💎 || 3. Pencuri Memori

779 280 32
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Sembilan Nyawa Al Barra

🍀Story by Ana Latifa 🍀
Instagram: Onlyana23 | Wattpad: Onlyana23 | GWP: Onlyana23

💎

Allah dulu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Allah dulu. Allah lagi. Allah terus.

💎

Rahang Dwiki sampai sakit karena terlalu banyak tertawa. Menertawakan Albar yang jadi kepiting rebus di tengah lautan jamaah. Dari selasar masjid dekat jendela, Dwiki perhatikan mulut Albar megap-megap hendak membantah, tetapi bisa Dwiki tebak semua koleksi argumen yang Albar punya lesap seketika. Cowok itu sangat memahami bahwa apapun sanggahan yang dia lontarkan akan dengan mudah Abizar kembalikan ke titik yang sama. Titik di mana Albar sebenarnya tidak berhak mengomentari apa-apa karena dia hanya mengenal lapisan terluar yang tampak di matanya.

"Lulusan Kairo dilawan!" ledek Dwiki begitu menyambut Albar di luar masjid.

Albar mendelik tajam. "Lo temen gue bukan sih?"

Dwiki menggeleng ringan. "Bukan. Gue bokap lo," balasnya yang semakin mendidihkan darah Albar.

Albar tak menyangka ustaz satu itu bisa melibas habis pertanyaannya hanya dengan satu analogi yang, sialnya, masuk akal di benaknya. Kalau Albar menentang lagi, dia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Tersisa dua cara untuk membalikkan keadaan; Albar harus belajar sejatinya islam atau mengenali siapa pemilik islam agar bisa mendebat kembali ustaz itu. Tapi, itu sama saja dengan menelan muntahannya sendiri. Albar tak sudi!

"Bar, gue mau ke--" Dwiki melotot karena orang yang dia ajak bicara langsung melenggang pergi tanpa permisi.

"Albar Barbar Al Barra!" amuk Dwiki sampai urat lehernya menyembul. Tapi masih tak mempan membuat Albar berbalik badan atau sekadar menolehkan kepala. Isi kepala Albar pasti hanya tentang Raya dan kekalahan debatnya dengan Abizar. Albar terlalu mudah untuk dibaca. Setidaknya bagi Dwiki yang empat tahun tinggal serumah dengan anak itu. Lalu tanpa mau peduli ke mana Albar pergi, Dwiki bertolak menuju tempat parkir.

💎

Mata Albar sontak membola karena menangkap pergerakan gadis bergaun pink pastel keluar dari masjid. Albar nyaris melupakan alasan mengapa dia ikut duduk berjam-jam barusan. Lalu dengan cekatan, Albar menyalip kerumunan di sekitar masjid, mencari celah, mengucap permisi beberapa kali hingga jaraknya dengan Raya pun menipis. Bukan Albar tidak mendengar sahabatnya mengamuk, tetapi urusannya dengan gadis itu jauh lebih penting.

"Raya! Raya Magnolia!"

Gadis itu berhenti. Kepalanya sedikit menoleh guna memastikan siapa yang memanggil. Dan ketika dia mendapati pakaian mahasiswa itu sama seperti mahasiswa gila yang mempermalukannya siang hari ternyata adalah orang yang sama yang menyerang Ustaz Abizar tadi, Raya mendesah panjang sembari menundukkan pandangan. Terlambat untuk pergi, cowok itu sudah berdiri menghalangi.

"Kamu ... pernah ketemu aku, 'kan?" tembak Albar dengan napas terengah.

Raya menggeleng sembari melangkah yang diikuti Albar di sampingnya. "Nggak."

Dingin. Terlalu dingin di telinga Albar yang pernah merasakan kehangatan dari tiap kata yang Raya-nya dulu ucapkan saat pertama kali berjumpa.

"Aku masih inget sama kamu ... yah," Albar menimang sesuatu, "walaupun pakaian kamu mengerikan sekarang."

Kening Raya kontan mengerut saat matanya melebar. Bibirnya tampak membuka, tetapi tidak memberi sanggahan apa-apa. Sedangkan Albar mati-matian menahan tawa agar Raya tidak semakin kesal padanya. Raut jengkel gadis itu begitu lucu.

"Tapi masih sama cantiknya kok. Kayak siapa?" Albar melirik Raya, "Ah, Ratu Kleopatra?"

Raya berdeham canggung entah mengingat atau tidak. Albar menyeringai kecil. Ternyata begini rasanya menggoda perempuan seperti yang senang Dwiki lakukan. Albar tak tahu gombalan menjijikkan Dwiki bisa berguna juga memperpanjang percakapan.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya lagi.

"Pulang."

"Mau aku anterin?"

Raya menggeleng tegas sembari mempercepat langkah, tetapi Albar tetap santai mengikuti dengan dua tangan masuk ke saku celana.

"Kamu yakin udah lupa sama a--"

"Mbak Iana!" seru Raya menginterupsi sembari melambaikan tangan pada sosok perempuan yang hendak masuk ke mobil. Albar mengikuti arah pandang Raya.

Senyum merekah dari bibir perempuan itu ketika membalas tatapan Raya. Namun senyumnya sedikit surut ketika dia mendapati ada laki-laki yang mengekori gadis itu.

"Siapa?" bisik Iana penuh selidik pada Raya yang seketika berisyarat dengan kekehan canggung. Iana pun mengerti untuk segera menyudahi perbincangan.

Iana mengajak Raya masuk ke dalam mobil. Iana masuk lebih dulu disusul oleh Raya. Anggukan kecil tanda pamit Raya beri pada Albar sebelum duduk di jok penumpang. Namun belum sempat pintu mobil tertutup, Albar menahan pintu itu. Raya terperangah, tetapi masih enggan membalas tatap Albar yang terpancang padanya.

"Rooftop pabrik bekas Rawamangun. Empat tahun yang lalu," ucapnya penuh harap agar Raya segera mengingatnya.

Albar pun menutup pintu mobil dan melangkah mundur ke belakang, membiarkan mobil itu melaju dengan kecepatan rendah. Dari celah pintu yang nyaris tertutup, Albar masih bisa melihat tubuh Raya menegang lalu perlahan mendongak. Sekian detik pandangan mereka bertemu sebelum pintu mobil tertutup sempurna.

Albar menghela napas panjang. Ada banyak daftar kegiatan yang ingin Albar centang bila berhasil bertemu dengan Raya lagi. Namun yang paling utama adalah menagih ucapan gadis itu yang katanya ingin bertemu dengan Albar lagi.

Andaikata Raya tidak berkata demikian hari itu, Albar tidak bisa menjamin nyawanya masih menempel di dalam raganya sekarang.

Nada dering ponsel Albar memecah lamunan. Dengan satu gerakan, ponsel di kemeja pun menempel di telinganya.

"Halo?" Albar terbelalak. Dia pun bergegas mengantre di jalanan dengan mobilnya.

"Bar, kafe kemalingan!"

💎

Post: 17 Jan 2021

Sembilan Nyawa Al BarraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang