empat

32 5 6
                                    

4. TELAT

***

"Rakh itu tadi temen lo?" Tanya Tari saat mereka duduk di kedai mie ayam langganan.

Sepulang sekolah mereka memutuskan langsung pulang, tapi tiba-tiba hujan deras mengguyur dan Rakha memutuskan untuk meneduh di sebuah warung karena Tari merasa lapar.

"Yang mana?" Rakha balik bertanya.

"Yang tadi di kantin, anak baru itu." Tari mengulurkan tangan minta tolong diambilkan botol saos.

Rakha mengangguk.

"Kok gue nggak tahu lo punya temen selain si Satria sih." Tari terkejut. Karena pada dasarnya Rakha adalah cowok yang sulit bergaul. Meskipun Rakha sering nongkrong malam seperti pemuda lainnya, tapi teman yang 'asli' hanya Satria seorang.

"Terus gue harus laporan ke lo kalo gue punya temen lain gitu?" Tanya Rakha.

"Ya nggak gitu." Kata Tari mengerucutkan bibirnya.

"Kenapa nanyain Alif?" Tanya Rakha lagi.

"Hah nggak papa, cuma mau tahu aja." Jawab Tari sedikit heran dengan pertanyaan Rakha.

"Itu kebanyak sambelnya Tari, nanti mules." Rakha memperingati Tari yang sedang menuangkan sambel.

"Dih, gue itu bukan lo yang nggak doyan pedes Rakh." Cibir Tari.

Ya, Rakha memang tidak suka pedas. Karena trauma pengalamannya makan rujak ekstra pedas membuatnya nongkrong di toilet ber jam-jam.

***

Tari masuk ke dalam rumahnya yang terbilang luas dan mewah itu. Duduk di sofa ruang tamu dan melepas sepatunya. Pandangannya jatuh dan terfokus pada sebuah figura besar berisikan empat orang yang tersenyum lebar didalamnya.

"Neng Tari udah pulang, nggak kehujanan kan?" Tanya seorang Mbak dirumah Tari.

Mbak Lastri namanya, asisten rumah tangga yang sudah lumayan berumur. Mbak Lastri bekerja dirumah Tari sudah sangat lama, jadi dia dianggap seperti saudara sendiri disini.

"Nggak Mbak." Tari tersenyum, "Mami belum pulang ya?"

"Belum Neng, kayaknya besok deh." Ujar Mbak Lastri.

"Ya udah Tari masuk ya." Pamit Tari pada Mbaknya itu.

Tari berjalan menyusuri anak tangga dengan pandangan lesu. Sudah hampir seminggu dia dirumah sendirian. Mamanya pergi ke luar kota untuk urusan bisnis.

Tari memang gadis yang ceria, senyumnya setiap hari tidak pernah luntur dibibir kecilnya itu. Tapi bukan berarti yang selalu tersenyum tidak memiliki masalah kan?

Terkadang ada orang yang tersenyum hanya untuk menutupi luka, bukan karena mereka merasa bahagia.

***

Dengan tergesa-gesa Tari membayar ongkos pada ojek yang tadi mengantarnya ke sekolah.

"Ambil aja kembaliannya Mas." Tari berbalik dan segera berlari.

"Kembalian apaan, orang duitnya pas." Kata Mas ojek tadi.

"Ih anjir udah di tutup gerbangnya." Tari berdecak saat melihat gerbang besar itu tertutup rapat.

Untuk pertama kalinya Tari terlambat datang selama bersekolah disini. Rasa gemetaran langsung menyelimuti tubuhnya.

"Ngapain lo?" Tanya seseorang mengejutkan Tari dari belakang.

"Nggak sopan ngagetin orang." dengus Tari, "lo kan murid baru?" Alif hanya mengangguk sambil menenteng tasnya.

"Bisa-bisanya lo baru pindah kesini berapa hari udah kesiangan, lo pas--"

"Lo mau ngobrol? Ntar aja dikantin. Mau tetap diem disini sampe guru BK liat apa gimana?" Tanya Alif membekap mulur Tari dan menyeretnya ke area belakang sekolah.

"Lo mau bawa gue kemana, gue nggak mau bolos ya!" Seru Tari saat Alif membawanya ke belakang sekolah yang dimana terletak warung pojok tempat bolos anak-anak atau sekedar nongkrong.

"Siapa juga yang mau bolos, lo nggak bakal lewat gerbang depan kan? Ada satpam disana, nanti yang ada ke gep Pak Dodi." Jelas Alif saat mereka berhenti di belakang sekolah, terdapat tembok penghalang antara area sekolah dan pemukiman warga.

"Ayo naik." Alif berlutut dengan satu kaki. Dan tangannya terulur pada Tari.

"Hah? Gila ya lo. Ini tembok tinggi mana bisa gue naik." Protes Tari.

"Ada gue buat apa sih? Gue jagain." Alif meyakinkan Tari.

"Gue pake rok, nanti lo keenakan lagi." Tari masih tidak yakin.

"Ah elah ni anak banyak protes, sekarang atau lo telat masuk jam pertama." Decak Alif karena Tari masih ngeyel.

"Lo merem tapi."

"Iya bawel."

Tari nurut, lalu mulai menaiki sebelah kaki Alif dan sebelah tangannya menggenggam tangan Alif. Sedikit ragu dan takut, tapi Tari berhasil sampai diatas tembok dan duduk dengan perasaan lega.

Alif yang merasa Tari sudah tidak menginjak kakinya membuka mata.

"Tunggu gue naik, jangan loncat dulu," Kata Alif dan dengan lincahnya menaiki tembok itu. Tari yang melihatnya hanya bisa melotot kaget.

"Lihai bener naek temboknya, kayaknya doyan bolos ya lo." Sidik Tari dengan curiga.

"Hey kalian ngapain?!" Belum sempat Alif mendebat ucapan Tari, tiba-tiba suara lantang meneriaki mereka yang masih duduk diatas tembok belakang.

"Mampus ketauan!" Decak Alif.

***

Tari sekali lagi mengelap keringat yang ada di dahinya. Tangan kirinya yang bebas mengipasi wajahnya yang panas.

Ya, disinilah mereka berdua. Ditengah lapang upacara dengan tangan hormat. Sudah hampir satu jam mereka melakukan kegiatan ini.

"Lo sih banyak omong jadinya ketauan." Protes Alif pada Tari disampingnya.

"Kok lo nyalahin gue sih?!" Semprot Tari tidak terima.

"Ya jelas lah salah lo, dari tadi gue bilang naik aja. Lo malah banyak omong." Alif menoleh pada Tari.

"Alif." Panggil seseorang dari pinggir lapangan dan berjalan mendekat.

"Nih buat lo, pasti haus kan?" Rena menyodorkan sebotol air mineral pada Alif dan tersenyum manis. Rena menoleh pada Tari dengan tidak suka.

"Makasih." Ucap Alif. "Buat lo, biar nggak kebanyakan protes." Alif menawarkan minuman pada Tari.

"Ih apaan sih Alif, itu gue beli buat lo!" Seru Rena tidak terima.

"Nih duitnya gue gantiin, gue nggak haus." Alif memberikan uang pada Rena.

"Heh." Panggil Alif pada Tari.

Tari tidak peduli, mengabaikan ucapan Alif karena perutnya tiba-tiba sakit. Wajahnya yang semula merah karena kepanasan berubah pias menahan sakit.

Setelah mengumpulkan segala kesadaran Tari berlari menuju toilet sekolah, Tari mules. Benar kata Rakha seharusnya kemarin Tari tidak mengambil sambel begitu banyak. Tadi pagi juga Tari telat gara-gara sakit perut.











🌻🌻🌻

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang