enam

16 5 5
                                    

6. CAFFE BARU

***

Tari mengubah posisinya menjadi duduk, melirik jam dinding lalu menghela nafas malas. Hampir seharian dia menghabiskan waktu hanya dengan rebahan. Bangun tidur, makan lalu lanjut rebahan lagi. Tari merentangkan tangannya, badannya terasa lelah padahal hanya sibuk rebahan.

"Gabut banget anjir." Tari celingukan lalu berjalan keluar kamar.

Rumahnya yang mewah dan besar ini selalu terlihat sepi. Tari tinggal bersama Mama dan Abangnya, Mama Tari seorang pengusaha sukses yang membuat dia sering keluar kota untuk menghadiri rapat penting. Abangnya seorang mahasiswa disalah satu universitas dikota kembang dan tinggal di kost-an. Papanya? Tari sendiri juga tidak tahu, setiap Tari menyakan tentang keberadaan Papanya Mama selalu mengalihkan pembicaraan.

Tari memutuskan untuk duduk diteras depan rumahnya. Ketika melihat tetangganya sedang berada diluar Tari tersenyum senang.

"Woy Rakh! Mau kemana?" Teriak Tari dari luar pagar rumah Rakha ketika melihat cowok itu sedang memanaskan motornya.

Karena tidak kunjung ada jawaban Tari inisiatif masuk kedalam. Tari tahu Rakha tidak suka diajak berbicara jika jaraknya berjauhan. Bagi Rakha itu tidak sopan.

"Rapih banget Rakh, mau ngapel lo?" Rakha menggunakan celana jeans hitam panjang dan hoodie polos navy. Rakha menghentikan kegiatannya yang sedang mengelap motor.

"Gue mau ke pembukaan caffe  barunya si Dewa." Kata Rakha to the point menyebutkan nama teman sekelasnya.

"Dewa? Oh temen lo yang anak futsal itu?" Rakha mengangguk.

Tari ber-oh kecil. Sejurus kemudian nyengir lebar menatap Rakha, "gue ikut ya."

Rakha menatap Tari yang masih nyengir. Kini Tari merapat pada Rakha sambil menggandeng tangannya.

"Ini temen sekelas gue semua, lo nggak kenal nanti nggak betah lagi." Rakha melepaskan tangannya.

"Lo kayak ngga kenal gue aja sih. Gue kan gampang bergaul." Tari masih berusaha meyakinkan Rakha.

"Ya Rakh, gue ikut. Gabut gue seharian dirumah. Masa iya malem mingguan gue rebahan, temen-temen gue lagi ada acara semua. Masa iya lo te--"

"Sana cepet mandi nggak usah lama-lama." Rakha menutup mulut cerewet Tari.

"Asikkk, sayang Rakha." Tari tersenyum hingga matanya menyipit.

***

Mentari tersenyum lebar dari belakang punggung Rakha. Sesekali merentangkan tangannya saat jalanan sepi, tertawa menikmati hembusan angin malam yang menenangkan. Berada di keramaian seperti ini sedikit membuat Tari lupa dengan kehidupannya yang sepi dirumah.

Rakha memarkirkan motornya disebuah caffe. Menepuk lutut Tari agar turun.

"Lo nanti jangan jauh-jauh dari gue," Rakha menerima helm dari Tari.

"Kenapa?" Tari merapikan rambutnya yang tertiup angin jalanan.

"Gue nggak mau lo kenapa-kenapa aja," Rakha berjalan mendahului Tari.

"Ululuuu Abang Rakha bisa manis juga, tapi tenang aja gue bisa jaga diri kok. Gue kan udah gede." Tari mengekori Rakha sambil nyengir lebar.

Mereka berdua masuk ke dalam caffe yang ternyata sudah ramai orang. Tari bisa melihat teman-teman satu sekolahnya disini, tapi Tari tidak begitu mengenal mereka. Teman satu kelas Rakha saja Tari tidak begitu kenal, mungkin hanya yang perempuan saja. Tari memang dikenal di sekolah tapi dia tidak mengenal balik teman sekolahnya.

"Rakha." Seorang lelaki melambaikan tangan pada Rakha. Rakha menengok kebelakang untuk memastikan Tari masih ada di belakangnya. Rakha hanya tidak mau jika Tari sampai ketinggalan karena gadis itu mudah tersesat jika di tempat ramai.

"Wih dateng juga anak emas kita." Sapa cowok itu memukul bahu Rakha akrab. Rakha hanya tersenyum simpul.

"Eh ada Tari juga, apa kabar Tar?" Cowok yang Tari tahu bernama Dewa pemilik caffe itu tersenyum kearahnya.

"Gue baik. Hebat ya lo masih pelajar udah punya bisnis sendiri." Tari mengarahkan pandangannya pada sekeliling. Caffe kekinian dengan tema aesthetic.

"Ya gitu deh, sedikit-sedikit belajar biar punya tabungan sendiri juga." Dewa tertawa. Tari manggut-manggut.

Tari bisa menepati ucapannya pada Rakha. Dia bisa menyesuaikan diri dengan teman-teman sekelas Rakha yang datang ke caffe ini. Kini Tari berdiri ditepian caffe dilantai dua, menikmati udara malam yang semakin asik.

"Tari," Tari menoleh dan melihat Rakha yang berjalan kearahnya.

"Apa?"

"Sorry kayaknya gue nggak bisa anter lo balik." Rakha mengecek ponselnya dengan cemas.

"Lah kenapa?" Tanya Tari ikut cemas melihat tingkah Rakha.

"Alif." Panggik Rakha pada Alif yang sedang duduk di kelilingi cewek-cewek itu. Mengerti isyarat tangan Rakha, Alif berjalan mendekat.

"Lo bisa anterin Tari pulang nggak? Gue ada urusan soalnya, penting banget. Tolong ya Lif, Tar sorry banget ya." Rakha meninggalkan mereka berdua dengan langkah terburu-buru.

Tari melongo, ada apa dengan Rakha? Jarang sekali cowok itu bersikap begini.

"Lo pulang naik ojek online aja, gue nggak bisa anterin lo soalnya harus nemenin cewek-cewek gue." Kata Alif dan berjalan meninggalkan Tari.

Tari mendengus, "siapa juga yang mau dibonceng sama lo." Dengan langkah malas Tari menuruni tangga.

Alif menatap punggung Tari. Melihat jam tangannya lalu menyusul Tari. Saat keluar dari caffe Alif tidak menemukan gadis itu.

"Cepet banget ilangnya, curiga gue dia bukan jalan tapi terbang." Alif memakai helmnya dan mengendarai motornya keluar dari area parkir caffe.

"Naik, udah malem nggak usah sok berani lo diem di halte sendirian." Alif menghampiri Tari yang berdiri di dekat halte.

Tari bukan tipe gadis yang suka menolak, apalagi jika mendapat gratisan seperti ini.

"Ayo pulang." Kata Tari saat sudah duduk manis di jok belakang.

Diperjalanan mereka berdua hanya diam. Pertama, karena mereka tidak terlalu dekat jadi tidak tahu harus membahas apa. Kedua, karena Tari memang tidak suka banyak mengobrol jika sedang naik motor karena telinganya akan mendadak tuli jika diatas motor.

Tari mendongak menatap langit gelap, mengerjap kaget saat merasakan wajahnya basah. Dan dalam hitungan detik hujan pun turun. Alif memilih mencari tempat berteduh daripada harus kehujanan, karena dia sedang membawa anak orang dia tidak mau Tari kenapa-kenapa.

"Kenapa berhenti?" Tanya Tari saat mereka berteduh di sebuah ruko tutup.

"Ya emang lo mau hujan-hujanan?" Alif malah bertanya balik.

"Gue suka hujan, langsung pulang aja-- astaghfirullah." Tari reflek mendekat pada Alif dan memeluk lengannya saat sebuah petir menyambar.

"Katanya suka hujan tapi petir segitu aja kaget." Ejek Alif yang lansung dihadiahi cubitan diperutnya.

"Ya gue tuh suka hujan kalo nggak ada petirnya." Tari mengerutkan alisnya.

Alif melirik Tari yang masih memasang wajah kesal. Lalu melepas hoodie yang dia pakai ketika melihat baju Tari yang berwarna putih basah.

"Pake nih, bahaya kalo sampe kebasahan lebih banyak lagi." Alif memberikan hoodienya.

Tari menunduk, lalu reflek menutupi baju bagian depan. Baju yang Tari pakai adalah kemeja putih crop yang memang agak tipis, Tari merutuk dalam hati kenapa dia malah mengenakan baju ini.

"Warna biru bukan Tar?" Tanya Alif iseng sambil tertawa.

Tari melotot lalu menonjok lengan Alif kencang, "nggak sopan!"

















🌻🌻🌻

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang