(9) Seteru

93 15 0
                                    

Bugh!

Braakk!

Hanse mengerem langkahnya saat tidak sengaja didengarnya suara gaduh dari arah belakang toilet. Ia ragu-ragu melangkah menyusuri jalan sempit yang memisahkan gedung toilet dan gudang yang terletak di bagian belakang sekolah. Diurungkan niatnya untuk lanjut ke kantin. Sebenarnya bisa saja ia abaikan, tetapi Hanse yang tipikal ingin tahu ini tidak bisa menghindar sebelum rasa penasarannya terbayarkan.

Ia melangkah pelan menghampiri sumber suara. Langkahnya tiba di ujung jalan, ia sedikit berbelok ke kiri, tetapi urung lanjut. Hanse kembali mundur dan bersembunyi di balik tembok ketika dilihatnya dua orang siswa sedang berkelahi. Lebih tepatnya seorang siswa sedang menghajar siswa lainnya yang tampak terluka dan tak berdaya.

Hanse baru tahu ada tempat ini di sekolah. Lahan sempit di belakang toilet yang bersebelahan dengan gudang dan kantin. Ia melihat ada banyak tumpukan besi berkarat dan kayu triplek yang diyakininya adalah bekas papan tulis dan kursi tak terpakai. Padahal gudang sekolah sangat luas, tetapi benda-benda bekas ini malah ditumpuk di sini.

Pandangan Hanse kembali menelisik dua orang siswa yang berkelahi tadi. Ia sangat mengenal keduanya. Bagaimana tidak, mereka bertemu setiap hari meskipun jarang bertegur sapa.

Melihat si korban semakin tak berdaya, Hanse segera menghampiri mereka. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Ia geram.

"Taeyang, berhenti!" teriaknya mencoba menghentikan aksi brutal temannya itu. "Mau gue laporin guru?" ancamnya.

Taeyang, siswa yang memukul itu, berdecak kesal. "Ck! Ngapain lo di sini?"

"Lo kenapa pukulin dia?" Hanse tak menjawab, malah balik mengajukan pertanyaan.

"Bukan urusan lo! Urusan gue sama dia." Taeyang menunjuk korbannya tepat di wajah.

"Lo udah gila, ya, mukul anak orang sembarangan?"

"Lo nggak tau apa-apa, Se."

"Iya, gue nggak tau apa masalah kalian. Yang gue liat, lo mukulin dia sampe babak belur gitu. Hobi banget, ya, nyakitin orang? Bukan sekali ini gue liat lo kasar sama Dongyeol, Tae. Ini udah kesekian kali."

Taeyang mendecih, lalu tertawa seolah Hanse mengatakan sesuatu yang lucu. "Lo nggak kenal dia, Se. Di sekolah aja dia begini, suka playing victim."

"Taeyang, jangan ngomong sembarangan, ya. Dongyeol selama ini diem. Lo apain juga dia nggak bakal ngelawan."

"Belain aja dia terus. Heh, cupu!" Taeyang beralih pada korbannya yang duduk tertunduk di tanah. "Seneng lo ada yang belain? Kali ini lo selamet karena ada yang nolongin. Lain kali gue nggak jamin. Inget ya, gue nggak takut sama lo!" ancamnya tegas, kemudian pergi dari tempat itu meninggalkan Hanse dan korbannya yang masih terpaku di tempat masing-masing.

Hanse mengabaikan Taeyang yang sempat menendang tembok dengan penuh amarah sebelum benar-benar hilang dari pandangannya.

Kemudian hening seketika. Hanse masih ragu untuk menghampiri teman sekelasnya itu. Namun, kakinya bergerak juga akhirnya, mendekat ke arah cowok yang sedang meringkuk sembari memegangi bagian perutnya. Ia mengambil posisi rendah, jongkok di hadapan Dongyeol untuk memastikan kondisi cowok itu.

"Dongyeol, kamu masih sadar, kan?" tanyanya memastikan.

Cowok di hadapannya itu mendongak, menampakkan wajahnya yang penuh memar. Di ujung bibirnya tampak bercak darah. Namun, ia masih bisa tersenyum dan mengangguk kecil untuk sekadar menjawab pertanyaan Hanse.

"Ayo, aku antar ke klinik," tawar Hanse. Tanpa persetujuan, ia menarik lengan Dongyeol, membantunya berdiri.

Cowok itu meraih kacamatanya yang sudah tersisa frame--karena kacanya pecah berantakan--sebelum perlahan bangkit berdiri. Ia mengantonginya, membuat Hanse sekilas mengernyit bingung kenapa Dongyeol masih menyimpan benda rusak itu. Namun, Hanse tak bertanya, itu tak penting sekarang, ia harus segera mengobati Dongyeol agar lukanya tak menyebabkan infeksi.

♧♧♧

Dongyeol sesekali meringis saat petugas klinik kesehatan mengobati lukanya. Dia sudah diberi izin untuk tidak mengikuti kelas dan beristirahat saja di klinik. Tadi wali kelas sudah menyuruhnya pulang dan istirahat di rumah saja, tetapi Dongyeol menolak. Dia lebih memilih tidur di klinik sekolah sampai jam pulang.

Hanse menghampiri Dongyeol saat petugas selesai dengan tugasnya. Bagaimanapun, ia yang membawanya ke sini, jadi Hanse tidak bisa meninggalkannya begitu saja.

"Kamu istirahat aja, aku balik ke kelas, ya?" pamitnya.

"Iya. Makasih ya, Se."

Hanse mengangguk, kemudian berbalik untuk pergi. Namun, baru selangkah ia menjauh dari tempat Dongyeol, cowok itu memanggilnya, membuat Hanse urung pergi.

"Hanse, kamu percaya omongan Taeyang tentangku?" tanyanya.

"Aku nolongin kamu, bukan berarti aku lebih percaya kamu. Tapi aku juga nggak percaya Taeyang. Aku nggak bener-bener kenal kalian berdua, jadi aku nggak tau siapa yang harus aku percaya."

Setelah mengucapkan itu, Hanse benar-benar pergi tanpa berbalik lagi. Di belakangnya, tanpa ia tahu, Dongyeol menatapnya dengan tatapan misterius.

♧♧♧

"Byung sama Sese pulang!" seru Byungchan saat ia memasuki rumah. Di sampingnya, Hanse berjalan tanpa suara. Kepalanya tertunduk lunglai, berbanding terbalik dengan Byungchan yang masih penuh energi meskipun terpakai hampir sembilan jam di sekolah.

Seungsik menyambut anak-anaknya dengan senyum hangat seorang ibu. Namun, seketika senyumnya berganti panik saat dilihatnya ada yang tidak beres dengan seragam Hanse. Ia segera menghampiri putrinya tersebut.

"Kak, kamu kenapa? Kamu terluka?" tanyanya heboh sambil memeriksa seluruh tubuh Hanse.

"Aku nggak apa-apa, Ma. Nggak ada yang luka, kok."

"Terus, ini apa? Kenapa ada darah di seragam kamu?"

"Ini bukan darah Sese, Ma. Tadi Sese nolongin temen yang habis berantem. Sese anter dia ke klinik sekolah, ini pasti darah dia yang nempel."

"Bener? Tapi, kamu nggak apa-apa, kan?"

"Nggak kok, Ma. Sese cuma nolongin aja."

"Terus, itu kenapa mukanya murung?"

Hanse tak langsung menjawab. Ia malah melewati mamanya dan menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Jangan tanya Byungchan ke mana, anak itu langsung ngacir ke kamar. Capek dia, mau rebahan.

Seungsik menghampiri anaknya yang tampak kelelahan. Ia yakin bukan aktivitas sekolah yang menjadi penyebabnya, melainkan hal-hal yang mungkin sedang mengular di kepalanya.

"Ada apa, Kak? Coba cerita sama Mama," ucap Seungsik lembut. Dibelainya rambut Hanse yang mulai memanjang melewati bahu.

"Hhhh! Capek, Ma. Heran, deh, kenapa aku bisa dapet temen-temen sekelas yang suka cari masalah. Mending Byungchan, temen-temennya pada kalem, ganteng-ganteng lagi." Hanse mulai berkeluh kesah.

"Emang temenmu nggak ada yang ganteng?"

"Ganteng, Ma, tapi suka cari masalah."

Seungsik tersenyum bijak sebelum menjawab ucapan Hanse. "Kak, hidup ini dinamis, nggak selamanya harus tenang. Ada kalanya kamu kena pusaran ombak, ada kalanya pula kamu berlayar tenang tanpa gangguan. Mau nggak mau, harus kita hadapi.

"Soal temen-temenmu itu baik atau buruk, selama bukan kamu sumber masalah mereka, kamu nggak usah takut. Kakak, kan, udah gede, udah bisa memilih mana yang baik dan yang buruk. Pesen Mama, nggak usah takut berteman dengan siapa aja, asal kamu nggak terjerumus ke hal-hal yang negatif. Ngerti, kan?"

Hanse mengangguk. Ia lantas memeluk mamanya dan membiarkan wanita itu membelai rambutnya penuh sayang. Ah, menenangkan sekali, rasanya Hanse mulai mengantuk.

💙💛
.
.
.

KELUARGA PELANGI  [VICTON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang