💎 || 2.2 Serangan Pertama

854 316 61
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Sembilan Nyawa Al Barra

🍀Story by Ana Latifa 🍀
Instagram: Onlyana23 | Wattpad: Onlyana23 | GWP: Onlyana23

💎

Bukan kitab, kisah, atau aturan agama yang dinilai mata lain, melainkan perilaku pemeluk agamanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukan kitab, kisah, atau aturan agama yang dinilai mata lain, melainkan perilaku pemeluk agamanya.

💎

Angka 95 sampai 100 memenuhi kolom nilai rapot sekolah milik Albar. Itu lebih dari cukup menjadi bukti bahwa ingatannya di atas rata-rata. Albar memang terlatih untuk menghapal dan mengerjakan soal sewaktu paman masih hidup. Karena hanya itu yang bisa Albar lakukan agar terhindar dari amukan.

Dia bisa menjabarkan dengan detail segala kejadian yang dilihat sekilas bahkan menganalisis situasi yang membawa peruntungan berpihak pada Albar. Mampu membuka kafe padahal distro baru berjalan satu setengah tahun adalah bukti cemerlangnya otak Albar. Namun, kelebihan selalu beriringan dengan kelemahan. Justru karena mudahnya Albar mengingat sesuatu, dia jadi kesulitan lepas dari jeratan pikirannya sendiri.

Abijat, Abizar, siapalah namanya, benar-benar menyebalkan! Kekesalan meletup-letup di dada Albar. Sampai kajian dibubarkan, Albar merasa uap panas masih mengebul di pucuk kepalanya.

Albar sengaja menghadiri perkumpulan yang sering disebut kajian karena dia melihat Raya dan teman gadis itu memasuki masjid yang sama. Albar tak ingin kehilangan jejak Raya. Empat tahun sudah Albar menanti. Dia tak ingin gadis itu hilang lagi. Setelah yakin dia tak memerlukan undangan, Albar pun ikut masuk melalui pintu khusus laki-laki, ikut duduk bersila hingga lututnya bersentuhan dengan lutut yang lain, lalu celingukan dan mendesah panjang karena dia tak menemukan Raya di mana pun. Bangunan ini benar-benar memisahkan antara perempuan dan laki-laki.

Terlambat sadar bahwa dia terjebak di antara ratusan mahasiswa, Albar memilih duduk dengan pasrah karena bila memaksa keluar, dia akan kesulitan melangkah. Lalu ketika salam pembuka disusul materi kajian terdengar dari alat pemancar suara, Albar menahan dirinya agar tidak menguap lebar sepanjang acara. Walaupun sesekali matanya merapat karena kantuk yang menghebat.

Albar bertanya-tanya mengapa orang-orang mau repot-repot duduk di sini tanpa imbalan yang berarti? Tidak seperti di bangku perkuliahan, semua orang yang duduk di sini atas kehendak mereka sendiri. Albar tidak melihat ada raut paksaan di wajah mereka. Tak ada nilai buruk yang jadi ancaman juga tidak ada absen yang bisa menghambat kelulusan. Bahkan Albar yakin tidak ada snack box yang akan mereka terima walau berjam-jam duduk mendengarkan. Tapi semua mata mengarah pada satu sosok yang sama. Satu sosok yang Albar yakini ilmu agamanya lebih dalam daripada yang duduk diam hanya memasang telinga.

Sembilan Nyawa Al BarraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang