(10) Galau

87 14 3
                                    

"Pa-" Seungsik berjengit kaget saat sepasang tangan melingkari tubuhnya dari belakang, bersamaan dengan kepala yang bersandar di pundak kirinya. Namun, kekagetannya berganti menjadi keheranan saat yang ditemukannya bukanlah sang suami, melainkan si sulung, Sejun.

"Ada apa, Bang?" tanya Seungsik.

"Aku mau peluk Mama dulu, bentar aja. Mama nggak usah tanya-tanya dulu." Sejun menjawab tanpa menatap mamanya. Sepasang matanya dibiarkan tertutup dengan kepala yang masih bersandar nyaman di pundak Seungsik.

Sebagai ibu, tentu saja Seungsik langsung memahami maksud anaknya. Sejun tidak biasanya bersikap begini, sudah lama ia enggan dipeluk atau memeluk mamanya, malu karena sudah gede. Namun, kali ini tiba-tiba saja si sulung itu datang dan langsung memeluknya. Ah, pasti lagi ada masalah, batin Seungsik. Ia tahu betul, jika anak-anaknya bersikap manja begini, pasti ada sesuatu yang sedang mengganggu mereka.

Dengan penuh pengertian, Seungsik membiarkan saja Sejun begitu. Ia tak bertanya lagi sampai Sejun sendiri yang bercerita. Diusap-usapnya lengan Sejun yang masih melingkar di perutnya, dirasakannya degup jantung putranya yang mulai normal. Tampaknya Sejun sudah mulai damai.

"Eh, eh, eh! Apa-apaan ini?" Tentunya sebelum suara ini memecah kedamaian itu.

Sejun spontan mengangkat kepala dan menoleh ke arah Seungwoo yang tampak berjalan cepat menghampiri mereka. Wajah papanya itu terlihat panik. Sejun lantas melepas pelukannya pada sang mama dengan malas.

"Bang, kenapa kamu peluk-peluk Mama?" cecar Seungwoo interogatif.

"Aku nggak boleh peluk Mama?"

"Nggak gitu, kamu, tuh, udah gede, jangan terlalu nempel sama Mama, dong," protes Seungwoo. "Gimana kalo nanti ada ceritanya Sangkuriang kedua?" lanjutnya, membuat Sejun menatapnya kesal.

"Papa apa-apaan, sih? Masa anak nggak boleh meluk ibunya sendiri?"

"Bukan gitu. Papa, tuh, cuma takut aja nanti ada kejadian yang nggak diinginkan."

"Ah, nonsense! Papa bikin mood aku tambah jelek." Sejun sedikit meninggikan suaranya. Ia berlalu ke kamar dengan kesal, kentara dari sikapnya yang sedikit kasar.

Dari ruang tengah, Seungsik dan Ssungwoo bisa mendengar pintu kamar Sejun dibanting cukup keras. Membuat mereka terlonjak kaget. Seungsik lantas menatap tajam suaminya.

"Papa, sih! Anaknya lagi kesel gitu, loh, malah dibecandain," protes Seungsik.

"Papa nggak bercanda, Ma. Lagian si Abang kenapa, sih? Tumben banget nempel-nempel Mama?"

"Mama juga nggak tau, dia belum sempet cerita, loh."

"Galau?"

Seungsik mengidikkan bahu sebagai jawaban.

"Sejun punya pacar?"

"Nggak tau, Pa. Sejun, kan, belum cerita sama Mama, eh, Papa keburu dateng merusak suasana." Seungsik menjawab dengan nada ketus. Ia kesal, kalau saja Seungwoo tidak tiba-tiba datang dan memberondong Sejun dengan kalimatnya yang tak masuk akal, pasti anak itu sudah lancar bercerita tentang hal yang membuatnya bersikap tak seperti biasanya.

"Ya, maaf. Habisnya Sejun peluk Mama erat banget, kayak mesra gitu."

Seungsik menatap suaminya lebih tajam. Sedangkan Seungwoo malah memasang muka sok sedih, seolah baru saja memergoki kekasihnya bersama pria lain.

"Ih, Papa nggak masuk akal banget. Masa cemburu sama anak sendiri? Besok minta maaf sama Sejun," titah Seungsik dengan tegas. Artinya, ucapannya tidak bisa dibantah.

Seungwoo mengangguk pelan. "Iya, besok Papa ngomong sama Sejun. Sekarang Mama temeni Papa aja, ya?"

"Mau ngapain?"

KELUARGA PELANGI  [VICTON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang