tidak ingin merepotkan bibi Nung yang saat ini mungkin sedang istirahat.

Sambil mencuci piring Gaza kembali terngiang chat whatsapp dari Via tadi. "Maksud dia apa coba berenang di danau Einstein? Ya kali dia berani," batinnya. "Heran gue sama cewek itu. Ngapain suka sama gue. Masih banyak cowok keren di sekolah. Anak basket ada, anak OSIS ada, anak futsal ada, anak band ada, anak paskibra ada, lengkap semua ada. Malah suka sama anak Rohis ... Astaghfirullah kok gue jadi julid sih."

Setelah mencuci piring, Gaza segera kembali ke kamarnya. Ia berjalan tergesa-gesa keluar dari dapur. Namun saat ia melewati ruang makan, langkahnya terhenti.

Mengapa sekarang ada penghalang yang menutupi jalannya? Dan anehnya, penghalang itu kini sedang menatapnya tajam.

"Mama, Papa. Kenapa berdiri di pintu?"

Mereka hanya diam dan terus menatap Gaza tanpa berkedip.

"Ok, ok. Gaza lapar Ma, Pa. Jadi, ya Gaza akhirnya makan deh. Dan sekarang Gaza kenyang Alhamdulillah."

Tanpa mengatakan sepatah katapun, Mama dan Papanya langsung berbalik dan pergi.

"Gitu doang? Ok selamat malam Mama, Papa," ucap Gaza pelan.

***

Sadboy ya...

Thanks banget atas feedback kalian yang udah mau baca, komen, vote dan share.

High School CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang