"Halo? Kau lama sekali tidak menghubungiku, hm?"
"Maafkan aku, Eomeoni..."
"Haih, dasar kau. Ada apa menelepon? Tidak sibuk?"
"Tidak, kok. Um, Eomeoni."
"Iyaa?"
"U-um."
"Kenapa, hm?"
"Menurutmu, aku harus jujur pada pasienku?"
"Sungbin-ah, ini tentang putraku, benar?"
"..."
"Sungbin-ah..."
"Eoh, benar, Eomeoni."
"Tak apa, Sungbin.. beri tahu dia."
"Baiklah. Maaf mengganggumu malam-malam begini, Eomeoni."
"Sama sekali tidak apa-apa, nak.."
Sungbin memejamkan matanya lelah. Ia terpaksa menginap untuk menemani Jimin malam ini. Baru saja dia selesai telepon dengan ibu Jimin. Ia tidak melapor kalau Jimin tidak minum obat. Biar nanti Jimin yang mengakuinya sendiri.
Diliriknya tumpukan kertas data pasien di sampingnya yang belum sempat ia cek dan urus belakangan ini. "Ini alasan kenapa kadang aku menyesal telah menjadi seorang dokter, hahhh~. Tapi, kurasa aku akan lebih menyesal lagi jika sama sekali tidak lakukan apapun."
Sungbin benar-benar harus terjaga malam ini. Ketika pandangannya beralih ke tempat lain yang bersebelahan dengan ruang kerjanya di mana di situ terdapat Jimin yang sedang terlelap. Bisa dibilang itu kamar VVIP untuk pasien istimewa atau yang memerlukan perawatan khusus darinya. Kamarnya memang sederhana, tapi perhatian yang ia berikan mewah.
Dokter itu tahu tidak boleh membedakan pasien. Tapi, dia juga tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa Jimin terlalu berharga baginya sama seperti Jimin bagi ARMY. Apalagi, hubungannya dengan keluarga Jimin sangat dekat. Park Jimin adalah adiknya.
Mata Sungbin membelalak saat Jimin terlihat gelisah. Dengan cepat, Sungbin berlari ke sana untuk memastikan semua terkendali.
"Jimin-ah, gwaenchana?"
Sungbin memasangkan masker oksigen kepada Jimin dan mengatur hembusan udaranya agar tak terlalu keras. Jimin masih sesak napas. Sungbin panik. Pelan-pelan, dia membenarkan posisi kepala Jimin.
"Tidak apa. Kau baik-baik saja." Sungbin menyelimuti Jimin seraya membisikkan kata penenang. Jimin tetap saja gelisah. Kali ini dia mulai meremat bajunya. "Apa yang sakit, Jim? Beri tahu Hyung.."
Seolah menjawab, Jimin memegangi kepalanya. "Sa-kit."
Mau tidak mau, Sungbin tidak punya pilihan selain memberi obat tidur pada Jimin. "Hyung harap ini membuatmu lebih baik. Bilang pada Hyung kalau ada yang sakit lagi, ya."
Lelah. Sungbin lelah. Tapi, dia harus bertahan melawan kantuknya yang sudah berat. Melihat napas Jimin sudah teratur, Sungbin melepas masker oksigen dari wajah Jimin, sang adik.
Sungbin itu anak tunggal. Dia terus di bully oleh teman-temannya entah kenapa. Kali pertama Sungbin bertemj Jimin adalah ketika Jimin datang untuk membeli tteok bersama adiknya, Jihyun, di seberang sekolah Sungbin. Kala itu, Sungbin membantu Jimin menyeberang karena jalanan ramai sekali, tidak memungkinkan bagi dua bocah itu lewat.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRIENDS -VMin- [END]
FanfictionAda alasannya ketika seorang sahabat memusuhimu Dia tidak akan marah begitu saja, pasti ada alasannya Meski begitu, semarah apapun dia... Dialah yang selalu siap menerima kita apapun kondisinya Dan dia yang mendengarkan bahkan rela mengorbankan sega...