💎 || 1. Ancaman Gadis Khayalan

1.3K 384 95
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Sembilan Nyawa Al Barra

🍀Story by Ana Latifa 🍀
Instagram: Onlyana23 | Wattpad: Onlyana23 | GWP: Onlyana23

💎

Seorang ibu tidak akan tega melemparkan bayinya ke dalam kobaran api. Begitu pun dengan Tuhan pada hamba-Nya.

💎

"Bole chudiyaaan, bole kangna ...."

Lift baru saja terbuka ketika musik yang berdentum-dentum menyambar tiba-tiba. Saking kencangnya, Albar bisa merasa dinding apartemen sedikit bergetar. Tak perlu telinga yang tajam untuk mengetahui siapa penyanyi abal-abal yang sedang menyenandungkan lagu india yang pernah hits pada jamannya. Albar pernah menyiram penyanyi itu karena tidak sadar-sadar kalau suaranya menyakiti telinga tetangga bahkan jadi alasan utama mengapa mereka pindah apartemen tiga bulan sekali.

Tolong, Albar tidak ingin pindah lagi. Dia tidak mau kehilangan bakpia kukus cokelat tiap minggu yang selalu diberikan oleh tetangga barunya. Sisa jualan, katanya. Tapi soal rasa benar-benar tak ada tandingannya.

Beberapa pintu apartemen mulai terbuka karena terusik, memunculkan sosok pria berbadan gempal berkaus ketat yang tak cukup menutup perut buncitnya lalu anak kecil yang mengeluh sambil menutup kedua telinga. Mereka sama-sama menghadiahi Albar dengan pelototan garang yang hanya bisa Albar balas ringisan bersama kata maaf yang meluncur pelan.

Albar sampai di depan pintu kamar dua menit lebih cepat dari biasanya. Dengan cepat dia menekan tombol pin yang suara tombolnya beradu dengan musik india dari dalam kamar apartemennya.

Setelah pintu terbuka, Albar berjanji akan melempar speaker--butut bin terkutuk--itu keluar dari apartemen lantai lima alih-alih membuangnya ke tong sampah yang tidak juga membuat pemiliknya jera.

Pintu terbuka dan nyanyian--yang cempreng dan tercekik--itu berhenti sejenak. Lalu ketika Albar muncul dari balik dinding, yang menjadi sekat antara dapur dan rak sepatu, seruan heboh penyanyi gadungan itu menjelma jadi jarum yang menusuk-nusuk telinga.

"Oh! Anak papa udah pulang, toh!" serunya sebelum kembali bergelut dengan katel berisi nasi goreng.

Albar terkekeh, setengah meringis. Dia ingin berlari dan tersenyum lebar menyambut papa lalu mengusuli lelaki yang tengah memasak itu kalau saja setidaknya ada sepuluh persen kemiripan wajah di antara mereka dan usia papa tidak sama seperti miliknya. "Gue bukan anak lo, Dwik!"

Dwiki tertawa, membiarkan sentakan Albar menguap di udara.

Albar pun berlalu mencabut sambungan listrik speaker cokelat berukuran setengah meter dengan dua buah lingkaran pemancar audio. Persis seperti yang bisa ditemukan di berbagai hajatan. Jadi wajar bila suara yang dihasilkan mungkin bisa merobohkan apartemen.

Dua tangan Albar sudah menggenggam badan speaker. Namun, niat untuk membuangnya tepat di depan mata Dwiki terurung begitu aroma nasi goreng yang tidak pelit daging ayam dan telur itu membuat perut Albar berbunyi. Makanan memang melemahkan. Apalagi gratisan.

Albar pun memilih duduk di meja makan kecil yang hanya muat empat kursi. Mungkin setelah makan, dia punya tenaga untuk membuang speaker itu.

Dwiki mengambil dua piring dan membagi nasi goreng sama rata. Mengiris tipis tomat dan mentimun sebelum dia sajikan pada Albar. Piring nasi goreng sudah berada di tangan Dwiki, tetapi mendapati mata lapar Albar, dia menjaili pemuda itu dengan menjauh-jauhkan piringnya. Sungguh pilihan yang buruk karena kening Dwiki langsung jadi sasaran empuk untuk ditimpuk sendok sayur. Dwiki pun mengaduh sembari mengusap kening sedang si penimpuk menyeringai senang bisa merebut jatah makan malamnya.

Sembilan Nyawa Al BarraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang