10

24 1 0
                                    

"Selamat siang."
"Siap siang."
"Bagaimana perkembangan kasusnya?"
"Belum ada petunjuk yang signifikan pak."
"Belum ada?" Nada suara mr. Roy meninggi. "Kalian penyelidikan dimulai jam berapa?"
"Sejak pagi pak."
"Sejak pagi? Kalian buta atau bagaimana? Pencurian itu terjadi lagi di pagi tadi." serentak mereka terkejut mendengarnya. "Saya mau, kalian menyelidikinya lagi, jika kasus ini tidak selesai, kalian tidak bisa mengikuti ujian akhir tahun." lugas mr. Roy dan pergi meninggalkan mereka.
"Kamu dengar sendiri kan, detektif Qaroline Nuralita. Pagi tadi pencurian itu terjadi lagi, dan Adit juga di sana tadi pagi."
"Apa? Adit?"
"Kenapa? Kamu tidak percaya juga?" terdengar bunyi pintu ruangan mereka, dibuka oleh seseorang. Pak Dika, partnernya pak Leo. Kedatangan pak Dika, membuat mereka menyudahi diskusinya. Mereka keluar tanpa sepatah kata pun, yang keluar dari mulut mereka. Line pergi ke sebuah taman, dimana dia bertemu adit sebelumnya. Dia mengacak-acak rambutnya, dan berteriak keras di taman itu.
"Kenapa disini?" Andreas muncul di samping temannya itu. "Jangan bilang, kamu mau bunuh diri."
"Hah? Kamu ngomong apa si?" Line berdiri dan memandang sekitar. "Bunuh diri di tempat yang seindah ini? Rugi."
"Hahahaha. Kamu lagi jatuh cinta ya?"
"Tidak. Aku lagi pusing."
"Nih ada obat."
"Bukan pusing seperti itu, Andreas."
"Hahahaha. Slow dong. Coba kamu tarik napas panjang, resapi, dan hembuskan." Line mengikuti perintahnya Andreas itu. Andreas melihat senyum mengembang di bibirnya Line. "Sudah tenang?" Line hanya mengangguk.
"Thanks ya."

*****

Hari ini pak Leo pulang lebih awal, karena anaknya masuk rumah sakit lagi. Dia membereskan alat pekerjaannya, dan bergegas ke rumah sakit. Di rumah sakit, oksigen kembali dipasangkan ke anaknya. "Saya tidak bisa melakukannya sekarang." Suara pak Leo agak meninggi, setelah bajingan itu memintanya untuk bertemu. Pak Leo mengacak-acak rambutnya. Dia kesal, karena harus ke sekolah lagi, sedangkan dia baru saja sampai di rumah sakit. "Bajingan itu, memang tidak punya hati."
"Sabar pak." istrinya mencoba menenangkan pak Leo. "Biar saya yang disini saja pak." pak Leo pamitan lagi dengan istrinya, dan menuju ke tempat yang sudah dikasih tahu oleh orang itu.
"Pak Leo, akhirnya sampai juga."
"Mana uangnya?"
"Tenang, uangnya ada di kantong ini pak, lima puluh juta."
"Terima kasih." Baru beberapa menit pak Leo menerima uangnya, ponsel pak Leo kembali berdering. Istrinya, memberi kabar, kalau anaknya tidak bisa bertahan hidup lagi. "Bajingan!" Sebuah pisau mendarat tepat di dada siswa itu. "Gara-gara saya mengantar ini, saya tidak bisa melihat keadaan anak saya, untuk yang terakhir kalinya." siswa itu mendapat tusukan bertubi-tubi dari pak Leo, hingga tewas di tempat. Setelah puas memukuli siswa itu, pak Leo meninggalkannya begitu saja. Dia pergi ke sebuah bar, untuk mabuk, agar semua terlampiaskan.

Detektif Qaroline (I remember it) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang