enam

5 0 0
                                    

Margareth menutup pintu kamar asramanya, lalu merosot hingga terduduk di lantai. Kedua kakinya ditekuk hingga lututnya bersentuhan. Dengan hembusan napas panjang, dia meletakkan kepalanya di atas lutut.

Hari ini merupakan hari terpanjang. Setelah mendengar kabar tentang Ravel, perhatian Margareth tak bisa lagi fokus pada seluruh mata kuliah yang dijalaninya. Bahkan dia tak bisa menjawab salah satu pertanyaan dalam mata kuliah kesukaannya. Kepalanya terlalu sibuk memikirkan kata-kata Sierren.

"Pacar?" Margareth tertawa. "Aku tau Kak Sierren suka bercanda, tapi kali ini agak garing. Maaf ya, Kak."

"Gua nggak ngelucu kali ini," kata Sierren dengan ekspresi kaku.

Tawa Margareth lenyap seketika.

"Maksudnya?" katanya. Suaranya melirih.

"Ya, gua nggak ngelucu kali ini," ulang Sierren. "Ravel benar-benar mikir lu itu ceweknya."

Berbagai perasaan mengalir dalam diri Margareth, membuat batinnya kini berkonflik.

"Terus aku gimana, Kak?" hanya kalimat itu yang dapat dilontarkannya.

"Maaf, gua juga nggak tau," kata Sierren. "Ini terlalu rumit, Gi. Setelah sadar, orang yang dia cari pertama itu lu. Dia ngotot kalau lu itu ceweknya. Bahkan kata-kata Reynard sendiri nggak didengerin sama dia."

"Kenapa juga gua yang jadi pacar halunya?" gerutu Margareth pelan. Dia mengangkat kepala lalu membentur-benturkannya pada pintu. "Kenapa, sih? Kenapa? Jadi aneh perasaan gua!"

Mendadak pintu bergerak sendiri, menabrak punggung dan kepala belakang Margareth keras. Margareth berguling sambil mengerang, berusaha agar kaki kirinya tak tertimpa badannya. Tangannya menggapai-gapai kepala belakang dan punggungnya.

"Ya ampun! Pantas kok kayaknya nabrak sesuatu ini pintu!" terdengar seruan Florence. "Lu ngapain sih duduk di pintu gini? Pamali, tau!"

"Seenggaknya minta maaf dulu, dong," kata Margareth, masih dalam posisinya di lantai.

"Iya, iya, maaf," kata Florence. "Gua kaget. Bukannya harusnya lu lagi UKM, Gi? Makanya gua mikir ini kamar kosong."

"Gua izin nggak datang dulu," kata Margareth. Suaranya kembali melirih ketika kembali teringat oleh hal yang barusan dipikirkannya.

"Lesu amat muka lu," kata Florence yang menyadari perubahan ekspresi teman sekamarnya itu. "Jangan bilang lu bolos UKM buat ngerenungin hal yang ganggu pikiran lu."

Margareth kembali duduk memeluk lutut. Iris coklat tuanya memandang Florence yang masih berdiri di ambang pintu.

"Masih berdiri aja lu di situ gua lihat-lihat," katanya, berusaha menghindar dari kata-kata Florence. "Masuk, kali. Udah kayak bertamu di kamar sendiri aja."

"Maggie," Florence melangkah masuk dan menutup pintu, lalu turut duduk di lantai menghadap Margareth, "lu tau kan kalau lu bisa cerita apapun ke gua? Kita udah temenan dari SMA. Iya, lu emang lebih dekat sama Andrea, tapi kita udah saling janji kan? No more secrets, ingat?"

Margareth menghembuskan napas, lalu kembali menunduk.

"Soal kuliah lu?" tanya Florence.

Margareth menggeleng.

"Terus?"

Margareth tersenyum getir, lalu kembali mengangkat kepalanya.

"Soal Kak Ravel," katanya.

"Si kakak ganteng? Katanya udah bangun dia. Terus kenapa? Kangen lu sama dia?" kata Florence.

"Kalau gua kangen, Florence Ayudinata, bakal lebih aneh lagi perasaan gua sekarang," kata Margareth sambil berdiri, lalu berjalan dengan perlahan menuju tempat tidurnya dan duduk di pinggirnya. Florence menyusul dan duduk di sebelahnya.

"Perasaan aneh? Aneh gimana?" kata Florence. "Harusnya lu lega dong karena orang yang nolong lu selamat."

"Emang harusnya gitu."

"Terus?"

"Gua emang lega, tapi sekarang-" Margareth berhenti, lalu menelan ludah. Tak tau bagaimana harus mengatakannya.

Florence menatap Margareth lekat-lekat, tak membiarkannya menghindar seperti barusan.

"Sekarang... Kak Ravel mikir gua itu pacarnya," kata Margareth dengan pelan.

Florence menyembur.

"Lucu banget, udah kayak cerita romance," katanya.

"Seriusan, Flo," kata Margareth, balas menatap Florence. "Lu lihat gua ketawa, nggak?"

Florence mengerjap-ngerjap.

"Kok... bisa?" tanyanya.

"Gua juga nggak ngerti." Margareth mengacak-acak rambutnya. "Duh, gimana dong? Ujug-ujug hubungan gua sama Alan hancur karena ini, lagi."

"Kenapa lu nanti nggak jelasin ke Kak Ravel kalau ingatan dia salah?" kata Florence.

"Percuma. Kata Kak Sierren dia ngotot."

Florence kembali mengerjap-ngerjap.

"Wah, maaf, gua nggak tau harus gimana," katanya kemudian.

"Kan, makanya." Untuk kesekian kalinya, Margareth menghembuskan napas. "Gua nggak ngerti lagi, Flo. Belum lagi batin gua yang entah kenapa konflik."

"Konflik gimana?"

"Ya, konflik. Gua nggak ngerti gimana jelasinnya. Itu juga salah satu alasan kenapa gua ngerasa aneh."

Florence terdiam.

"Kalau Kak Ravel emang nggak bisa diyakinin," katanya kemudian, "coba lu ngomong ke Alan. Biar nanti kalian nggak ada salah paham."

Margareth menggigit bibir dalamnya. Baginya, lebih baik mencoba meyakinkan Ravel walaupun sia-sia daripada berbicara pada Alan.

"Dia marah nanti," lirihnya.

"Gua nggak yakin," kata Florence. "Setau gua, Alan bukan tipe yang gampang marah. Lu ingat kan waktu laptopnya kebanting dari meja sama temannya tapi dia santai aja? Malah temannya yang ngamuk-ngamuk."

Margareth tertawa kecil. Teringat olehnya kepanikan yang melanda ketika mendengar suara bentakan mirip Alan.

"Terus lu panik, deh. Langsung nyamper ke kelasnya," lanjut Florence. "Tuh, dia aja sesantai itu orangnya. Lagian lu udah PDKT sama dia kurang lebih delapan bulan. Pasti lu tau kapan saatnya dia marah kapan nggak."

"Gua nggak begitu yakin soal ini," kata Margareth. "Dia sebenarnya pemarah banget dan gua nggak ngerti kenapa dia nggak marah waktu laptopnya rusak. Nggak cuma itu, dia juga cemburuan. Dan lu tau kan kalau dua sifat itu biasanya berhubungan?"

"Tapi kan ini kondisi yang nggak bisa diubah, Gi. Mungkin dia bakal mau ngerti."

Margareth terdiam sejenak lalu mengangguk, mulai bisa menerima usul Florence.

"Thanks, Flo," katanya. "Mungkin kalau gua nggak cerita secepatnya bisa gila gua."

"Kan, udah gua bilang apa," kata Florence. "Jangan digembok itu mulut kalau ada masalah. Kebiasaan emang."

"Ya maaf, gua nggak biasa cerita kayak gini," kata Margareth. "Tinggal cari waktunya."

"Pasti ketemu. Kalian kan kalau chat-an suka nggak tau tempat dan waktu," kata Florence.

"Kalau kayak gini, mendingan langsung nggak, sih?" kata Margareth. "Biar enak juga. Gua bisa prediksi gimana reaksi dia."

"Oh iya, itu anak nggak suka kejutan," kata Florence. "Ya, itu sih terserah lu."

"Yah, oke," kata Margareth. Perasaan gugup melanda hatinya, menutupi konflik batin aneh itu. Dia tak menyukai bila harus mengajak seseorang berbicara serius terlebih dahulu.

"Cari waktunya susah tapi," kata Florence. "Kenapa nggak lewat vidcall?"

"Sekalian jalan bareng," kata Margareth.

Florence mendengus.

"Emang ya, mencari kesempatan dalam kesempitan."

***

GAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang