Sama seperti sebelumnya, hamparan luasnya nabastala yang gelap gulita di luar sana selalu saja menghantarkan kepada satu rindu yang tak dapat mendekap temu. Bulan-bulan pada warsa di penghujung 2020 berhasil menikam relung berujung pilu, sebab telah gugur salah seorang anak bumi yang selama ini bertahan sekuat dirinya mampu.
Tidak terasa, sejak hari di mana ia pergi meninggalkan, kini telah berlalu lebih dari hitungan satu bulan. Awalnya, mereka yang ditinggalkan beranggapan bahwa detak-detik waktu terasa sulit dirasakan. Namun ternyata anggapan itu salah perkiraan. Pagi masih berjalan menuju siang, siang menyulam kepada petang, petang menghantarkan kepada malam, walau diiringi sisa-sisa rasa kehilangan yang begitu menyesakkan.
Desembar dan cerita-cerita di dalamnya juga belum sampai di penghujung tahun nestapa. Masih terasa pekat dingin yang memeluk daksa, masih terhirup bau aroma tanah dan dedaunan yang jatuh ke permukaan semesta selepas hujan berhenti mengguyur bumantara. Dan ... terkadang, tak dapat berbohong pula ... bahwa diri masih kembali teringat akan dia.
Pun, ada satu rutinitas yang kerap pemuda itu lakukan semenjak rindu datang menggorogoti dada tanpa pemberitahuan. Kebiasaan yang tercipta tanpa perencanaan, dengan dalih agar kubangan rindu nan dalam dapat sedikit menyurut ke permukaan.
Tidak ada yang dapat dilakukan, selain mengenang hadir satu jiwa itu melalui kumpulan-kumpulan foto polaroid yang bergantungan. Mendengar larik suara tawanya melalui CD klasik yang diputar lewat komputer menyala di atas meja disandingi oleh nyalanya lampu nan temaram. Begitu terus setiap malam pemuda itu lakukan, ketika mata sulit terpejam, dan langkah kaki ringkih membawa tapaknya ke dalam sepetak kamar yang tak lagi dihuni sang tuan.
Memang benar apa kata orang, bahwa mata tidak dapat menyembunyikan kebohongan. Karena, seberusaha apa pun ia meyakinkan diri agar tidak menangis, sekuat apa pun hatinya mengubur sesak yang menusuk relung, usaha yang lelaki itu lakukan selalu berakhir sia-sia. Sebab bias cahaya dari komputer menyala berhasil mengundang air mata, dan berakhir dengan sudut netra yang ia punya dialiri tirta tumpah ruah tanpa suara.
Cukup lama ia menenggelamkan kepala di atas meja, hingga ketika dinding-dinding hampa itu menghadirkan satu nada berasal dari arah jendela. Kalimat yang mengundang atensinya, yang membuat netra gelap sang anak bumi menatap pada gorden tipis putih beterbangan dibawa semilir anika.
Kenapa ... ia merasa jika hadirnya sosok hilang itu sedang berdiri tegak di sana?
Namun, sejak awal, semesta memang sangat suka mengajak bercanda. Buktinya saja, tatkala tapak kaki tanpa alas itu melangkah pelan menuju panjangnya jendela, ia hanya seorang diri di sana. Tidak ada siapa-siapa. Tidak suara yang mengusik indra.
Dan seperti seharusnya, watas nyata itu lagi-lagi menahan rindu setengah mati kepada seorang makhluk Tuhan yang telah tertidur abadi. Bahkan ketika kaki tak mampu berdiri lagi, ia hanya dapat menekukkan lutut ke lantai dingin. Menghela nafas lelah, sambil diam-diam berharap pada pemilik alam raya agar perih hatinya sedikit mereda. Namun apa daya, yang namanya patah tetap lah patah. Lantas untuk kesekian kalinya, pemuda itu biarkan saja ia menangis seorang diri sampai air mata tak lagi membasahi wajah.
Kemudian di detik terakhir pada sisa malam itu, ia hanya lah peran pengganti dalam menunggu. Menunggu kedatangan seseorang untuk menjeramba hastanya, agar dapat dibawa pulang ke rumah sesungguhnya. Menghantarkan kepada bahagia yang sebenar-benarnya.
Dan selepas dari sini, yang ditunggu bukan lagi ibu. Tetapi kehadiran ilustrasi jiwa yang datang sewaktu-waktu, membawa ia ... agar keduanya dapat bertemu.
-sudut kamar, 30.11.2020-
Republish, 18.11.21
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Mom | END
Teen FictionKatanya, menunggu adalah perihal kesabaran dan waktu. Menunggu adalah tentang bagaimana sejatinya kita menginginkan sesuatu. Seperti mereka yang menunggu seorang ibu. Menanti sepasang hasta indah itu agar dapat memberikan peluk. "Karena setiap rint...