Liburan long weekend hanyalah liburan yang semu bagi keluarga Seungwoo. Sekembalinya ke rumah, aktivitas rutin menyambut mereka. Pekerjaan kantor, tugas sekolah, pekerjaan rumah, bahkan Chan mulai kembali begadang karena diburu deadline.
Saking sibuknya, nyaris saja hari ulang tahun Sejun terlupakan. Padahal ia menunggu hari itu selama hidupnya. Usia dua puluh, di mana segala keputusan hidup sudah bisa ia ambil sendiri.
Untung saja Seungsik ingat--meskipun hampir di jam-jam terakhir. Ia meminta Chan membeli kue di bakery. Sebuah black forest terakhir di toko itu cepat-cepat dibayarnya agar tak direbut pelanggan lain. Chan hafal sekali kesukaan keponakan sulungnya itu, kue cokelat dengan buah stroberi bertumpuk menutupi seluruh permukaannya.
Ulang tahun Sejun dirayakan dengan sangat sederhana, hanya ada keluarga, doa, dan kue favoritnya. Itu pun mereka rayakan beberapa menit menuju pukul sepuluh malam. Nyaris menuju pergantian hari.
"Abang mau hadiah apa?" celetuk Subin tepat setelah Papa mengakhiri ucapan doa untuk Sejun.
Sejun meliriknya sebentar, kemudian membalas tanpa menatap adiknya karena dirinya sibuk mengunyah potongan besar kue ulang tahunnya. "Kamu mau kasih apa buat Abang?"
"Bilang aja, nanti Papa yang kasih. Subin, kan, udah kasih doa." Subin menjawab polos.
Seungwoo di seberang menoleh terkejut. Bisa-bisanya anak itu menjawab begitu. Dia ganti melirik Sejun, menanti jawaban putra sulungnya. Seungwoo deg-degan, khawatir Sejun meminta yang di luar kemampuannya, mengingat Sejun sudah dewasa dan pasti maunya bukan barang-barang murah.
"Aku masih boleh minta hadiah, Pa?" tanya Sejun ragu.
Seungwoo mengangguk. "Boleh. Mau apa? Asal jangan yang mahal."
Sejun diam. Alih-alih menjawab, ia malah mematung, membiarkan sisa kue di tangannya menggantung di udara. Sejun menatap papanya dengan bola mata yang bergerak-gerak gelisah. Di otaknya sudah tersusun sebuah kalimat, tetapi tak jua turun ke lisan. Sejun mengembuskan napas samar-samar, menguatkan hati, lalu meluncurlah sebuah permintaan yang tak pernah terpikirkan oleh orang tuanya.
"Pa, aku minta izin tinggal sendiri. Aku mau keluar dari rumah, mau ngekos sama temen-temen," ucapnya mantap.
Kemudian hening. Tidak seorang pun bereaksi atas ucapan Sejun. Sejun menatap satu-persatu orang-orang yang mengelilinginya. Ia bisa menebak mereka pasti kaget.
"Abang, kamu nggak serius, kan?" Seungsik yang menanggapi pertama kali.
"Serius, Ma."
"Kenapa? Kamu udah nggak nyaman tinggal di rumah? Kamu ada masalah?" cecar Seungsik.
"Nggak, Ma, bukan gitu. Aku cuma pengen cari pengalaman aja."
"Bang," panggil Seungwoo, "kamu udah pikirin ini matang-matang?"
"Aku udah pikirin ini sejak beberapa minggu yang lalu, Pa."
"Teman kamu yang mana yang ngajak kamu ngekos bareng?"
"Ada temen kampus, Pa."
"Udah nemu tempatnya? Udah tau lingkungannya gimana? Pemilik kosnya, teman-teman yang tinggal bareng nanti, lainnya-lainnya?"
"Sudah, Pa. Tempatnya nggak jauh dari kampus, nanti aku juga bakal sering-sering pulang ke rumah, kok."
Seungwoo tak bertanya lagi. Ia diam, tampak berpikir. Yang lain tak berani menyela, bahkan untuk sekadar bertanya pada Sejun atas keputusannya yang tiba-tiba ini.
"Oke. Papa izinin. Yang penting kamu waspada atas dirimu sendiri," putus Seungwoo.
Sebuah keputusan yang menimbulkan berbagai reaksi dari anggota keluarga yang lain. Seungsik tampak tidak terima, Chan ingin membuka mulut untuk protes, ketiga anaknya yang lain menatap tak percaya, sedangkan Sejun tersenyum semringah. Pancaran kebahagiaan terpantul amat jelas di sepasang matanya, bak menerima hadiah yang amat mahal di hari ulang tahun paling spesial.
Sejun tak henti-hentinya merapalkan kata 'terima kasih' pada sang papa. Ia sibuk ber-euforia sendiri hingga tak sempat memperhatikan wajah masam ketiga adik dan omnya.
♧♧♧
"Kenapa kamu izinin Sejun keluar dari rumah?" protes Seungsik pada suaminya saat mereka telah memposisikan diri di tempat tidur, bersiap untuk mengakhiri hari.
Pertanyaan yang sama dilontarkan Chan tadi. Ia merasa Seungwoo tidak adil karena tak pernah mengizinkannya tinggal sendiri. Beberapa kali Chan meminta, Seungwoo selalu menolak dengan alasan ia membutuhkan Chan untuk mengawasi anak-anaknya. Namun, itu tidak berlaku bagi Sejun. Anak itu cukup sekali meminta, Seungwoo langsung mengizinkannya tanpa berpikir panjang. Padahal menurut Chan, harusnya Sejunlah yang ditahan untuk tidak keluar rumah, karena dia anak Seungwoo, sedangkan Chan hanya menumpang pada kakak iparnya itu.
"Woo, kamu belum jawab, loh," tukas Seungsik lagi.
Seungwoo menghela napas. Ia mengganti posisi bantalnya menjadi vertikal, kemudian mengganjal punggungnya yang bersandar di headboard. "Kamu belum siap pisah dari anakmu?" Seungwoo balas bertanya.
"Bukan gitu, Woo. Kamu sendiri, kan, yang bilang, 'nggak boleh ada yang keluar dari rumah ini kecuali menikah'. Kamu nggak pernah izinin Chan ngekos, tapi kamu malah biarin anakmu."
"Untuk Chan, aku merasa punya banyak hutang budi ke dia. Chan selalu bisa aku andalkan buat jaga kamu ketika aku nggak di rumah, jadi aku masih butuh dia di sini.
"Tentang Sejun, bukan berarti aku nggak butuh. Kamu dengar sendiri tadi, kan? Anak itu butuh pengalaman baru, dia mau belajar mandiri. Kita dukung saja selama niatnya bagus. Toh, Sejun sudah dewasa, biarkan dia belajar menentukan hidupnya sendiri."
Seungsik mendesah kecewa. Ada kesedihan di sepasang matanya yang mulai menua. Seungwoo menatap intens wajah istrinya yang menunduk masygul. Ia tersenyum bijak lalu merengkuh Seungsik. Dibawanya tubuh Seungsik ke pelukannya, disandarkannya pula kepala Seungsik ke dada bidangnya. Dengan lembut diusap-usapnya lengan Seungsik biar istrinya itu lebih tenang.
"Aku tahu kamu keberatan. Sejak lahir Sejun nggak pernah pisah dari kamu. Daripada denganku, dia lebih dekat denganmu, mamanya. Tapi, kamu juga pelan-pelan harus belajar melepas anak-anak, mereka nggak akan selamanya bersama kita.
"Toh, Sejun pindahnya nggak jauh, kan? Dekat kampus dia ini, katanya. Kamu masih bisa sering ketemu anakmu itu, Sejun juga bakal sering main ke rumah. Udah ya, jangan sedih lagi. Anak kita masih ada tiga lagi, kok. Kamu baru ditinggal satu orang aja sedihnya udah begini amat. Gimana kalau empat-empatnya pergi?"
Seungsik memukul pelan dada Seungwoo--reaksinya atas kelakar Seungwoo yang tidak lucu--membuat sang suami mengaduh. Kali ini Seungwoo tak sedang berkelakar, meskipun pelan, pukulan Seungsik cukup kuat. Cukup membuat Seungsik panik dan ganti mengusap-usap bagian yang ia pukul barusan.
Barang siapa menyakiti, maka ia yang mengobati.
💙💛
.
.
.
--------------------------------------Hai ... hai ...!!
Aku balik lagi 😊Aku mau bilang makasih buat 1k reads. Angka itu cukup besar buat aku yg baru belajar nulis. Gak nyangka aja sih bisa sampe segitu, huhu...
Makasih banyak pokoknya buat temen-temen yg setia baca book aku ini. Kalian motivasi utamaku buat lanjut nulis.Btw, ada yg udah gak sabar nunggu lagunya Seungwoo?
KAMU SEDANG MEMBACA
KELUARGA PELANGI [VICTON]
FanficDua puluh tahun menikah dan dikaruniai empat orang anak yang mulai beranjak dewasa membuat Kirana bersyukur bisa bertahan sejauh ini mengingat ia pernah ingin menyerah di awal pernikahan. Ia bahagia dikelilingi orang-orang tercintanya, suaminya Seno...