💎 || 5. Antara Tuhan dan Manusia

845 284 65
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Sembilan Nyawa Al Barra

🍀Story by Ana Latifa🍀
Instagram: Onlyana23 | Wattpad: Onlyana23 | GWP: Onlyana23

💎

Ketika lidah dapat mengakui sesuatu yang tak tampak bentuknya, bagaimana bisa manusia tetap menuntut wujud Tuhan saat beragam nikmat jelas-jelas dirasakannya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika lidah dapat mengakui sesuatu yang tak tampak bentuknya, bagaimana bisa manusia tetap menuntut wujud Tuhan saat beragam nikmat jelas-jelas dirasakannya?

💎

Dua soal yang dosen beri langsung Albar kerjakan detik itu juga. Perkuliahan yang seharusnya berlangsung dua jam, jadi lebih cepat separuh waktu karena Albar menantang dosen kalau dia bisa mengerjakannya maka kuliah harus segera dibubarkan.

"Kalau gini terus, mending gue tidur di kelas barusan."

"Enak aja!" Albar menyodorkan bindernya sejajar dada Dwiki begitu mereka keluar dari Gedung FEB. "Lo salin tugas gue, kalau nggak ...."

"Kalau nggak apaan?"

"Gue bakal putus kuliah."

Albar memeletkan lidah lalu beranjak pergi meninggalkan Dwiki yang menganga sebal.

Bisa terancam ijazahnya kalau Albar putus kuliah. Dwiki pun menggaruk kepala frustrasi lalu membuka binder milik Albar. Rapi sekali. Tulisannya lebih cantik daripada tulisan tangan perempuan.

Sebelum punggung Albar menghilang di balik tikungan, Dwiki berseru, "Urus distro jangan lupa!"

Albar menoleh, keningnya mengerut. "A two B!" balasnya.

Dwiki mengernyit. Mengapa Albar malah menyebut merk distro mereka?

"Nggak nyambung, Bambang!"

Tepat setelah Albar menyahut, Dwiki nyaris menginjak-nginjak binder anak itu kalau dia tidak ingat Albar adalah kunci kelulusannya kuliah. Dwiki jadi kocar-kacir memikirkan nasib distro yang baru berdiri tiga tahun itu kalau pemiliknya seperti Albar.

"Au Ah Bodoamat!" cetus Albar sebelum mempercepat langkah dengan riang.

💎

Gedung himpunan tampak disesaki gerombolan mahasiswa berpeci dan berjilbab panjang. Rupanya di sini tempat Lembaga Dakwah Kampus itu bercengkerama untuk menjalankan program kerja yang dirancangnya. Cukup banyak mahasiswa yang tergabung, termasuk Raya yang jadi tampak serupa dengan perempuan-perempuan lainnya. Selain dari warna pakaian, Albar kesulitan membedakan.

Di bawah pohon, Albar duduk di meja sembari sesekali melirik ke dalam ruangan yang terhalang jendela. Laki-laki dan perempuan duduk terpisah di sana walau sama-sama memperhatikan satu orang pembicara. Setelah lelaki yang Albar yakini adalah ketua LDK tahun ini mengucap salam, serentak seluruh anggota keluar dari ruangan.

Sembilan Nyawa Al BarraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang