16

34.3K 10K 5.6K
                                    







"Makasih ya, Bin."

Yoonbin mengangguk singkat dari dalam mobil. "Kalau ada apa-apa telpon gue atau yang lain, hati-hati."

Hyunsuk mengacungkan jari jempolnya. Mobil Yoonbin pun meninggalkan rumahnya, tinggal lah dia sendiri. Sebenarnya dia takut, tapi tidak apa-apa lah. Dia lelah berada di rumah sakit terus.

Pintu ia ketuk, tapi tidak ada jawaban. Sepertinya bibinya sudah pulang, sendirian deh. Kunci ia keluarkan dari saku celananya, pintu ia buka seraya melepas sepatunya.

Terang seperti biasa, bibinya alias pembantunya tidak pernah mematikan lampu sesuai permintaannya. Biarkan saja boros listrik, daripada dia takut di rumahnya sendiri.

Rumah tersebut adalah rumah pemberian orang tuanya, dia sengaja memutuskan untuk tinggal sendiri agar lebih mandiri. Fasilitasnya juga tidak banyak, hanya rumah, mobil, motor, dan juga kartu atm dengan jumlah nominal yang s a n g a t banyak seukuran usianya.

Itu yang namanya tidak banyak? :')

"Lama-lama gue bisa gila kalau begini terus," gumamnya seraya mengingat-ingat kejadian yang menimpa dirinya dan teman-temannya.

Jujur, dia jadi sering ketakutan sendiri, berhalusinasi seolah-olah badut itu ada di depannya. Hanya Haruto yang tahu, karena kambuhnya disaat dia sedang sendiri.

Semoga saja hari ini tidak kambuh.

"Kebiasaan nih si bibi, masak banyak banget," celetuknya begitu melihat meja makan terisi penuh oleh berbagai macam makanan dan beberapa kaleng soda serta kaleng cincau di tengahnya.

Karena lapar, ia langsung duduk dan mengambil piring. Beberapa ayam goreng ia ambil, baunya harum sekali.

"Uhuk uhuk!"

Nah kan tersedak. Untung saja ada air putih di dekatnya, langsung saja ia ambil dan minum sampai tetesan terakhir.

Tapi kok... tenggorokannya jadi panas?

"Ugh... s-sakit."

Panas menjalar dari tenggorokannya menuju wajah, semakin lama rasanya seperti ditusuk jarum yang sangat tipis. Hyunsuk terbatuk lagi, kali ini rasanya jauh lebih sakit daripada sebelumnya, menjalar ke seluruh tubuhnya.

Panik melandanya, tanpa ragu ia berlari menuju ruang tengah untuk mengambil ponsel yang ia tinggal disana.

Namun, tamu tak diundang berdiri disana, tertawa mengangkat sebuah benda.

"Gimana kak, rasanya sakit ya? Utututu, kasian banget," ucap orang itu mengejek Hyunsuk yang mulai ketakutan.

Oh tidak, ini buruk.

Hyunsuk kesulitan berlari, melangkah saja tidak sanggup. Seluruh badannya sakit, kenapa bisa seperti ini?

"Jangan lari, nanti gue capek ngejarnya," kata orang itu melangkah maju.

Hyunsuk membelalakkan matanya, mundur selangkah demi langkah sekuat tenaga, sebelum punggungnya menabrak sesuatu yang besar, seperti tubuh manusia.

"Tuan, saya bunuh saja sekarang, ya."

Hyunsuk berbalik badan, seketika ia jatuh terduduk ke lantai. Badannya gemetar hebat, si badut tak lagi membawa gergaji mesinnya, hanya tangan kosong.

"Ja-jangan bunuh... tolong jangan..." pinta Hyunsuk ketakutan, mundur pelan-pelan seraya mengambil ancang-ancang untuk berdiri.

Tapi badut itu meraih kakinya, menyeretnya paksa ke dapur dengan kasar.

Hyunsuk meronta-ronta, tangannya berusaha melepas cengkraman si badut dari kakinya. Tapi sulit, badut itu kuat sekali.

"Le-lepas! Lepasin!"

"Berisik," ucap si badut marah, lalu melempar badan Hyunsuk ke meja, kemudian membenturkan kepalanya ke lantai.

"Akh!"

Tuan si badut tertawa puas melihat apa yang badut itu lakukan. "Haha, lagi dong. Jangan berhenti sampai gue suruh."

"Baik, tuan."





DUK!







"Berhenti.... tolong berhenti."






DUK!





Tawa orang itu pecah, puas melihatnya. Andai saja ada teman-temannya yang lain, pasti lebih seru.






DUK!






"G-gue mohon... be-berhenti..." lirih Hyunsuk dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Badut itu menyeringai, menggelengkan kepala. "Buat apa saya berhenti, saya suka."






DUK!






Benturan selanjutnya membuat Hyunsuk terkulai lemas tak berdaya, kepalanya penuh darah, begitu juga wajahnya.

Semuanya buram, telinganya berdenging hebat. Tapi dia masih bisa melihat siapa saja yang ada di depannya.

Orang yang dia kenal jelas itu berlutut, menyejajarkan posisinya dengan Hyunsuk. Dia tersenyum miring, mengangkat tangan kanannya kepada si badut, meminta sesuatu.

"Ambilin pisau."

"Baik, tuan."

Dia menyeringai. "Lo pasti bingung kan kenapa hantu badut itu bisa nyentuh apapun? Biar gue kasih tau, itu karena gue udah ngelakuin sesuatu ke badut itu. Lo gak perlu tau kelanjutannya, kan bentar lagi mati."

Pisau dia terima dengan senang hati. Hyunsuk menggelengkan kepalanya, air matanya semakin deras.

"Kenapa? Gak mau mati, ya? Yah, sayangnya gue gak peduli, kan gue benci banget sama lo."

"M-maaf... ma-maaf..."

"Terlambat," ucap orang itu datar, lalu menusuk pipi kiri Hyunsuk kuat-kuat.

"ARGHHH!!!!"

"HAHAHAHA!"

Tak hanya sampai disitu, kepala Hyunsuk dibenturkan lagi ke lantai. Darah mulai menggenang, nafas Hyunsuk mulai melemah.

"Jangan mati dulu, dong," sungut orang itu merasa kesal, kembali menusukkan pisaunya, ke tempat yang sama.

"ARGHHH!"

Teriakan Hyunsuk tak terelakan, rasanya sakit. Tangisannya semakin deras, mengapa harus seperti ini?

"Lagi ah, hihi," kikiknya senang, menikam mata kiri Hyunsuk tanpa ragu. Hyunsuk berteriak lagi, namun tangannya terlalu lemas untuk melakukan perlawanan.

Ah, jadi begini akhirnya...

"Dan ini saatnya, selamat tinggal, Kak Hyunsuk," ucap orang itu melambaikan tangan dengan ceria. Hyunsuk tak bergerak, menangis dalam diam.

"Maaf, gue gak bisa bertahan hidup... semoga kalian selamat," batinnya memikirkan teman-temannya.

Sebelum pisau menancap di kepalanya, berkali-kali sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Clown | Treasure ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang