Seungsik berdiri menghadap jendela kaca yang masih tertutup tirai. Di luar sana, mentari mengintip malu-malu, menggantikan fajar yang menyisakan semburat kemerahan. Di tangannya tergenggam sebuah pigura yang menampilkan gambar anggota keluarganya, foto yang diambil tepat awal tahun beberapa waktu lalu.
Seungsik tersenyum. Ia bahagia meski hanya dengan melihat kertas bergambar itu. Anak-anaknya tertawa lepas tanpa beban. Tadinya ia sudah mengonsep pose foto keluarga terbaru itu, Seungsik ingin mereka berpakaian formal dengan pose yang sangat karismatik, mengingat anak-anaknya sudah beranjak remaja. Namun, jangan sebut mereka anak Seungsik jika mau menurut. Keempat anaknya malah lebih banyak membuat gaduh saat sesi foto, jadilah mereka berpose apa adanya dengan gaya bebas.
Seungsik tidak lagi peduli dengan konsep, selama mereka suka melakukan itu, maka ia bisa memaafkannya. Toh, mereka terlihat sangat natural di foto itu, tanpa paksaan, tanpa tekanan. Benar-benar menampilkan sebuah figur keluarga harmonis.
Tiba-tiba sepasang tangan melingkar apik di perutnya, membuat Seungsik sedikit berjengit karena kaget.
"Happy twenty first anniversary, Sayang." Suara berat itu berbisik di telinga Seungsik, terasa seperti tiupan angin yang membikin geli dan membangunkan bulu kuduknya.
Ah, Seungsik selalu suka sensasi yang ia rasakan. Di mana darahnya mendesir setiap kali suara itu menyapa tepat di telinganya. Tidak ada yang berubah sejak hari pertama, bahkan hingga kini, tepat dua puluh satu tahun pernikahan mereka.
"Kamu sudah bangun?" sapanya pada si pemilik suara.
"Aku bisa terbangun kapan saja kalau kamu nggak ada di sampingku," jawab suara itu masih dengan setengah berbisik.
"Hmm, dasar manja," goda Seungsik sambil tertawa.
"Kamu liatin apa?"
Seungsik tak menjawab, ia menunjukkan pigura yang dipegangnya pada sosok yang masih memeluknya dari belakang.
"Ah, foto itu. Aku juga suka foto itu. Lihat! Anak-anak keliatan bahagia banget."
"Iya, kamu juga."
Sosok itu melonggarkan pelukannya dan membuat sedikit jarak, lalu memutar tubuh Seungsik supaya menghadapnya.
"Sik, makasih sudah hadir di kehidupanku. Makasih sudah kasih aku anak-anak yang hebat. Makasih untuk selalu sabar dan bisa diandalkan. Makasih sudah jadi istriku." Suara itu berucap tulus.
Seungsik tersenyum dan membalas dengan sebuah kalimat sederhana, tetapi sangat emosional. "Seungwoo, makasih sudah mencintaiku."
Sosok itu--Seungwoo, yang tak lain adalah suaminya--menghela napas kesal. "Harus berapa kali aku bilang, jangan bilang begitu. Tiap kali kamu bilang begitu, aku selalu merasa bersalah."
"Aku hanya merasa perlu bilang begitu. Rasa syukur terbesarku--setelah apa yang aku lewati selama ini--adalah menerima cinta kamu."
Seungwoo terenyuh. Kalimat pamungkas Seungsik yang satu itu selalu berhasil membuatnya lemah. Ia pun merengkuh Seungsik, memeluk istrinya itu dengan seluruh jiwa dan raganya.
"Mau dua puluh satu tahun ini, dua puluh satu tahun ke depan, dua puluh satu tahunnya lagi, bahkan di kehidupan berikutnya, aku ingin tetap mencintai kamu. Hanya kamu, Kang Seungsik."
💙💛
.
.
.
Happy anniversary kesayangan aku!!Dalam rangka anniv Victon yg jatuh tepat hari ini, aku sengaja publish book ini sbg hadiah buat Alice (especially aku sendiri karena kekurangan konten Victon dan 2seung di WP 😁). Semoga siapa pun yg baca bisa terhibur.
Karena ini book perdana, mohon beri dukungan banyak² 🙏. Kalo kalian suka, tolong vote dan share ke temen² kalian.
Selalu dukung dan cintai Victon ya....💙💛
KAMU SEDANG MEMBACA
KELUARGA PELANGI [VICTON]
FanfictionDua puluh tahun menikah dan dikaruniai empat orang anak yang mulai beranjak dewasa membuat Kirana bersyukur bisa bertahan sejauh ini mengingat ia pernah ingin menyerah di awal pernikahan. Ia bahagia dikelilingi orang-orang tercintanya, suaminya Seno...