(19) Praduga

37 9 0
                                    

Byungchan duduk bersila di kasur Subin sambil menopang dagu dan memanyunkan bibir. Di sebelahnya, Subin melakukan hal yang sama. Mereka mengawasi gerak-gerik abangnya dengan muka masam. Sedangkan di seberang sana, kasur Sejun penuh dengan barang-barang yang akan ia bawa ke tempat baru. Bilangnya cuma mau bawa barang seperlunya saja, tidak banyak. Nyatanya lemarinya nyaris kosong, hanya menyisakan baju-baju yang tak terpakai.

Sejun akan pindah ke tempat kos besok. Selagi abangnya masih di rumah, Byungchan dan Subin tidak mau melewatkan waktu-waktu terakhir bersama si abang, jadilah mereka menemani Sejun berkemas meski dengan wajah kesal. Iya, hanya menemani tanpa membantu.

"Kalau kalian cuma mau ngeliatin aja, tapi nggak bantuin, mending jangan di sini, deh. Main, kek, di luar," tegur Sejun dengan kesal pada kedua adiknya.

"Kami, kan, mau nemenin Abang sebelum Abang pergi." Subin menjawab.

"Abang bukan mau jadi TKI, Dek. Nanti bakal sering pulang, kok. Lebay banget, sih, kalian." Sejun makin bersungut-sungut.

"Kita, kan, belum terbiasa pisah rumah, Bang." Byungchan menyahut dengan nada sendu. "Rasanya aneh aja gitu," imbuhnya.

Sejun fokus menatap adik-adiknya dengan tangan terlipat di dada. "Nanti juga kalian bakal terbiasa. Anggap aja ini latihan. Nanti kalau semuanya udah dewasa, udah pada nikah, tinggalnya juga bakal pisah, kok," jelasnya dengan lebih sabar.

"Kalian harus mandiri, jangan terlalu bergantung sama Abang. Abang mau tinggal sendiri juga karena mau belajar mandiri, nggak mau bergantung sama orang tua."

"Tapi duitnya masih minta Papa, kan?"

Sejun terdiam beberapa saat. Kalimat Subin sungguh menohoknya. Padahal ia sudah bersikap wibawa dan bijak, tetapi adik bungsunya itu selalu saja bisa menjatuhkan citranya.

Byungchan tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Ia menutup mulut agar tawanya tak berhamburan keluar, bisa-bisa Sejun memutus jatah cokelat mingguannya.

"Ini kenapa cuma kalian berdua? Sese mana? Kenapa nggak ikutan?" Sejun mengalihkan topik.

"Sese nggak mau, katanya males liat muka Abang. Dia kesel pas tau Abang mau keluar dari rumah."

"Hhh! Anak itu, kenapa ikut-ikutan merajuk, sih?" Sejun bergumam. Ia memasukkan pakaian terakhirnya ke dalam koper, menutupnya asal, lalu melangkah keluar kamar.

"Abang mau ke mana?" tanya Byungchan sedikit berteriak ketika Sejun sudah di ambang pintu.

"Mau pamitan sama Sese."

Melihat abangnya menghilang di balik pintu, Byungchan dan Subin melompat dari kasur, kemudian cepat-cepat mengekori Sejun ke kamar Hanse--yang pastinya juga kamar Byungchan.

Saat mereka sudah tiba di kamar Hanse, Sejun sedang duduk di tepi tempat tidur Hanse. Ia sedang merayu Hanse yang masih enggan melihat wajahnya.

"Jangan gitu tidurnya, Dek, kamu nggak bisa napas," rayunya pada Hanse yang sedang menelungkupkan wajahnya di bantal.

Hanse berbalik, kemudian bangkit dan duduk bersila menghadap Sejun. "Abang tega, ya, ninggalin kami?"

"Abang nggak ninggalin kalian."

"Terus? Kenapa? Abang pengen tidur sendiri? Mau punya kamar sendiri? Sudah bosen sama Subin? Nanti aku bilang Papa, deh, biar renovasi rumah, nambahin kamar buat Abang," cerocos Hanse.

"Nggak gitu, pokoknya nggak gitu. Udah deh, Abang capek ngomong sama kalian. Kayak mau ditinggal perang aja."

"Kalo misal nanti kami kangen sama Abang, gimana?"

Sejun menatap Hanse lekat, lalu berujar dengan kesal, "Kita nggak hidup di zaman praaksara, Dek. Kita sama-sama punya hape, loh. Kan, kamu bisa telepon Abang?"

Hanse merengut. "Iih, Abang nggak romantis, pantes masih jomblo."

"Kenapa bawa-bawa status, sih? Abang jomblo karena prinsip, bukan nggak romantis."

"Cih, denial."

"Udah, deh, udah. Tadinya ke sini mau pamitan baik-baik, malah debat nggak jelas. Abang mau ke minimarket, ada yang mau ikut?"

"Subin! Subin!" Subin menjawab dengan semangat sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi.

"Sese mau ikut?" ajak Sejun pada Hanse.

Hanse menggeleng, menolak.

"Ya udah, Byungchan aja kalo gitu. Yuk!"

"Loh, Subin nggak diajak? Kan, Subin yang jawab tadi." Subin protes.

"Kalo kamu ikut, yang ada nanti malah ngerampok Abang. Subin tunggu sini aja sama Kak Sese, nanti Abang beliin es krim. Bentar lagi Mama-Papa pulang."

"Yaaaah!" Subin mendesah kecewa, bibirnya melengkung ke bawah. Ia menjatuhkan pantatnya ke tempat tidur tepat di samping Hanse.

Sementara Sejun dan Byungchan menghilang dari pandangan, Hanse sibuk membujuk adiknya yang merajuk.

♧♧♧

Minimarket tempat mereka langganan berbelanja terletak tak jauh dari gerbang utama kompleks. Salah satu alasan keluarga Seungwoo suka berbelanja di tempat itu, sampai-sampai karyawan yang bekerja di sana hafal dan kenal baik dengan anak-anak Seungwoo. Bahkan Byungchan dengan sengaja menyimpan kontak salah satu karyawannya biar bisa diinfokan lebih dulu kalau ada diskon dan promo.

Namun, motor Sejun tak berbelok masuk ke pelataran minimarket tersebut. Ia terus melajukan motornya cukup jauh dari jalanan ke rumah mereka dan berhenti di salah satu minimarket di lokasi yang berbeda.

Byungchan kebingungan, tetapi menurut saja ketika Sejun menyuruhnya turun dari boncengan.

"Kok, bukan di minimarket deket rumah?" tanyanya.

"Sama aja. Abang mau sekalian ketemu temen-temen bentar. Kamu tunggu sini dulu, ya."

Sejun tak langsung masuk minimarket, melainkan berjalan ke arah sekelompok anak lelaki seusianya yang sama sekali tak Byungchan kenal. Tak ada yang aneh dari penampilan mereka, hanya saja motor-motor yang berbaris di antara mereka membuat Byungchan menyimpan curiga. Meskipun pergaulannya hanya sebatas teman sekolah, Byungchan tahu sekelompok anak itu adalah geng motor.

Byungchan hafal semua teman dekat Sejun karena mereka sering main ke rumah. Namun, ia tidak pernah tahu abangnya juga berteman dengan orang-orang seperti itu. Dia tidak mempermasalahkan komunitas-komunitas sejenis itu, Byungchan hanya mengkhawatirkan abangnya.

Ia mengamati Sejun yang berbincang cukup serius dengan mereka. Tak tahu soal apa karena suara lalu lalang kendaraan di jalan raya lebih mendominasi. Percakapan mereka tertelan polusi.

Byungchan mulai gelisah, nyaris ia menghampiri Sejun kalau saja abangnya itu belum kembali ke tempatnya. Saat itulah, tepat ketika Sejun berbalik ke arahnya, ia bisa melihat jelas salah seorang di antara mereka yang berdiri tepat di hadapan Sejun. Tubuh Sejun yang menjulang menutupi lawan bicaranya yang sedikit lebih pendek darinya.

Tatapan Byungchan terpaku pada cowok itu. Ia merasa pernah bertemu karena wajahnya familier, tetapi Byungchan lupa kapan dan di mana. Sejun sampai harus menarik tangannya untuk masuk ke minimarket karena Byungchan masih bergeming.

Byungchan terus berusaha mengingat-ingat hingga membuat fokus belanjanya buyar. Ia membiarkan Sejun saja yang memilih barang. Ketika ia mulai ingat, tubuhnya menegang, Byungchan pun langsung berlari keluar minimarket, membuat Sejun kebingungan dengan tingkah adiknya.

Pelataran parkir lengang, hanya menyisakan beberapa motor pelanggan. Byungchan mengedarkan pandangan ke sekitar, tetapi sekelompok teman Sejun tadi sudah tak di sana. Byungchan memang tak kenal baik cowok itu, tetapi ia tahu. Ia juga tahu namanya. Bahkan mereka beberapa kali makan siang bersama di kantin sekolah.

Yang muncul di pikiran Byungchan berikutnya adalah: gue harus kasih tau Sese.

💙💛
.
.
.


----------------------------------

Ps: sebelumnya aku mau minta maaf, utk beberapa waktu ke depan, book ini bakal slooow banget updatenya karena aku bakal cukup sibuk. Mohon sabar menunggu ya...!! Tengkyu.. 🙏💗💗

KELUARGA PELANGI  [VICTON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang